Minggu, 16 Maret 2014

Golput atau Tidak Golput ?



Golput istilah yang disematkan dalam cap bagi mereka yang tidak memberi suara pada pemilu. Alasannya bermacam-macam dari terkait agama, pribadi sendiri bahkan bisa jadi adalah kekecewaan atas rezim yang sedang berlangsung.

Hmm… saya termasuk seseorang yang acuh terhadap PEMILU itu sendiri. Namun itu dulu. Seperti yang sebab diatas, termasuk dalam kategori GOLPUT atas pilihan sendiri. Alasan paling sederhana adalah saya tidak mengenal capres tentang kebaikannya atau bahkan menurut saya pada waktu itu tidak ada yang pantas.

Dalam keberjalanannya pemikiran itu menguatkan bahwa sistem demokrasi adalah sistem yang hancur menurut Isla
m. Bahkan dulu demokrasi pada awalnya adalah suatu sosok sistem yang sangat ditentang (Silakan cari pendapat para filosof-filosof Yunani ketika itu.). Ah… bagiku demokrasi itu sangat tidak logis dan tidak sosialis dalam penerapan kaidah penetapan suatu hukum positif (Atau mungkin saya yang bodoh ya…). Entahlah namun bagiku demokrasi tetap sistem yang semu , tidak tegas. Tergantung siapa yang menjalankan.

Semakin berjalannya waktu, masih masalah keyakinan bahwa demokrasi adalah sistem yang buruk, bahkan parpol “Islam” pun tidak luput dari apa yang saya fikirkan (Mengapa mereka begitu?). dengan mengkaji lebih dalam, semakin belajar bahwa saya meyakini apa yang menjadi suatu siyasah bagi mereka adalah bukan suatu hal yang kufur -dengan kajian yang panjang- (walaupun menurut pandangan pandangan lain termasuk dalam bejana air kekufuran.).

Lagi-lagi masalah perbedaan ya terkait ini. ingat ya perbedaannya, perbedaan ulama’ terkait siyasah kebolehan atau tidaknya lho ya, bukan tentang keyakinan sistem demokrasi yang benar. Eh… pengantarnya kebanyakan.

Oke, bismillaah. Pandangan saya tentang Golput atau Tidak Golput.

Menurut hemat saya, sebagai implikasi bahwa saya membenarkan tentang siyasah melalui parlemen dengan meyakini hanya sistem Islam yang final adalah memberi suara pada pemilu adalah suatu rentang dari anjuran hingga mendekati wajib. Lalu bagaimana dengan pendapat para ‘ulama’ ? akan saya paparkan dibawah ini.

Sebelumnya akan saya paparkan ulama-ulama yang tidak memperbolehkan samasekali partisipasi dalam parlemen. Diantaranya, Syeikh Sa’ad As-Suhaimi, Syeikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syeikh Abdul Malik Ramadhan Al-Jazairi, Sayyid Quthb, Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I, Syeikh Abu Muhammad Al-Maqdisi, Syeikh Abu Bashir At Turthusi, dan yang sependapat dengan mereka -rahimakumullaah-. Tentunya untuk pendapat mereka tidak akan kami bahas karena sudah lazim diketahui bahwa memang didalamnya tidak ada toleransi.
Kemudian yang lain, ialah sebagian besar pendapat ulama yang merinci permasalahan ini.

1.       Syeikh Al Albani -rahimahullaah-

-          Aku tidak melihat ada sesuatu yang melarang masyarakat muslim untuk memilih orang-orang pergerakan islam dan siapa pun yang lebih dekat kepada manhaj ilmu yang shohih, bila memang diantara para calon ada orang yang memerangi Islam, dan ada para calon yang islami dari partai-partai yang manhajnya bermacam-macam. [Majalah Assalafiyah, edisi 3, tahun 1418 H, hal: 29]

Pertanyaan: Apa hukum keluarnya kaum wanita untuk mengikuti pemilu?
-          Jawaban: Mereka boleh keluar (untuk itu) dengan syarat yang sudah ma’ruf untuk mereka, yaitu: berjilbab dengan jilbab syar’i dan tidak bercampur-baur dengan kaum lelaki… Kemudian, mereka memilih orang yang lebih dekat kepada manhaj ilmu yang shohih, karena alasan menolak keburukan yang besar dengan keburukan yang kecil. [Majalah Assalafiyah, edisi 3, tahun 1418 H, hal: 29]
Jika di sana ada Kaum Muslimin… yang mencalonkan dirinya untuk masuk parlemen, dengan dalih mengurangi keburukan (yang ada)… baik untuk pemilihan dalam lingkup kecil, maupun pemilihan dalam lingkup besar, maka kami akan memilihnya. Kenapa? Karena di sana ada kaidah islam yang bisa kami jadikan dasar mengatakan ini, yaitu: bila seorang muslim berada di antara dua keburukan, maka ia (harus) memilih yang paling sedikit buruknya dari keduanya.
Tidak diragukan lagi, adanya seorang pemimpin negeri yang muslim, tidak diragukan itu lebih sedikit buruknya… dari pada adanya seorang pemimpin negeri yang kafir atau atheis…
Kami membedakan antara masalah memilih dengan masalah mencalonkan diri. Kami tidak mencalonkan diri; agar dipilih karena kami akan terbakar. Adapun orang yang tidak mau kecuali membakar dirinya -baik sedikit maupun banyak-, dan mencalonkan diri di pemilihan ini ataupun itu, maka -karena alasan menolak keburukan terbesar dengan keburukan terkecil-, kami akan memilih orang muslim ini, bukan orang kafir atau orang atheis itu.

