Rabu, 18 Juni 2014

Ta'lim Lagi (Ta'lim Lagi)

Semester-semester akhir mungkin membuat kita jenuh, stress, lelah, mengejar nilai A, atau membuat frustasi yang berakibat kemunduran kepada segala aktivitas. Semuanya berpacu dalam memforsir focus dan niat masing-masing dari kita. Tidak heran kalau sudah menggerus niat maka bisa jadi kadar iman menurun. Manusiawi, seperti halnya Ka’ab bin Malik dan dua sahabatnya saat itu.

Sehari sebelum ta’lim seperti biasa, sebagai coordinator saya bertugas menjarkom teman2. Alhasil, satu orang yang konfirmasi. Tidak seperti biasanya memang tapi husnudzan lebih baik adanya. Sengaja saat itu saya tulis “Ta’lim Lagi, Ta’lim Lagi” karena saat itu lebih kepada motivasi diri ditengah kebosanan aktivitas-aktivitas ber-PII dan kuliah. Bagiku , majlis ilmu adalah penawar paling mujarab untuk segera mengingat Allah.

Saat meminta konfirmasi, satu per satu mengirim pesan ijin, ijin, dan ijin, juga yang awalnya bisa, akhirnya ijin juga. Ya, aku menyadari saja bahwa ini kondisi yang memang banyak memforsir, dan memecahkan banyak niat. Bagiku itu sementara alasan logis logis, mengapa lesu? Meski kita tahu didepan ada syurga. Sekali lagi manusiawi.


Ingin istirahat dulu, capek selepas kerja. Meski sudah istirahat. Ada yang belum istirahat samasekali.
Menyanggupi meski ijinnya setelah di-sms, itupun syar’i. Mengapa tidak ijin dari tadi, kami menunggu.
Ijin lagi, ada hal yang syar’i. mengapa tidak dari semalam atau tadi. Kami pun menunggu.
Ijin selepas di-sms. Malas keluar, sudahlah. Kalian semua kami tunggu.

Disaat seperti itu, meski api sudah menyala. Tetaplah aku harus memenangkan diriku kesekian kalinya. Dihadapanku ada seorang yang membawa skripsinya ke Langgar untuk sebuah ikatan hati. Ada yang menunggu sejak selepas Ashar dari kader LIB, yang menunggu aksi PII. Dan dua sejoli yang setia menemani ta’lim. 

Sms datang juga dari ustadz. Oh beliau tidak bisa datang. Ini ada akhwat LIB. Mana PII wati? Ah PII wan juga bisa mengurus akhwat. Sebagai coordinator akhirnya aku mengisi.

Doa selalu terpanjat untuk mengharap ridho-Nya. Sayup-sayup membuka ta’lim (materi ta'lim tentang Hikmah: Jalan Menuntut Ilmu, Jalan Menuju Syurga ) teringat kisah Ka’ab Bin Malik yang tidak turut serta dalam Perang Tabuk karena saat itu condong hatinya kepada dunia yang menyebabkan kemalasan. Aku berfikir, bagaimana hati Rasulullah saat itu? sedih sekali, jelas. Lalu bagaimana aku?

Jelas sekali bagiku, aktivis pun manusia biasa. Sekelas Ka’ab Bin Malik juga mengalaminya. Sekelas Mujahid mengalaminya. Kadang aku berfikir juga, jauh dan hanya untuk ta’lim setelah itu bahkan aku tidak tahu bagaimana aku pulang. Tapi bagiku, mujahid tetaplah mujahid. Ikhwan tetaplah ikhwan. PIIwati tetaplah -siap sedia selalu (seperti kata Mars PIIwati). Sekali-sekali tidak apa lah, jangan egois kamu juga kadang seperti itu, bisa jadi lebih banyak dari mereka.

Iya, andai aku Ka’ab bin Malik mungkin berfikir, ah perang lagi, perang lagi. Kapan aku ngurus ini dan itu. sekarang pun seharusnya aku mampu berfikir ah ta’lim lagi, ta’lim lagi. Ah da’wah lagi, da’wah lagi. Jauh, panas, hanya untuk membina, apalagi sekedar turba. Sesekali absen lah, biasanya sudah banyak aktif, istirahat sebentar. Padahal berlindung dibalik kemalasan adalah sesuatu yang sangat bisa dilakukan, jika harus tidak jujur, toh dengan begitu seharusnya juga dia mendapat maaf dari Rasulullaah. Tidak. Kalaupun berbohong tentu Allah akan memberi tahu Rasulullah. Iya kan?


