Rabu, 15 Mei 2013

Sakit Tapi Tidak Sakit

Segala puji syukur hanya kepada Allah yang telah memberiku sakit dengan wajah yang tidak menandakan sakit. Juga karena sakit adalah obat penawar dosa-dosaku. Beberapa memang telah terjadi sehingga ini menjadi karakter saya atau suatu habit yang timbul dari suatu kebiasaan. Ya, sakit tapi tidak menandakan sakit pada ekspresi-ekspresi layaknya aku sakit.

Kata orangtuaku sendiri saya adalah orang yang suka menahan sakit, tidak mau blak-blakan atau terus terang jujur jika sedang sakit. Lebih senang disembunyikan. Apakah saya menyalahkan kedua orangtuaku yang memang sangat mengenal corakku seperti itu? Tidak. Bahkan kadang wajah sakitku terlihat menipu
disekelilingku. Ada beberapa kejadian yang bisa saya ambil sebagai sampel, yaitu sakit selama seminggu waktu smp, saat saya sakit dirumah budhe, sakit di kos dan ketika masuk rumah sakit.

Yang pertama ketika saya sakit selama seminggu itu setelah periksa ke dokter. Sakit yang sebelum periksa ke dokter tidak saya anggap karena saya pun kurang terlalu peduli terhadap sakitku itu. Sebenarnya saya sudah ada gejala dari sering pusing hingga puncak pada suatu hari pulang sekolah saya tidak bisa apa-apa karena saking dinginnya dan pusing yang dirasakan. Akhirnya orangtuaku membawa saya ke dokter dan alhasil saya terkena gejala tifus. Baru setelah itulah wajah saya menandakan seorang yang sakit. Akhirnya harus istirahat selama seminggu dirumah dengan makan 
nasi yang sangat halus.

Yang kedua saat dirumah budhe saya, hal ini saya bicarakan kalau saya sedang sakit tapi agaknya beliau kurang percaya terhadap sakitku. Akhirnya saya periksa, entah saya sakit apa saya pun lupa. Hari berikutnya saya masuk sekolah tapi hari berikutnya saya sudah tidak kuat lagi. Saya ijin pada hari itu dan baru itulah wajah saya menandakan seorang yang sakit.

Yang ketiga di kos, saya rasa karena kecapekan terhadap organisasi yang saya geluti apalagi h-1 waktu itu saya sebagai ketua panitia sebuah acara. H-1 saya sudah sakit dan saya titip ijin kepada sahabat saya, Fatchul Wachid sekaligus sebagai ketua umum organisassi yang saya geluti tersebut. Pagi sakit saya masih biasa, hingga agak siang karena saya tidak kuat lagi terhadap sakit saya kemudian saya telfon bapak saya untuk memeriksakan saya. Saya dibawa ke dokter tapi setelah itu saya tidak diijinkan kembali ke kos. Oh… betapa sedihnya hati ini harus meninggalkan amanah saya sebgai ketua panitia tanpa mengabarkan keadaan saya kepada sahabat saya (ketum). Saya sedih bagaimana kegiatan nanti berlangsung tanpa komando seorang pemimpin. Saya sudah coba lobi kepada ayah saya hasilnya jika saya masih bersikeras maka saya tidak diijinkan ikut organisasi tersebut. Wajah pucat pasi menyelimuti selama  empat hari.

Yang keempat , suatu ketika saya memang sakit tapi mereka keluarga saya kurang percaya karena redaksi saat itu saya ikut aliran-aliran yang menurut mereka aneh-aneh menurut kebudayaan Islam jawa-. Saat itu kakek saya sedang sakit parah, saya disuruh mengajikannya tapi saya tidak mau. Saya bilang kalau saya sakit dan sulit menegakkan kepala saya. Mereka tidak percaya dengan asumsi saya hanya mencari alasan tidak mau ikut ngaji kepada kakek saya tersebut juga wajah saya memang betul tidak menandakan jika sedang sakit.  Akibatnya banyak dari keluarga mengejek, dan ketika itu ayah saya agak marah kepada saya hingga nenek dan ibu saya sebagai penengah dengan mengatakan bahwa saya memang sedang sakit sehingga harus diperiksakan. Saya diperiksakan ayah saya ke dokter. Tanpa disangka dokter merujukkan bahwa saya harus segera ditangani rumah sakit. Ketika itu betapa sakit hati saya karena tidak ada yang percaya jika saya sedang sakit. Sebenarnya dari orangtuaku sendiri sangat mengenal saya bahwa saya bukanlah seorang pembohong tapi kekuatan diluar lebih kencang. Saya senang Allah menunjukkan jalan keluar bahwa saya memang benar-benar sakit. Malamnya mendapat kabar bahwwa kakek saya meninggal.

Dari empat cerita tersebut sedikit menggambarkan bahwa analisis orangtua saya memang seperti yang dikatakan. Begitu pun juga saya, saya berat jika harus mengatakan saya sedang sakit atau sekedar menunjukkan kalau saya sedang sakit. Hari ini saja saya tidak tahu berapa yang tahu jika saya sakit. Karena sakit saya hari ini harus mengorbankan beberapa amanah, amanah organisasi, kuliah dan tugas-tugas. Saya tidak pernah ijin sakit ketika kuliah hanya langsung tidak masuk saja. Saya tidak ingin mereka tahu kalau saya sedang sakit. Iya kalau mereka percaya kalau tidak? Iya wajah seorang yang sakit tidak pernah menempel pada saya. Disisi lain saya memang bersyukur, itulah anugrah yang Allah berikan, seorang yang sakit tapi tidak menandakan wajah yang sedang sakit pula.

Saya berharap nanti ketika matipun demikian secara tiba-tiba dan mati dengan wajah yang menandakan bahwa saya tetap hidup selamanya. Semoga Allah berkenan atas doa ini dan mengampuni saya juga kepada teman-teman semua. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar