Sabtu, 07 Desember 2013

06.54.00 - No comments

Menanti Hati




Hatinya saat ini bergemuruh. Pertemuan yang tidak pernah diinginkan. Pertemuan yang ditolak oleh takdir skenario Tuhan. Tidak lama, tidak sampai tiga menit mungkin. Akan tetapi tatapan mata itu tepat mengenai dua bola matanya yang bening . Hari itu adalah hari dimana dia harus bahagia atau susah. Semuanya sulit dibedakan. Suatu nikmat ataukah ujian. Iffa terus mencari-cari benang-benang yang mungkin semrawut dalam hatinya. Mungkin juga hari itu adalah puncak kegelisahannya, dibanding hari-hari sebelumnya. Pertemuan yang singkat dan penuh arti.
“Ya Allah, kenapa aku kepikiran dia terus. Aku tidak pernah mengharapkan pertemuan itu. Padahal tidak lama, hanya sepintas dan tidak sengaja berpapasan saat kami pindah kelas. Ya Allah lindungi aku atas perasaanku ini. Hanya kepada Engkau Aku memohon. ” Katanya dalam hati ketika hendak tidur.
Lampu putih diatas kepalanya yang dilihat berangsur-angsur menghilang dari tatapannya. Menyusul teman satu kamarnya, Zuli, yang telah meninggalkan dirinya dan lampu putih yang terang itu.

***

Allaahu akbar, Allaahu akbar,…Ashshalaatu khairum minannaum…
Adzan Shubuh berkumandang dengan suara yang mantap. Dia yang telah terjaga dari jam dua tadi untuk belajar dan merintih kepada Tuhannya, kini bersiap membangunkan teman-teman dan adik-adik satu kosnya. Beralih dari meja belajarnya ke tempat tidurnya, dia membangunkan teman satu kamarnya.
          “Bangun ukhti, ayo sudah shubuh lho. Calon wanita surga tidak boleh telat shalat. Ayo bangun.” Ucap Iffa kepada Zuli yang menempati satu kamar bersamanya.
                “Iya ukh, ini sudah bangun.” Jawab Zuli dengan nada berat sambil mengucek matanya.
Dilanjutkannya ke kamar-kamar lain. Ada lima kamar yang masing-masing dihuni oleh dua sosok calon mujahidah-mujahidah perjuangan Islam.
Setelah dibangunkan semua, mereka berpencar untuk shalat. Ada yang berjama’ah di mesjid ada yang berjamaah memilih di kos. Ya heterogen di kosnya itu. Yang penting saling menghargai. Yang shalat berjamaah di kos ada satu tempat yang digunakan yaitu kamar Iffa, lumayan luas untuk menampung mereka yang shalat jamaah di kos. Usai shalat Iffa dan Zuli tetap dikamarnya.
                “Ukh, akhir-akhir ini aku sulit tidur. Kenapa yah ?” tanya Iffa kepada Zuli.
                “hmm,,, kenapa yah, mungkin lagi kasmaran kali.” Jawab sekena Zuli tapi serius.
                “Kok kasmaran sih, ukh. Gak ada yang lebih medis lagi yah.”
              “Ukhti, saya mau ngomong ya, ukhti itu sangat jelas. Sulit jika ukhti menutupi perihal ini. ketika ukhti memperhatikan kelasnya dari kejauhan, setelah keluar eh ukhti senyum-senyum sendiri. Ketika bertemu atau berpapassan ukhti adalah orang mencuri pandangan lalu menjadi orang yang paling bisa menundukkan pandangan. Ukhti, aku ini sahabatmu. Seberapa aku mengenal ukhti bisa dibilang seperti saudara sendiri, luar dalam tahu. ” Zuli mencoba menjelaskan terkaannya tadi yang sebenarnya untuk memancing apa yang dijadikan hipotesisnya itu.
              Mendengarkan penjelasan itu, hatinya bergetar. Ada perasaan malu tapi ada secercah bahagia karena sahabat yang paling dikenalnya sebenarnya tepat menerka hatinya, atau lebih tepatnya mengeri perasaannya. Lalu dengan bergetar badannya dan terbata-bata, ia menjawab,”Ukh, se…seperti…nya aku menyukai dia.”
              Zuli seketika memeluk Iffa sambil berbisik ke telinga Iffa,”Ukh, sabar ya. Ukhti pasti kuat. Serahkan saja kepada Allah. Dekati Allah.”. Kemudian melepas pelukannya, Zuli mengusap airmata yang tumpah atas siksaan perasaan itu.
          “Udah, udah. Bantu yang lain bersih-bersih yuk. Nanti juga kan ada try out kita harus menyiapkan segalanya. ” Kata Iffa yang mencoba tegar.

***
                Saat berangkat sekolah ikhwan yang mampu mengguncahkan hatinya itu dari kejauhan kelihatan sayup-sayup jalan kakinya dengan kepala menunduk. Kos Iffa memang selalu dilewati ketika berangkat sekolah. Iffa yang tidak menginginkan pertemuan tersebut segera mempercepat beres-beres untuk cepet ke sekolah, juga menghindari Ihsan, ikhwan tersebut.
                “Aku harus cepat-cepat biar tidak berpas-pasan dengan dia. Ayo Iffa, jangan lambat, kunci pintu kos.” Dukungnya dalam hati kepada dirinya sendiri.
                Kemudian ia lari kecil menuju gerbang kos. Lalu menguncinya, ia sering akhir dalam berangkat ke sekolah. “Ihsan, semakin mendekat.” Gumamnya sambil mengunci gerbang. “Ayo gerbang, menurutlah padaku seperti biasa, astagfirullah dia makin dekat.”
                Berkutat hingga akhirnya berhasil dikunci juga. Tapi masih belum lega, karena sempat dengan jarak yang dekat mereka akhirnya tetap bertemu dengan sengatan listrik hati yang sulit didefinisikan.
Ihsan yang menatap dua lentik mata anggun dan wajah yang cantik babyface itu segera membuang pandangan, kemudian beristigfar didalam hati. Iffa salah tingkah dengan kejadian ini. segera ditepisnya.
                Dia berjalan agak cepat untuk menjauh dari Ihsan. Disisi lain Ihsan yang dibelakangnya Cuma sekitar tiga ayunan kaki juga mempercepat langkahnya agar tidak berada dibelakang perempuan yang sebenarnya juga dia anggap bidadari itu. Iffa yang jalannya cepat merasa diikuti oleh Ihsan. Kemudian Iffa memperlambat agar Ihsan mendahuluinya. Ternyata Ihsan pun demikian memperlambat supaya bidadari yang belum diinginkan itu segera menjauhinya. Entah mengapa pikiran mereka sama. Kemudian Iffa mempercepat, Ihsan pun demikian. Ya, selalu sama dengan tujuan saling menjauh. Karena merasa diikuti , Iffa tidak tahan akan hal ini. sontak dia menoleh ke Ihsan, dengan nada kesal,
                “Akh Ihsan , mengapa antum mengikuti saya terus. Antum ini bagaimana sih.”
                Dengan bingung, karena tidak ada maksud mengikuti sama sekali Ihsan menimpali,
  “Maksudnya ukh? ” dengan dahi yang dikernyitkan. Terus menambahkan, “Silahkan Ukhti masuk dulu. Saya nanti saja.” Ketika itu sampai didepan gerbang sekolah. Iffa menimpali perkataan ketus kepada Ihsan,”Manusia aneh.”

***

Matahari mulai memberi salam perpisahan kepada mereka yang lelah dengan kegiatan siangnya. Masuklah malam dengan disertakan bintang jauh diangkasa yang berkedip-kedip. Sekolah yang telah dilalui Iffa terasa abstrak, tidak ada sama sekali yang masuk dalam otaknya. Otaknya sementara ini dipenuhi kejadian pagi sepanjang perjalanan ke sekolah. Bukan senang, bukan rasa kesal seperti tadi pagi, tapi nuraninya mengatakan bahwa yang dirasakan adalah perasaan bersalah. Dia bingung bagaimana cara agar tahu bagaimana sebenarnya yang dilakukan sosok pria itu. Apakah benar dia mengikutinya atau bagaimana, dia butuh kejelasan. Dia berencana menghubungi Ihsan, tapi dia tidak punya nomer ponselnya. Mulai bingung tiba-tiba terfikirkan kalau ada teman dekat Ihsan yang satu kelas dengannya juga satu organisasi, Irsyad,Ikhwan juga. Dia menghubungi Irsyad segera dan meminta nomer Ihsan. Akhirnya dapat nomer Ihsan juga dengan perjuangan yang keras karena harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Irsyad, yang katanya untuk menjaga privasi sahabatnya.
Sms ditulisnya dengan rasa yang agak berbunga seakan menaruh sebuah harapan. Sambil belajar mendekap mejanya yang menemani selama hampir tiga tahun ini menuju kelulusan.
“Assalaamu’alaikum akh, ‘afwan untuk yang tadi pagi. Ana marah-marah tidak jelas sama antum. Seharusnya ana tanya baik-baik. ‘Afwan jiddan ya akh. Iffa.” Sms dikirim ke nomor yang didapat dengan susah payah itu.
Kemudian selama beberapa menit, ponselnya berdering. Balasan yang ditunggu akhirnya datang juga. Tertulis dengan nama XIIipa3 Ihsan, diambilnya ponsel , ditekan tombol buka pesan dengan tangan yang bergetar.
“Iya ukh, saya juga minta maaf. Kita saling memaafkan saja. O iya, sekalian saya mau mengklarifikasi tadi pagi saya tidak ada samasekali niat  untuk mengikuti ukhti. ”
“kenapa dibelakang saya terus ? ‘Afwan cuma tanya.” Selidik Iffa.
“’Afwan ukh, ketika saya berjalan cepat, saya ingin mendahului ukhti tapi ukhti malah berjalan cepat. Ketika saya berjalan lambat supaya ukhti lebih dulu berjalan, eh malah ukhti juga berjalan lambat. Saya jadi bingung. Ya sekali lagi saya minta maaf.” Penjelasan Ihsan.
“O gitu y akh, saya minta maaf sebesar-besarnya karena sudah marah-marah kepada antum.”
“Iya ukh, sekali lagi saling memaafkan saja.”
Sms berhenti sampai situ saja tapi perasaan kagum kepada ikhwan yang telah mengambil hatinya tidak bisa dielakkan. Setelah penjelasan itu, semakin mekar bunga-bunga hati dalam hatinya.
“Masyaaallaah, Oh Allah, rupanya mulia sekali akhlaknya.” Pujian yang agak berlebihan akan tetapi pas menurutnya untuk orang yang dicintai. Senyum-senyum sendiri tatkala dia membaca sms hubungan keduanya. Dibacanya terus-menerus, tak bosan. Langit-langit yang putih itu dihiasi wajah Ihsan, ketika hendak tidur. “Astagfirullaah. Ada apa aku ini. Ayo bangkit Iffa. Tidak boleh lemah. ” mensupport diri sendiri. Karena merasa sulit menghilangkan bayangan wajah yang dicintai, akhirnya dia mengambil wudhu. Mengambil sajadah yang selalu disampirkan dipunggung meja belajarnya. Sejajar dengan ranjang pada sisi lebarnya dia mulai menggelar sajadah itu dan melakukan dua rakaat.
Rintihnya kepada Tuhannya meneteskan airmata. Ada yang aneh, doa yang jarang dilafadzkannya. Dia mencurahkan isi hatinya kepada Allah, tentang Ihsan dia berdoa untuk dihilangkan perasaan rindu, perasaan yang menyiksa dirinya itu. Tapi disisi lain dia menaruh harapan yang sangat besar bahwa kelak sosok bidadari dari Ihsan adalah dirinya. Walaupun dia merasa sangat tidak sebanding. Tapi hatinya seorang perempuan mengoyak tidak mau ada suatu perpisahan walaupun masih sebatas angan-angan belaka. Airmata yang tidak bisa dibendung menjadi tanda bukti bahwa cintanya sangat dalam kepada Ihsan. Sangat menyiksa hatinya, perasaan cinta ini yang dia sendiri tidak tahu harus bagaimana menyikapinya. Oh ternyata benar ungkapan yang disampaikan Ibnul Qayyim Al Jauziyyah melalui syairnya,
Di Bumi tidak ada yang lebih sengsara dari pecinta.
Selagi disana selalu hadir hawa nafsu, tentu nikmat terasa.
Kau lihat dia mencucurkan airmata setiap waktu,
Karena dia takut dirundung rindu.
Dia menangis  karena rindu saat berdekatan.
Dia juga menangis saat dekat dengan perpisahan.
Matanya sembab ketika perpisahan benar-benar tiba.
Matanya pun sembab saat perjumpaan dengannya.
Cinta akan menyiksa pelakunya,
Dan siksaan yang paling berat adalah siksaan didalam hatinya.
                          (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah)

