Jumat, 02 Mei 2014

21.31.00 - 2 comments

Kesucian Dibawah Satu Payung

Di dalam kereta dia hanya bisa membaca sms tersebut dengan agak jauh karena kondisi saat itu sangat berdesakan. Dia hanya membuka dengan melirik ke saku tempat hp-nya disimpan. Ada satu sms dan penunjuk waktu pukul 17.23.

Sudah sampai mana Rasyid?

Sms itu dia biarkan saja, toh tinggal sedikit lagi sampai stasiun. Memang sangat sesak sekali kereta commuter arah Bogor. Terasa lagi ada dering getar dari hp-nya. Ada dua kali dering yang masuk. Akhirnya sampai juga distasiun UI. Sudah tidak sabar dia akan bertemu sahabatnya ketika dulu menjalin cita bersama saat masih kelas tiga SMA, cita untuk bersama masuk UI. Namun, ternyata takdir berkata lain bahwa Rasyid tidak bisa membersamai di UI.
                “Alhamdulillaah sudah sampai. Huh… ramai banget keretanya. Ada sms siapa aja ini…” pekiknya saat keluar dari commuter yang berjubel itu. Dia kemudian berpisah dengan dua teman satu kereta yang sama-sama ke UI tapi berbeda kepentingan. Dilanjutkan buka smsnya.

                “Rasyid, Arin otw ke stasiun UI ini.”

                “Oh ya, nnti tunggu di halte ya…”

Rasyid segera ke halte yang dimaksud. Halte tersebut menggabung dengan stasiun bagian terasnya. Tengok-tengok tidak menemukan keberadaan Arin, dia cari tempat duduk di halte tersebut. Lima menit, sepuluh menit tidak ada tanda-tanda sesosok perempuan yang mencarinya. Akhirnya disms sahabatnya itu.

                “Arin, saya sudah sampai. Ini nunggu di halte deket stasiun.”
                “Lima menit lagi ya…”

Tidak dibalas lagi sms dari Arin. Rasyid menunggunya. Karena capek duduk, dia berdiri sambil menggerakkan punggungnya ke kanan dan ke kiri untuk melemaskan tulang punggungnya yang dimuati tas berat. Sebelah kanan dari orang ketiga disampingnya dilihatnya adalah seorang sosok yang sangat dikenal. Didekatinya. Satu dua langkah, belum sempat dia menyapa sosok itu menatap, berdiri, tersenyum binar, dan menyapanya dengan riang.
                “Rasyid…Assalaamu’alaikum. Ih Rasyi…d bagaimana kabarnya? Kamu masih tetap sama seperti dulu.” Ucap Arin bertubi-tubi melihat sahabat yang lama tidak sua.Terasa kegembiraan keduanya membuat perhatian keramaian tertuju pada mereka yang seakan menambah sebuah sepojok episode kisah persahabatannya, bahkan mungkin timbul rasa lebih dari itu.
                “Alhamdulillaah baik. Arin bagaimana kabarnya juga?”, kegembiraan yang nampak dari keduanya memang tidak bisa disembunyikan satu sama lain.
                “Alhamdulillaah sangat baik Rasyid. ”. Dari keduanya terasa prolog yang disampaikan ringan dan cepat namun mengesankan bagi mereka. Belum sempat berbicara banyak, Arin yang sedari tadi menunggu Rasyid mengajaknya makan.
                “Rasyid, ayo makan . Pasti kamu tadi belum makan deh… ”. Rasyid hanya menurut saja.

***

Jedyar…jedyar… Guntur bersahutan sebelum empat kaki anak manusia melangkah, disusul pula hujan yang lebat secara tiba-tiba pertanda keagungan Allah yang manusia tidak dapat memastikan dengan perkiraan, kecuali tanpa iman.

Lalu Arin dengan sigap mengeluarkan payungnya dari tas kuliahnya. Ada yang salah, payungnya hanya ada satu. Arin memberi isyarat seakan dia menarik tangan Rasyid untuk satu payung dengannya. Rasyid kemudian dengan rasa yang bercampur mengiyakan maksud Arin.

