Senin, 13 Oktober 2014

Menahan Diri dari Meminta



Kata Hakim bin Hizam, ketika itu ia meminta sedekah kepada Rasulullah, lalu beliau shallallaahu alaihi wa sallam memberinya. Kemudian Hakim meminta lagi kepada Rasulullah padahal waktu itu Rasulullah sudah memberinya. Rasulullah kembali memberinya. Hingga tiga kali hakim mengulangi perbuatannya itu. hingga yang ketiga kalinya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu lezat dan manis, maka barangsiapa menerimanya dengan hati yang bersih (tidak rakus atau serakah), dia akan mendapat berkah dengan harta itu. Tapi barangsiapa yang menerimanya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapatkan berkah dengan harta itu, dia akan seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang diatas lebih baik daripada tangan yang dibawah.”


Nasihat yang indah, segera mendapat respon dari Hakim. Berkatalah ia dihadapan sang Rasul,”Wahai Rasulullaah demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan pernah meminta kepada seorang pun setelahmu hingga aku berpisah dari dunia ini.” Saat itu diakui oleh Hakim sendiri bahwa memang ia meminta harta kepada Rasulullah dengan agak mendesak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Nasihat yang diberikan Rasulullah diartikan tangan diatas sebagai pemberi dan tangan dibawah sebagai penerima. Dalam hal ini memberi sedekah lebih diutamakan daripada menerimanya (yang dimaksud menerima adalah meminta). Diartikan juga tangan diatas ialah yang menjaga kehormatan dirinya dari meminta kepada orang lain.

Apa yang menjadi pelajaran kisah Hakim bin Hizam adalah sebuah konsep yang lebih tinggi daripada sekedar kegiatan muamalah memberi dan menerima, yang kedua kegiatan tersebut tidak bisa dipisahkan. Dalam memberi dan menerima pun Rasulullah ingin memberi pelajaran bahwa memang dalam meminta itu diperbolehkan namun bisa menjadi sesuatu yang merendahkan dirinya sendiri ketika hal itu berlebihan, apalagi sampai memberatkan yang akan “memberi”. Karena pada hakikatnya ketika sedekah itu sudah cukup memenuhi kebutuhan pokok bagi yang minta, maka meminta lagi sudah masuk dalam kategori merendahkan kehormatan diri dihadapan orang lain. Bahkan meminta bisa menjadi sesuatu yang tercela (baca hadits tentang peminta-minta).

Selain itu teguran Rasulullah sangat indah ketika kita membacanya. Begitu urut dan runtut. Bukan kritikan yang pedas keluar dari mulut mulia, namun ada tahapan yang indah. Pertama, Rasulullah memberi sedekah itu (perlu diketahui bahwa Rasulullah jika memberi selalu sampai pada batas yang diperlukan) kepada sahabat Hakim bin Hizam. Dalam tanda yang baik Rasulullah memberi dan membiarkan, juga berhuznudzan kepada Hakim bahwa ia memang sedang butuh. Kemudian, permintaan kedua, bagi Rasul masih diberi dan dibiarkan (dalam pembelajaran) dengan harapan akan mengerti sendiri dan mengoreksi perbuatannya sendiri. Hingga permintaan yang ketiga, nasihat Rasulullah keluar. Sekali lagi nasihat inni bukan nasihat yang pedas. Nasihat yang halus, tidak menjatuhkan, dan membangun. Diberikannya bahwa harta itu lezat dan manis tujuannya adalah supaya berhati-hati dengan harta itu, namun tidak melarangnya. Kemudian rasul membangun nasihatnya dengan memuliakan tangan diatas sebagai perbuatan yang lebih dimuliakan (bukan berarti tangan yang dibawah itu hina hanya saja meminta itu dibolehkan dalam kondisi tertentu atau sekedar muamalah yang keduanya tidak dianggap saling merugikan). Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan bahwa yang dilakukan Hakim adalah penyebab sifat meminta-minta yang tidak dibenarkan dalam Islam. Nasihat yang baik kepada manusia yang baik tentu akan sangat direspon dengan baik pula. Mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh Rasul, Hakim sejak itu tidak pernah meminta sedekah pun kepada orang lain sampai ia meninggal.