***

                Didepan cermin Iffa sambil menata jilbabnya yang lebar sebelum menuju sekolahnya untuk hari perpisahan SMA-nya. Dia yang berencana kuliah di Solo, merasa akan ada perpisahan karena sudah tidak bisa melihat sosok yang dikagumi dan diperhatikannya diam-diam. Apalagi terdengar rumor tujuan kuliah Ihsan adalah kota Aceh karena dia mau membuktikan kepada orangtuanya kalau dia mampu mandiri semandiri-mandirinya. Oh.. menambah pundi-pundi kagum di hati Iffa.
“Hari ini adalah hari perpisahan, nanti kira-kira saya memberi selamat kepada dia sebagai salam perpisahan, iya apa tidak ya ukh?” bincang sekaligus curhatnya kepada sahabat terbainya itu, Zuli.
                “Ukhti, saran saya tidak usah ukhti. Lebih baik ukhti jaga baik-baik cinta yang dianugerahkan Allah untuk digantikan syurga, didalam sini (sambil menunjuk letak hati Iffa). Ukhti jaga hati, jaga hati, dan jaga hati. Semoga Allah memberi pasangan hati yang tepat. Dan bahwasanya Allah tidak salah menepatkan hati untuk Ukhti, kan Ukhti baik hati. (Zuli memeluk Iffa dan membisikkan nasihatnya)” Zuli memberi motivasi berharga kepada Iffa.
                Dengan menyunggingkan senyum manisnya,“Udahan ah dandannya, jazakillaahu khair ya ukh atas nasihatnya. Semoga Ukhti juga mendapat yang Allah pilihkan. Ayuk segera berangkat tinggal sepuluh menit lagi acaranya dimulai lho…”
                Aamiin. Wa jazakillaahu khair ukh. Sebentar ya, sebentar lagi…”
                “Jangan cantik-cantik ah, nanti si Irsyad salah tingkah lho…” seketika senyum dan pipi merah Zuli merekah atas candaan Iffa.
                “Ih apaan sih Ukh, yang galaukan anti. Kalau mau galau jangan ngajak-ngajak dong. Udah, ayo berangkat sekarang aja.” Jawabnya dengan candaan yang mematikan.
                Cuma senyum yang diberikan Iffa karena memang benar yang sering galau adalah dirinya.
                Di sekolah pertemuan Ihsan dan Iffa tidak bisa dihindarkan. Ihsan yang jarang senyum, hari itu dia menunggingkan senyum kemudian menundukkan kepalanya. Tapi tidak ada balasan dari Iffa, Zuli yang ada didekatnya selalu mengingatkan tanpa henti. Sesekali malah Iffa yang mengingatkan Zuli, “Jagalah hati, jagalah cinta suci Ukh,” ketika dirinya melihat Zuli mencuri pandang dengan Irsyad, sahabat Ihsan. Ya, mereka dua saling mengingatkan.
                Tiba saatnya pengumuman bagi siswa dengan nilai kelulusan paling tinggi hingga kategori peringkat ketiga. Panggilan pertama untuk peringkat ketiga. Tidak ada yang mengira sebelumnya setelah dipanggil dengan dada dan tubuh yang bergetar hampir seluruh anak-anak kelas dua belas yang “didemisioner”. Peringkat tiga didapat oleh anak Rohis yang cukup terpandang yakni Irsyad.
                “Peringkat dua didapatkan oleh seseorang yang sering mengisi kejuaraan-kejuaraan akan tetapi untuk kali ini sepertinya kurang beruntung karena hanya menempati posisi dua. Siapa dia ?” nada yang semangat digemborkan oleh MC acara perpisahan itu. Dilanjutkan lagi dengan menaikkan suaranya,”Nu…rul La…tifaaah…”. Mendengar hal itu kaget seketika oleh Iffa , namanya dipanggil sebagai peringkat kedua. Seketika ia memeluk Zuli yang ada disampingnya. “Alhamdulillaah wa syukrillaah, Ukh saya dapat peringkat dua.”menetes air matanya karena haru dan bahagia yang tiada terkira. Tidak seperti yang disampaikan MC bahwa dia kurang beruntung, padahal dia sangat beruntung sekali bisa dapat peringkat dua. Langkahnya anggun ketika dipanggil ke podium dan semua mata terkesima itu pasti.
                Berdiri di podium diperingkat 2 , sebelahnya ada Irsyad dengan jarak podium peringkat 1 yang masih kosong. Tinggal siapa yang akan mengisi podium peringkat pertama itu. MC sudah bersiap-siap menggelegarkan aula sekolah SMA itu dengan suaranya yang keras ditambah lagi dengan microphone yang digunakan. “Peringkat 1 yang tidak bisa ditebak sebelumnya oleh seluruh jajaran warga sekolah, bagai singa yang akhirnya menunjukkan taringnya, siap menerkam. Siapa dia ?” kata-kata MC membuat penasaran semua yang hadir. Dilanjutkannya,
“Adalah Muhammad Ih…san Zaqi…”. Seketika bergemuruh karena memang tidak disangka-sangka.
Ihsan sujud syukur menjadikan yang melihat bertambah bangga. Sosok yang dikenal sangat santun, sholih, rupanya telah menampakkan taringnya. Kemudian berjalan menuju kedepan menuju podium. Disalami dan dipeluk Irsyad, sahabatnya yang menempati podium peringkat 3. Kemudian bergetar hebat saat memberi selamat kepada Iffa. Jelaslah, karena Iffa adalah sebenarnya sosok dikaguminya. Hanya dia, Irsyad, dan Allah yang tahu.
“Selamat Ukhti, semoga membawa keberkahan ilmu yang anti dapatkan.”
“Insyaaallaah Akh Ihsan. Antum juga.” Ucapnya terbata-bata dan mendadak.
Dilanjutkan Ihsan naik dipodium peringkat 1, ditengah diantara Irsyad dan Iffa. Semua yang melihat sangat senang dan terlena pada meriahnya acara perpisahan itu tapi tidak untuk Ihsan dan Iffa yang sedang dilanda asmara dan tidak bisa mengekspresikannya. Tersiksa.
