Senin, 11 Januari 2016

23.33.00 - No comments

Perempuan dan Bakpau itu...

Tidak terlambat pagi itu, padahal dia sering terlambat. Biasanya Sa’id jalan kaki sambil melihat alam kampusnya dan reaksi sosial sekitar dia berjalan. Atau kadang setengah lari karena mengejar waktu untuk memperkecil keterlambatannya.

Masuk gedung A, di jurusan Matematika, banyak sapaan yang tertuju padanya. Dia sebenarnya merasa sendiri atau lebih tepatnya tersindir.
“Eh Pak elo mau bersihin gedung, tumben jam segini sudah berangkat” Ketika bertemu Ahmad di lbi Gedung lantai 2.
“Hehe biasa aja. Gue hari ini mau tobat dari kata ‘terlamat’. Inget ya hari ini! Selanjutnya gak tau deh” jawab Said sambil guyonan.
Bertemu dosen kalkulusnya, dia menyapa,”Assalaamu’alaikum Pak!” sambil menyunggingkan senyum dengan pipi lesung sebelah. “Wa’alaikumussalaam. Kok pagi betul?” jawab Dosennya.
“iya pak, sekali-kali.” Sambil berlalu.
Duduk sebentar di tangga lantai 3, sambil minum.

***
Sampailah didepan ruang praktik mata kuliah pemrograman dasar. Duduk melepas sepatunya. Disitu ada juga teman perempuannya, Sasa namanya.
“(Ehmm... ekhmm...) Assalaamu’alaikum Sas. Kok belum masuk?”
“Iya akh. Sarapan dulu. Bakpau coklat.” Jawab Sasa, teman sekelas sekaligus di pembinaan keislaman organisasinya.
“Oh... saya masuk dulu ya, ngadem!”
“Bentar akh. Mmm, ... ini ana masih punya satu lagi bakpau coklat kalau antum mau.” Tawarnya malu-malu.
“Boleh.” Diterimanya bakpau coklat itu, lalu duduk disampingnya kembali. “Manis?” tanya Said, sambil membolak-balikkan bakpau yang masih dalam plastik.
“Iya.” Jawab singkat. “Kemarin gak dateng syura’? temen-temen menanyakan antum karena tiga kali berturut-turut tidak datang syura’. Ada apa?”
Said menghela nafas panjang. “Tidak apa-apa. Tidak ada perubahan dalam gerak kita. Saya jadi malas untuk datang. Kemarin menghasilkan apa? ” sambil tetap memegangi bakpau coklat itu.
“Akh Darwis akhirnya dicalonkan ke ketua BEM. Awalnya mas’ul mempertahankan antum untuk tetap dicalonkan. Tapi kata Yadi antum tidak mau, sedangkan saat itu antum tidak bisa dihubungi. Mas Feri ingin tetap mendengar langsung dari kesediaan antum tapi akh Hadi tidak setuju dan bisa mempengaruhi forum. Akhwat kepecah jadi dua, dukungan ke antum dan ke akh Darwis.”

“Sudah bisa dipastikan. Melulu soal beginian. Padahal kader kita dibawah terlantar. Saya memang ndak mau sejak awal. Juga sudah mengatakan ke akh Yadi. Setiap mau syura’ saya tanya ke dia, kira-kira membahas apa syuranya. Masih seputar pemilu Bem. Lalu mau dikemanakan kader-kader kita?”
“Ana paham maksud antum. Maaf membuat antum marah” merasa bersalah telah memancing ketidaksenangan Sa’id. Tiba-tiba saja dia menangis.
Sa’id yang mengetahui lalu bingung melihat Sasa sesenggukan lalu menangis. Dia diam saja, bingung. Apa dia salah ucap atau melukai perasaannya. Masih belum ada respon akhirnya dia mencoba mengatakan sesuatu. “Bakpaunya saya makan pintu nanti. Kamu kenapa?” tanya Said sambil berharap ada perubahan. Saat itu teman-temannya juga menyaksikan karena melewati mereka berdua sebelum masuk ruang praktikum.
“Tidak tahu. Ana berfikir kalau antum hanya mengurus bidang sendiri, terlalu egois.”

***
Selesai kuliah Said berjalan pulang seperti biasa, jalan kaki. Mampir ke masjid untuk solat berjamaah dzuhur. lalu berjalan lagi melanjutkan. Diujung pintu gerbang belakang dia melihat Ratna melewatinya naik motor. Ratna juga melihat Said. Masih tanpa senyum.
Ratna adalah teman akrabnya dulu di SMA lalu sama-sama kuliah ditempat yang sama. Entah apa dan bagaimana awal kejadiaanya, yang jelas hubungannya renggang semenjak dia berubah menjadi “akhwat”.
Said menyapanya, “Na, assalaamu’alaikum.” Sambil motor yang ditumpangi Ratna berlalu. Selang dari itu diabaikan, Said masih berjalan. Tiba-tiba, motornya memutar dan menghampiri Said.
“Ada apa Id?” tanyanya penasaran.
“Eh... enggak kok. Aku tadi Cuma menyapa. Maaf ya!”
“Oh. Ya.” Ada rona mimik yang tidak menyenangkan dari Ratna.
Tiba-tiba Said menyodorkan bakpau coklat yang belum sempat ia makan tadi. “Ini buat kamu. Bakpau coklat manis.”
Saat menyerahkan bakpau tersebut ada dua motor yang dikenal oleh Said. Motornya Lian dan Sasa. Keduanya berhenti juga menghampiri Said. Mereka berdua ada agenda mengajar anak-anak TPA.
“Ayo akh ikut aku saja. Ngajar anak-anak TPA.” Tawar Lian. Ratna berterima kasih atas pemberian bakpau coklat dan diincipi langsung didepan mereka semua. Lalu pamit.
“Boleh.” Jawab Said sedikit menatap Sasa.

***
Sepeda motor diparkir didepan masjid Al Abror. Anak-anak sebagian sudah datang. Lian segera menyambut anak-anak. Sedang Sasa dan Said masih di tempat parkir.
“Itu bakpau coklat tadi pagi akh?”
“Iya. Saya belum sempat memakannya.”
“Belum sempat atau gak mau memakannya?” tegas Sasa.
***


0 komentar:

Posting Komentar