Namun, diluar itu. sudah lazim bagi mereka yang pernah mengalami gejolak turunnya semangat dakwah dan jihad hal itu adalah kesengsaraan.


Meninggalkan satu agenda dakwah samadengan menitik satu langkah kemunduran. Bisa jadi berangsur-angsur jika terus dilakukan akan terlepas sendiri dari agenda-agenda dakwah.
Sebagaimana kesengsaraan batin oleh Ka’ab bin Malik, “Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut dalam perang Tabuk. Namun, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak rasulullullaah saw meninggalkan madinah.”
Bermacam-macam perasaan akhirnya menyelimuti kita saking absen dari agenda dakwah tanpa alas an yang syar’i. bagi aktivis semisal Ka’ab bin Malik, tentu perasaan bersalah, menyesal, merasa terasing. Dalam fikiran mengatakan, “Mengapa akhirnya aku tidak jadi berangkat padahal aku bisa.”. disisi lain padahal mereka yang tahu dan tidak mau berangkat adalah orang-orang berudzur(misal : lemah, orangtua, wanita, dan anak-anak) dan kaum munafik. Mungkinkah kita akan memasuki dua golongan ini meski kita tahu bagaimana komitmen terhadap dakwah dan jihad sudah menguatkan hati kita? Mengapa kita sendiri yang melemahkan? Ya kita sadar, bahwa kita bukan dari kedua golongan tersebut. Kita adalah mujahid tangguh.

Biar aku hancur,

biar binasa,

asal agama Islam capai kemenangannya. (potongan Mars Brigade)

semoga ketika kita sadar seperti itu. merasa bukan kedua golongan tersebut seorang aktivis akan merasa menderita, tidak nyaman, tidak merasa pada tempatnya, lebih-lebih bagi yangjeda waktu “ijin” sudah terlampau jauh dari rotasi dakwah. Namun, bukan untuk kita kan? Tentunya hati kita (kawan-kawan) apapun dalil maupun dalih untuk membenarkan ketidakberangkatan kita yang tidak syar;I itu tetaplah bak api neraka yang menghantui. Sungguh jujurkan kita, meski hukuman itu menyiksa.

Suatu ketika pernah berfikir, “toh yang berangkat itu-itu saja”, “ta’limnya monoton”,”masih ada ta’lim berikutnya”. Yakinlah pasti ketika hatimu bersih, kamu tidak akan tenang meninggalkan dakwah meski sekejap mata.

Keberadaannya di Madinah bersama kedua golongan tersebut membuat dia terkucilkan. Aku bukan orang-orang munafik, mengapa aku disini? Bukan juga yang lemah.
Itu juga yang dialami kawan-kawan PII yang sudah lama tidak membersamai kami. Aktivis PII yang seharusnya berada ditengah kegiatan-kegiatan PII, bersama-sama berjuang seperti dulu rupanya mundur satu per satu. Namun, husnudzan saja , pasti mereka ditempat lain juga berjuang kok. J

Sebenarnya banyak alasan yang bisa dibuat. Alasan palsu tentu akan diterima dan alasan asli, terkadang menyakitkan hati. Sebagai pemimpin Rasulullah tentu sangat kecewa saat alas an yang dilontarkan Ka’ab sangat lugas dan jujur karena kelalaian. Pemimpin mana yang tidak kecewa mendengar pasukkannya mengatakan “Aku malas.”. namun, apa yang bisa dilakukan Sang Nabi saw: memendam marah. Beliau bertanya, “Wahai ka’ab mengapa engkau tidak ikut? Bukankah engkau telah berbaiat?”. Suatu pertanyaan nasihat yang menggetarkan tulang-tulang sendi bagi mereka yang berkomitmen.  Ya, seperti aku yang selalu tersinggung ketika ditanya komitmen.

Hingga akhirnya diujilah dengan hukuman yang sangat menyakitkan, yaitu hukuman social. Tidak dianggap diantara jama’ah kaum muslimin sampai akhirnya sangat-sangat menderita. Ya seperti itulah seharusnya ujian yang diberikan supaya aktivis itu kadang menyesali perbuatannya.
Hanya untuk aktivis tangguh yang bisa melewati masa kefuturan yang hamper-hampir melepaskannya dari dakwah.

0 komentar:

Posting Komentar