Hujan yang lebat tersebut membuat mereka terpaksa satu payung. Menyeberang jalan kampus depan stasiun UI yang sangat ramai mahasiswa dan mahasiswi berlalu lalang cepat tidak mau kalah dengan rintik deras air hujan. Kerepotan juga ketika harus menyeberang bareng berdua yang tidak biasa berdekatan dalam satu payung. Namun, akhirnya kecanggungan mereka atasi.

Belok kiri, jam menunjukkan pukul 17.49 sebentar lagi adzan. Keduanya suatu saat merenggangkan kedekatan raga mereka, disuatu saat yang lain kembali berdekatan. UI yang banyak orang mengejar hujan bagi Rasyid terlihat lambat ketika melihat mereka berdua, seorang gadis berjilbab lebar satu payung dengan seorang laki-laki sebaya dengannya.

Dibawah satu payung banyak cerita yang terlontar. Bagaimana kuliah, Bagaimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan, bagaimana pandangan membingkai cita-cita jauh kedepan, dan pengalaman-pengalaman yang lain.

Di bawah satu payung, kecanggungan tidak bisa dielakkan. Rasyid yang sering menjauh dari raga Arin seolah tidak hendak tersentuh dan lebih dari itu adalah prinsip kesucian yang dipegangnya. Arin sebagai pemilik payung kadang mendekat kadang menjauh seolah ingin menyatakan payung ini untuk Rasyid karena dia juga harus menjaga kesucian keduanya.

Dibawah satu payung hujan yang deras seolah mendukung keduanya untuk tetap beratap dibawah satu payung. Hingga Rasyid kasihan jika harus Arin yang memegang payung itu. Juga sepanjang jalan menuju masjid UI terasa sangat jauh. Juga mata-mata yang selalu tertuju kepada keduanya dengan kalimat “cie cie dan semisalnya”.

Dibawah satu payung, air hujan yang dingin membasahi keduanya meski dibawah satu payung. Dibawah satu payung, air hujan yang telah membasahi keduanya tidak terasa dingin, malah terassa hangat dibawah candaan dua hati sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Hingga untuk menjaga sebuah ketinggian kesucian,dibawah satu payung Rasyid berkata,
”Payung itu buat kamu saja Arin. Saya khawatir dengan ini kamu mendapat fitnah. Saya tidak kuliah di UI, jadi seandainya saya berbuat maksiat apapun tidak ada yang mengenal saya sedangkan kamu berbeda. Disini kamu adalah bisa jadi banyak dikenal”.
“Tapi Rasyid, nanti kamu kehujanan.”
“Tidak apa Arin, biar saja saya kehujanan dan saya pikir itu lebih baik.”
Arin yang tahu bagaimana karakter sahabatnya itu tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengiyakan. Pun pada hakikatnya Arin juga sadar harus menjaga kesuciannya juga.
Percakapan mereka itu menyadarkan keduanya untuk saling melepas dibawah satu payung. Rasyid menjauh dari payung tersebut. Bahkan dengan kalimat itu empat mata yang saling beradu berbinar seakan ingin menjatuhkan air hujan matanya.

Dibawah satu payung, akhirnya tinggal satu nama yang berdiri diatas kesucian dan membiarkan Rasyid kehujanan atas derasnya, namun diatas kesucian deras dan dinginnya air hujan tetap menghangatkan keduanya. Hingga Allah yang Maha Kuasa menyuruh hujan untuk mereda.

Sepanjang jalan setapak dipinggir hutan kecil yang dilaluinya sudah semakin mendekat dengan masjid UI. Masjid yang akan dimasuki oleh Rasyid pertama kalinya. Belok kanan, jalan sekitar lima puluh meter kemudian belok kiri, menyeberang.
“Nanti kita bertemu dikantin dekat masjid ya Rasyid. Hati-hati.” Kata Arin dengan terbata-bata.
“Iya insyaaallaah.” Jawab Rasyid hingga berlalu masuk ke dalam masjid.

***


2 komentar:

lanjutannya mn mas?
ceritanya gantung ... hho

hehe emang dibuat nggantung. semoga dapat inspirasi baru :)

Posting Komentar