Semua acara dalam perpisahan telah selesai. Tinggal waktu pulang. Saat pulang, dengan memberanikan diri seorang Ihsan menemui Iffa. Dari belakang Iffa, Ihsan yang ditemani Irsyad, memanggil Iffa dengan nada khas lembutnya.
“Ukhti Iffa, Assalaamu’alaikum.”
“Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaah Akh Ihsan. ‘Afwan ada apa ya akh ?”
“’Afwan, saya cuma mau tanya. Tapi sebelumnya selamat atas prestasi yang ukhti capai” Ucap seorang Ihsan yang jarang berhadapan dengan sosok perempuan. Dia salah tingkah. Tepatnya keduanya salah tingkah.
“Iya tadi kan udah selamatnya.” Iffa keceplosan memotong bicara Ihsan.
“Iya ukh. Eh… kita sambil jalan saja ya.”
Mereka berempat berjalan bersama saat pulang. Dua sahabat setia, Irsyad untuk Ihsan dan Zuli untuk Iffa. Iffa yang sedari tadi malu karena tidak pernah samasekali dekat dengan Ihsan. Sebegitu dekat bahkan jalan bersama walaupun tidak berdua.
“Ukh, setelah ini ukhti mau kuliah dimana ?” tanyanya Ihsan kepada Iffa.
“Insyaaallaah di Universitas Sebelas Maret Solo akh, biar deket dan bisa sering pulang, tidak enak membuat orangtua terlalu khawatir kalau kuliah jauh-jauh, apalagi perempuan satu-satunya. Saya ingin orangtua saya juga tentram memikirkan saya.” Jawabnya Iffa yang agak mulai terbuka dengan situasi seperti ini. Ditambahkannya lagi,”Kalau antum akh ?”
“Insyaaallaah saya mau ke Aceh, Universitas Syah Kuala. Saya ingin jauh dengan orangtua saya.bukan karena tidak sayang kepada mereka tapi saya cuma ingin mandiri, semandiri-mandirinya. Orangtua pun sudah menyetujui malah mendukung saya sepenuhnya.”
“Jauh banget akh,” terkejut ketika mendengar itu. Agak lama diam, Iffa menarik napas panjang lalu mengatakan,”Bagus.” Dengan nada yang agak dipaksakan. Dua sahabat dari keduanya tersenyum saja mendengar percakapan mereka. Dan terlalu nampak bahwa ada mimik muka sedih dimata dan wajah cantik Iffa.
Berhenti didepan kos Iffa dan Zuli, mereka berdua berpamitan. “Mari akh, kita pulang dulu. Assalaamu’alaikum.” Zuli berpamitan sekaligus mewakili Iffa.
“Wa’alaikumussalaam warahmatullaah.” Jawab Ihsan dan Irsyad serentak.
Dua bidadari itu membalikkan punggung, meninggalkan dua ikhwan yang sempat menemani mereka berdua. Agak jauh tiba-tiba Ihsan memanggil Iffa, “Ukh Iffa, tunggu sebentar.”
Iffa menoleh kearah Ihsan yang memanggilnya. Ikhwan itu mendekatinya dengan berlari. Terasa panas dingin dihatinya, padahal jika dilihat oleh orang luar sebenarnya itu hal yang biasa. Tapi mungkin inilah cinta yang membuat segala yang biasa menjadi tak karuan. “Iya, ada apa akh?”
“Insyaaallaah saya minggu depan terbang ke Aceh. Semoga kelak ukhti tidak lupa dengan saya. Tetaplah seperti ini ukh. Semoga Allah menjaga ukhti.” Kata Ihsan.
Deg…deg…deg, berdesir hatinya, dan merasuk ke matanya hingga sudut matanya hampir-hampir mengalir airmata antara sedih dan bangga. Senyum Ihsan kala mengucapkan kalimat perpisahan adalah senyum terakhir baginya. Entahlah itu yang dirasakan. “Insyaaallaah, hati-hati akh.” Jawabnya lirih. Sebenarnya Iffa sendiri berharap perpisahan itu diaingin bertanya kepada Ihsan ‘apakah akhi mencintaiku?’. Tapi hal itu tidak sampai dibibirnya, cukup mulut hatinya yang mengatakan.
Ihsan dan Irsyad berlalu meninggalkan sepasang bidadari. Iffa dan Zuli segera pula masuk kosnya. Didalam kos, Iffa tidak kuat menahan tangis, seketika memeluk Zuli.
“Ukh saya ndak kuat menahan rasa cintaku ini ukh. Apa saya katakan saja pada dia kalau saya cinta dan jika dia cinta kami akan saling berkomitmen kedepannya. Apa seperti itu saja ukh ?”
“Ukhti, percaya tidak jika jodoh sudah ditetapkan Allah dan tidak bergeser ? ukhti sudah siap untuk menikah segera ? kalau sudah siap saya pasti sudah bantu untuk memberi tahukan kok lewat seseorang biar bisa tahu apakah Ihsan mau melamar ukhti dalam waktu-waktu ini.” tanyanya lembut tapi ada prinsip ketegasan didalamnya.
Hanya diam, tidak ada jawaban. Dilanjutkan lagi nasihatnya, “Jaga hati ukh, maka engkau akan mendapatkan hati. Jaga cinta engkau akan mendapatkan cinta. Allah mengetahui siapa yang membutuhkan pertolongan untuk hambanya. Sekarang pertanyaannya, apakah kita benar-benar hamba-Nya. Jika iya Allah akan menolong dengan skenarionya, entah sekarang atau kapan. Allah maha mengetahui sedangkan kita tidak. Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Pun sebaliknya.”
“Ibu belum ridha saya menikah. Beliau ingin saya belajar dulu dan memperbaiki dan menata diri. Beliau bilang jika ingin segera menikah maka akan dicarikan calon. Tapi saya bilang sudah punya calon. Lalu dia bertanya apakah saya pacaran,saya jawab tidak. Apakah saya atau dia sudah menyatakan cinta dan saling berkomitmen. Saya diam.” Jelasnya kepada Zuli.
“Berarti ukhti belum siap. Benarkan ?”
“Iya.”
“Jadi lupakan dan perbaiki diri. Allah akan menolong hamba-Nya kok.”