Pada dasarnya, memberi dan meminta adalah muamalah yang diperbolehkan. Namun, menjadi tidak seimbang diantara keduanya ketika sudah keluar dari apa yang diinginkan Islam menjadi umat pertengahan. Dalam hal ini pada perbuatan meminta diperbolehkan jika memang butuh atau dengan saudaranya jika dengan meminta bisa merekatkan ukhuwah, menjadi turun derajatnya ketika meminta itu adalah karena rakus, serakah, atau berlebihan dalam meminta, atau memaksa dalam meminta, atau meminta kepada orang yang jika diminta akan memberatkan yang diminta. Sehingga tidak heran jika dalam bab akhlak ada materi pembahasan tersendiri terkait meminta-minta yaitu bab menjaga diri atau menahan diri dari meminta-minta. Bahkan dalam meminta doa kepada yang kita anggap lebih alim atau lebih dekat dengan Allah yang hal itu diperbolehkan jika itu dilakukan berlebihan maka akan menurunkan kebaikan menjadi kurang baik.

Sering kita jumpai adalah peminta-minta yang memaksa supaya diberi. Entah mau itu pengamen, pengemis, atau peminta-minta yang bermodalkan bahasa tubuh yang sangat kekurangan, dalam rangka huznudzan kita akan menghargai dan mendoakannya namun ketika hal itu dilakukan dengan memaksa lalu bagaimana yang akan memberi. Tentu akan berfikir hal lain terkait itu. sudah meminta-minta, maksa lagi. Atau kasus lain adalah ketika meminta-minta dijadikan pekerjaan. Sehingga dari dua studi tadi tidak heran MUI pernah mengeluarkan fatwa haram memberi kepada peminta-minta yang syarat dan ketentuan berlaku yah (hehe jangan seperti media yang sengaja memenggal berita sehingga MUI dipojokkan).

Lalu meminta yang agak bersahabat lagi ketika meminta kepada teman kita sendiri. Mungkin disisi lain tidak masalah jika hal itu bisa merekatkan ukhuwah namun syarat atau sesuatu yang harus diperhatikan ialah mengetahui situasi dan kondisi antara kita dan yang diminta. Apakah ketika kita minta akan menimbulkan prasangka baik atau tidak? Dimana ketika minta iya kalau orang disekitar kita memandangnya karena yang diminta memang sedang berpeluang besar untuk mengeluarkan hartanya untuk dinikmati bersama. Kalau tidak? Ini yang menjadi masalah. Dan satu lagi adalah sikap yang tidak berlebih-lebihan. Misal saja mau tidak orang lain menganggap kita sebagai seorang yang suka minta kepada teman yang lain? (ya, walaupun disisi lain juga kita bisa mengimbangi dengan sering memberi juga). Pernahkah kita minta kepada teman kita yang sedang mendapat rejeki atau kita anggap punya rejeki lebih? Pernahkah kita minta kepada teman yang pulang kampung atau sedang bertamasya? Biasanya kalau dalam pertemanan seringnya adalah dalam bentuk makan-makan atau oleh-oleh. Silakan tidak masalah namun bagi tiap diri hendaknya bisa mengukur dirinya sendiri supaya tidak jatuh dalam meminta-minta, juga tidak berlebihan. Hendaklah juga bisa saling mengerti situasi dan kondisi ketika pertemanan (karena memang terkadang yang memiliki rejeki lebih hendaknya juga berbagi hehe, eh yang bagian ini skip saja).

Lalu meminta yang agak relijius (maaf tidak menemukan kata yang cocok), adalah meminta doa. Meminta doa adalah sesuatu yang diperbolehkan. Hanya saja lagi-lagi ialah ketika hal itu berlebihan. Bukankah Allah lebih menyukai ketika seseorang yang berihtiar itu berdoa kepada Allah sendiri. Allah menyukai hambanya yang berdoa lho…


Ya, semoga dari semua itu kita benar-benar menjaga diri kita supaya tidak terjatuh dalam kategori tangan dibawah. Supaya tidak jatuh dalam keadaan perbuatan yang meminta-minta. Hendaknya kita menahan diri dari hal itu. salah satu tips yang paling aman supaya kita tidak jatuh dalam meminta-minta adalah dengan kita lebih suka memberi. Jika memang harus meminta pasanglah niat yang baik, sebagaimana kata Imam Al Ghazali ketika niat itu banyak dalam hati jika kecondongan niat itu lebih kepada Allah maka akan mendapatkan pahala, jika niat itu lebih condong kepada dunia maka tidak akan mendapatkan apa-apa.


Semoga Allah meneguhkan kita dalam akhlak yang mulia, yaitu menahan diri dan berhati-hati dari meminta-minta.

*kisah diatas terdapat dalam hadit shahih Bukhari dan Muslim.

0 komentar:

Posting Komentar