***

Jum’at pagi Iffa, Zuli, dan kawan-kawan yang telah lulus berpamitan kepada adik-adik kosnya. Hari itu perpisahan yang berlinangkan airmata. Apalagi Zuli dan Iffa, yang dianggap teman-temannya sebagai saudara kembar, walaupun tidak kembar. Iffa yang  minggu depan ke Solo, sedangkan Zuli akan ke Makasar kuliah sekaligus menikah dengan jodoh yang diimpikannya walaupun dia tak pernah menjalin hubungan apa-apa, Irsyad. Rupanya Irsyad datang ke keluarga Zuli seminggu sebelum ujian nasional, untuk melamarnya. Secara dramatis orangtuanya mampu diyakinkan oleh sahabat Ihsan itu. Semuanya sudah diceritakan tadi malam oleh Zuli sendiri sebagai penguat Iffa menghadapi perasaannya.
“Ukh selamat yah, anti mendapat sosok yang dimata anti sendiri adalah sosok yang hebat. Semoga dikaruniai berkah dari Allah. Barakallaah.”
Sambil senyum sindiran Zuli menjawab,”Iya , semoga anti juga mendapatkan Ihsan yang didamba.”
“Ih… apaan sih.” Pipinya memerah.
“Aamiin dong ukh, didoakan kok malah gitu. Hehehe…”
“Aamiin…”
***

Di Aceh , selama setahun Ihsan kuliah, dia merasa sudah saatnya mencari pendamping. Hal itu sudah bisa terbaca oleh ustadznya, Ustdaz Amir. hingga pada suatu hari dia ditawari secara pribadi oleh ustadznya tersebut untuk menikah dengan keponakannya yang ada di Jawa, tepatnya di Semarang. Dia sempat menolak, tapi Ustadz Amir masih merekomendasikan. Akhirnya Ihsan mau menerima, dia berfikir bahwa dia masih mencintai Iffa. Kabar terakhir dia mendapat kabar dari Irsyad kalau Iffa dilamar seorang ikhwan dari Solo. Dari situlah dia menerima tawaran ustadznya untuk penawar hati yang terluka sekaligus memang seharusnya dia memenuhi kebutuhan menikahnya segera. Mungkin berjodoh.. “Semoga ini adalah jodoh yang Allah berikan.” Do’anya.
Esoknya hari Sabtu karena tidak ada kuliah dia meluncur ke Banda Aceh dengan Kijangnya hasil dari bekerja keras di Aceh berbisnis percetakan dan marchendise. Dia mengatakan kepada ustadznya dua hari kedepan akan minta berta’aruf dengan pilihan ustadznya. Di rumah ukuran sekitar seratus meter persegi dihuni oleh lima orang, Ustadz Amir, istrinya Ustadzah Maimunah, Syakir anaknya yang paling kecil masih SMA, dan sepasang akhwat kembar, teman satu kampusnya di Syah Kuala, Fatimah dan Hafshah.
Ustadzah  Maimunah membawakan dua cangkir teh, satu piring kurma, dan tiga toples makanan kecil. Setelah mempersilahkan Ihsan, Ustadzah duduk di sebelah Ustadz Amir. Kemudian pembicaraan serius mulai disampaikan oleh Ihsan.
“Ustadz, bismillaah saya berniat segera berta’aruf dengan pilihan Ustadz.” Katanya dengan sangat serius.
“Alhamdulillaah Ihsan, semoga saya tidak salah memilihkan calon untukmu. Kamu adalah anak yang saya cintai. Semoga keponakan saya sepadan dengan antum. Kalau pun Fatimah atau Hafshaf tidak dilamar dilamar lebih dahulu oleh temanmu kampus juga , pasti saya kasih ke antum.” Jawabnya dengan harapan penuh kepada Ihsan.
Mendengar jawaban ustadz dia tersenyum kecil atas ucapan ‘Kalau pun Fatimah atau Hafshaf tidak dilamar dilamar lebih dahulu oleh temanmu kampus juga , pasti saya kasih ke antum’. Dia menimpali, “Kalau boleh tahu siapa yang melamar Fatimah dan Hafshaf, ustadz ?”
“Itu rahasia Ihsan. Tunggu saja undangan walimatul ursynya. O…ya…  antum siap terbang ke Semarang Jum’at minggu depan ? ya… nanti biaya saya tutup, itung-itung shadaqah dari saya karena saya yang menawarkan. Bagaimana ?”
“oh … insyaaallaah saya siap ustadz. Untuk transportnya saya terima kasih ustadz. Semoga Ustadz dan keluarga dilimpahkan berkah dan diganti dengan riski yang lebih baik.”
“Aamiin. Namanya Nur. Ini alamatnya, nanti bilang saja dari Aceh, orangtuanya sudah mengerti.”
“iya ustadz, saya mengerti. Jazakumullaahu khair.”
“ wa jazakallaahu khair. Semoga berhasil.”
“Aamiin , kalau begitu saya pamit dulu Ustadz.”
“Iya silakan.”
“Assalaamu’alaikum warahmatullaah”
“Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh.” Jawaban salam dari Ustadz Amir dan istrinya serentak.

***

Sampai di Semarang, Bandara Ahmad Yani dia melihat sobekan kertas dari Ustadz Amir berisi alamat yang dituju. Tertulis ‘Jalan Dorang No. 83 Semarang’. Pesan taksi meluncur ke alamat yang dituju. Sebelumnya dia mampir ke Masjid Agung Jawa Tengah untuk menunaikan shalat Jumat bersama supir taksi yang dikenalnya sebagai supir shalih ketika selama diperjalanan hanya ada diskusi-diskusi pemikiran Islam. Dalam hatinya ‘wow itu Sopir Keren’. Namanya Pak Khalis. Usai shalat Jumat perjalanan dilanjutkan.
Akhirnya sampai juga ke alamat yang diimpikan. Dadanya bergetar sebelum dia keluar dari taksi. Dia keluar, sambil melihat keadaan sekitar. Rumah sederhana yang sangat bersih dan dari sisi warna adalah rumah yang mudah untuk dikenali.
“Maaf Pak Khalis bayar nanti sekalian ya Pak. Saya pesan taksi bapak lagi untuk pulang. Nanti saya tambah. Sekalian Bapak, temani saya ya Pak sambil didoakan saya mau melamar salah satu anggota rumah ini.” terangnya ke Pak Khalis.
“(dengan senyuman yang menenangkan) iya nak.”
Keduanya menuju pintu yang tertutup dan ada stiker bertuliskan salam dan doa masuk rumah. Pintu diketuk,”Tuk,tuk,tuk… Assalaamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalaam warahmatullaah. Eh bapak, kok sudah pulang bawa tamu lagi.” Seorang ibu berjilbab lebar bukan menatap tamu yang memberi salam tapi malah menatap Pak Khalis dengan tatapan yang seperti sudah tidak asing lagi.
                “Bapak ? Tamu?” suara lirihnya atas pernyataan bingungnya.
                “Ayo nak, kebetulan ini rumah bapak.” Kata pria yang baru dikenalnya dengan ramah mempersilahkan masuk.
                “Jadi bapak ini tuan rumahnya. Kenapa tidak bilang dari tadi. Wah saya jadi malu sendiri pak.”
                “Tidak usah malu nak. Bapak kan diluar sebagai sopir dan didalam sini sebagai tuan rumah. Itu sama saja nak Ihsan tidak usah berlebihan.”
                Dengan senyum yang tulus, Ihsan mencoba masuk ke hal yang serius. Pak Khalis pun faham apa yang diinginkan tamunya itu. Istri Pak Khalis datang membawakan dua gelas besar es susu putih dan suguhan makanan-makanan.
                “Ehmm… Maksud kedatangan saya kemari karena saya dari Aceh pak.” Ujarnya sesuai sandi yang diterima dari ustadz Amir.
                “O… iya saya faham. Kang Aris, ustadz nak Ihsan, kakak saya itu sudah mengabari. Saya faham dan sangat percaya dengan beliau. Saya ridho jika Beliau sendiri yang memilihkan jodoh anak saya. sekarang yang menjadi persoalan kira-kira anak saya mau menerima lamaran nak Ihsan atau tidak. Karena anak saya sudah menolak tiga lamaran dalam setahun ini. Pertama dari teman satu harokinya di kampus. Kedua ustadz muda dari Surabaya. Terakhir rekomendasi anak pengasuh pondok pesantren daerah ini.” jelas Pak Khalis.
                Ihsan mendengarkan lekat-lekat. Tubuhnya menjalar perasaan pesimis akibat dari ‘menolak tiga lamaran’. Sebenarnya apa yang diinginkan perempuan ini. begitu tinggikah dia hingga menolak orang-orang yang tidak biasa itu. Ah… segera ditepis saja perasaan itu jauh-jauh. Jodoh ditangan Allah.
                Walaupun sudah ditepisnya, dada yang berdegup kencang sekali masih belum mau normal kembali. Mungkin inilah sensasi ‘melamar’ anak orang.
                “Begini nak, nanti sore insyaaallaah anak saya pulang dari Solo. Antum bisa istirahat dulu disini, pasti capek.” Tawaran dari Pak Khalis.
                “Anak bapak belum tahu masalah ini ?” tanya Ihsan.
                “Sudah. Tapi dia kan kuliah di Solo. Hari ini masih masuk kuliah.”
                “kuliah dimana pak?”
                “UNS.”
                Mendengar UNS Ihsan menerawang jauh masalalunya, bukankah Iffa juga di UNS ? tapi sekarang bukanlah saatnya memikirkan gadis yang dikaguminya yang sekarang pasti bahagia dengan yang lain.
                “Saya ke masjid saja pak. Saya mau merasakan suasana masjid disini.” Kata Ihsan kepada Pak Khalis.
                “O gitu nak. Tidak apa-apa. Nanti nak Ihsan keluar rumah, belok kiri ada gang kedua masuk aja sampai ketemu mesjid dikiri jalan.”
                “Iya pak, terima kasih. Saya pamit ke mesjid dulu. Assalaamu’alaikum.”
                “Wa’alaikumussalaam warahmatullaah.”

***

                Pulang bersama dari masjid usai shalat Ashar terasa sekali Pak Khalis dan Ihsan sudah klop. Sampai dirumah Ihsan kembali duduk diruang tamu. Kini Istri Pak Khalis telah menyiapkan makan besar untuk makan bersama. Percakapannya diakhiri dengan makan siang mendekati sore. Semua anggota makan bersama di satu meja. Pak Khalis, istrinya, Amri putra kedua Pak Khalis, dan Ihsan. Sebenarnya kurang satu lagi tapi belum hadir, tentunya dialah yang kehadirannya paling ditunggu.
                Makan baru saja dimulai tiba-tiba dipintu ada suara yang pernah didengarnya.
                “Assalaamu’alaikum.” Suara Nur putri Pak Khalis yang akan dilamar Ihsan.
                “Wa’alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh.” Jawab serentak dari mereka yang berhenti sejenak dari lahapnya makan.
                Dalam hati Ihsan merasa pernah mendengar suara itu. Dia ingat, itu sangat mirip dengan suara Iffa. Gumamnya dalam hati “Itu adalah Iffa. Tapi rumahnya kan di Kudus. Toh dia kan sudah menikah. Sedangkan Nur rumahnya di Semarang dan menolak tiga lamaran lagi. Nur kan bercadar, sedang Iffa tidak. Ya bedalah. ” sambil senyum tipis karena membandingkan Iffa dengan Nur. Kepercayaannya semakin bangkit.
                “Itu Nur , nak. Yang kita tunggu-tunggu.” Kata Pak Khalis kepada Ihsan. “Bu, Nur setelah Shalat terus suruh kesini sekalian.” Ujar pak Khalis kepada istrinya. Segera istrinya mengiyakan. Dilanjutkannya memberesi makan yang sudah selesai, dibantu Amri.
                Setelah diberesi, Nur pun sudah selesai shalat. Nur menuju ke ruang tamu bersama ibunya. Dia kaget bukan kepalang karena mengetahui siapa yang datang. Yaitu pujaan hatinya ketika SMA. Dadanya bergetar sama ketika asmara tumbuh pertama kali bahkan bisa dibilang yang sekarang ini lebih hebat lagi tapi dia mampu menguasai dirinya.
                Disisi lain, Ihsan yang sejak tadi salah tingkah ,duduk sambil menundukkan pandangannya ketika Nur datang. Nur duduk disebelah Ibunya. Meja yang dikelilingi enam kursi, dua pang pada sisi panjang meja dan sisanya di sisi lebar meja. Nur dan ibunya duduk dikursi bagian sisi panjang meja sedangkan Pak Khalis dan Ihsan berada di kursi bagian sisi lebar meja. Nur duduk diantara ibu dan bapaknya sedangkan Ihsan duduk dekat ibu Nur.
                “silakan nak, sampaikan apa yang perlu disampaikan.” Bicara Pak Khalis kepada Ihsan dengan serius dalam suasana yang tegang.
                “Bapak Khalis yang saya hormati, saya tegaskan lagi mengapa saya datang jauh dari Aceh, tidak lain satu tujuan yakni saya dari Aceh.”
                “Lalu mengapa nak Ihsan pilih Nur anak saya ?”
                “Saya tidak tahu pak, semoga inilah yang dinyatakan Allah dalam ihtiar saya. dan semoga Ustadz Amir tetaplah menjadi ustadz yang memilihkan kepada saya bukan dengan perhitungan.”
                “Nur, hari ini seorang pemuda datang dari Aceh untuk mencoba mengambil amanah bapak terhadap kamu Nur. Bagaimana tanggapanmu Nur ? ” tanya pak Khalis kepada Nur.
                “Kita sesuaikan sunnahnya bapak. Saya ingin berta’aruf dulu sebelum saya mengatakan ya atau tidak. Saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan.”
                “Silakan ukhti.” Jawab segera dari lisan Ihsan.
                “Apakah sebelumnya antum pernah mengkhitbah yang lain ? Jika saya rasa ridho dengan jawaban-jawaban antum maka saya akan membuka cadar dan antum berhak menentukan pilihan terhadap saya. Tetapi jika saya tidak membuka cadar maka itu penolakan saya.” selidiknya apakah Ihsan yang dulu tetap konsisten terhadap sandi yang dibuatnya sendiri ‘Tetaplah seperti ini ukh. Semoga Allah menjaga ukhti.’.
                “Belum sama sekali.” Jawab Ihsan dengan mantap.
                “Mengapa ? ya ini kan ta’aruf jadi memang harus benar-benar terbuka.”
                “Baik.” Sejenak menghela nafas.
                Orangtua Nur hanya seperti patung melihat mereka berdua bicara serius. Ihsan yang mengambil nafas panjang melanjutkan kalimatnya,”Dulu ketika SMA saya pernah mengagumi seorang akhwat yang bagi saya dia amat shalihah. Saya mengharapkan kelak akan menjadi pelipur kehidupan di dunia maupun akhirat. Sepertinya dia pun punya perasaan yang sama dengan saya, tapi kami tidak pernah tahu benar atau tidaknya. Saya pernah memberi suatu kode bahwa saya berharap dia akan menunggu saya kelak. Tapi saya mendapat kabar bahwa dia telah dilamar teman satu organisasinya. Mungkin  sekarang sudah menikmati kehidupannya. Sudahlah itu masa lalu. Dan sekarang saya berkomitmen dengan pilihan saya yang sekarang. Saya percaya terhadap takdir yang ditulis di Lauh Mahfudz.” Jelasnya, yang hampir-hampir bendungan di mata Ihsan jebol.
                “Siapa namanya ? saya cuma ingin tahu saja.”
                “Nurul Latifah.”
                Semuanya kaget mendengar nama itu terlebih lagi keluarga Nur.
                Sambil membuka cadarnya, Nur atau Iffa berlinang air matanya. “Ini Iffa akh. Iffa belum pernah menerima laki-laki seorang pun, akh.” Suaranya terbata-bata karena airmata yang begitu derasnya. Sontak Ihsan yang mendengar dan melihat Nur yang membuka cadarnya menjadi sosok Iffa terkejut, hanya bisa memuji syukur dan meneteskan airmatanya. Begitu derasnya dua orang yang saling mengasihi itu menumpahkan bah airmatanya.
                Ucap syukur dari Ihsan tiada henti. Pak Khalis dan istrinya begitu takjub dengan skenario Allah. Mereka pun tiada henti-hentinya mengucap syukur. Sekarang giliran Pak Khalis menyakan kepastian Ihsan.
                “Sekarang giliran nak Ihsan. Nur sudah membuka cadarnya, sekarang giliran kamu nak .” katanya kepada Ihsan.
                “Saya minta semuanya harus berlapang dada dengan keputusan saya.”
                Suasana kembali menjadi tegang. Yang awalnya adalah pertemuan dua kekasih dalam hati sekarang mencekam atas kalimat Ihsan itu. “ Saya tidak tahu menahu tentang Nur.”
                Seketika airmata dan isak tangis Nur bertambah deras. Kekasih yang ditunggunya rupanya tidak mau menerimanya. Suasana hening sebentar hanya tangisan Nur. Lalu dengan hal yang tidak terduga, Ihsan menambahkan bicaranya yang memang disengaja diputus tadi. “Saya tidak tahu menahu tentang Nur. Saya hanya tahu Iffa dalam hati saya. saya akan menikahi Iffa. Seorang akhwat yang pernah saya temui di SMA. ”
                Nur yang mendengar itu juga semakin bertambah tangisnya sambil memuji syukur kepada Allah,”Allaahu akbar, Subhanallaah wal hamdulillaah.” Dia memeluk ibunya dengan erat.
                Ihsan melanjutkan lagi,”Bagaimana saya menolak , sedangkan saya menunggu. Kalau bapak tidak keberatan besok saya akan menikahi Iffa.” Tegasnya kepada Pak Khalis yang tidak mau kehilangan kedua kalinya.
                “Bagaimana Nur pendapat kamu ?” tanya bapaknya.
                “Saya tidak bisa menolak terkabulnya doa yang selalu terpanjat , bapak.”
                “Wah saya harus segera menghubungi pihak KUA ini.” kata Pak Khalis.
                Suasan yang semula penuh bermacam-macam perasaan yang tertuang kini hanya bahagia dan menunggu bahagia yang selanjutnya. Barakallaah lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fii khair.
                Terlabuhkan sudah…lelah ini
                Tersandarkan sudah…rindu hati
                Terima kasih Yaa Rabbi…atas pernikahan ini
                Belahan jiwa lelah ku nanti…telah ku jumpai…
                (Seismic : Terlabuhkan)

0 komentar:

Posting Komentar