Penanya: Wahai Syeikh kami, saya paham dari ucapan (Anda) ini, bahwa untuk parlemen atau pemilihan pemimpin negeri, bila ada seorang muslim yang mencalonkan diri, maka boleh memberikan suara untuknya?
-          Syeikh: Ya (benar), tapi itu karena alasan menolak keburukan terbesar dengan keburukan terkecil, bukan karena hal itu baik. [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 660]


Penanya: Telah sampai kepada kami perkataan Anda tentang pemilu, bahwa Anda mengatakan: “Ikhwanul Muslimin” yang turun (dalam kancah politik), tidak seyogyanya mereka turun, tapi ketika mereka telah turun, maka Kaum Muslimin harus mendukung mereka?.
-          Syeikh: Pertama, kami tidak mengkhususkan penyebutan “Ikhwanul Muslimin”… Kita akan melihat di lapangan; ada orang-orang pergerakan islam yang mencalonkan dirinya… Ketika keadaan demikian, maka wajib bagi kita untuk memilih yang paling baik dari mereka yang turun di kancah pemilu, dan kita tidak boleh membuka kesempatan bagi masuknya kelompok sosialis, atau ba’athis, atau munafikun, atau dahriyun, atau yang semisal mereka, inilah pendapat kami.

Penanya: Anda mengatakan kita wajib memilih yang terbaik dari mereka?
-          Syeikh: Ya, (benar). [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 221, menit: 2:57]

Adapun golongan kedua, yakni orang-orang yang memilih mereka (yang dicalonkan), maka kami mengatakan: mereka (para pemilih) harus menerapkan kaidah syariat, yaitu: jika seorang muslim jatuh diantara dua keburukan, maka dia wajib memilih yang paling sedikit keburukannya. Maka saya sebagai salah satu dari individu umat ini memilih pendapat yang intinya:
Agar seorang muslim tidak mencalonkan dirinya, karena dia akan rugi dengannya, baik rugi banyak maupun sedikit. Tapi, kita harus mengobati kenyataan ini, betapapun buruknya keadaan ini.
Maka apabila kelompok pergerakan islam maju dan mencalonkan diri mereka, sedang di depan mereka ada golongan manusia -yang bisa jadi mereka itu muslim tapi tidak taat, atau tidak muslim sama sekali, atau pernah muslim tapi murtad setelah itu-, ketika keadaannya demikian, maka sesuai kaedah yang telah disebutkan tadi: kita harus memilih orang yang bila dia masuk dalam parlemen… keburukannya lebih sedikit dari keburukan selain dia. Karena hal ini, maka wajib bagi semua pemilih untuk memilih kelompok pergerakan islam, apapun pemikiran mereka, partai mereka, …, …, …, dan seterusnya…
Inilah pendapatku, jadi ini berkaitan dengan dua golongan: golongan yang mencalonkan diri mereka; kami tidak menasehatkan untuk (mengambil langkah itu). Adapun ketika mereka telah mencalonkan diri mereka, maka kita harus memilih dari mereka; orang yang lebih dekat kepada praktek agama islam. [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 287, menit: 30:12]

-          Jika di sana ada orang-orang dari pemuda muslim yang mencalonkan dirinya sebagai wakil di parlemen, dia bersaing dengan orang-orang lain dari partai-partai yang tidak islami, maka jika keadaannya demikian, saya melihat bolehnya memilih jenis pertama, karena bila kita tidak memilihnya; jenis pesaingnya akan berhasil, hal ini karena alasan mewujudkan bahaya terkecil. Kami tidak menasehatkan seorang muslim untuk mencalonkan dirinya, tapi bila ia menolak (hal itu), dan melihat adanya kebaikan dalam langkahnya, maka kita wajib memilihnya. [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 441, menit: 15:20]

2.       Syeikh ‘Utsaimin -rahimahullaah-

Pertanyaan: Wahai syeikh, apa hukum pemilu yang ada di Negara Kuwait, padahal diketahui; mayoritas orang pergerakan islam dan para da’i yang masuk ke dalamnya, agamanya menjadi rusak? Lalu apa hukum pemilihan ketua kabilah yang ada di sana?
Jawaban: Saya melihat, (mengikuti) pemilu itu wajib, kita wajib menunjuk orang yang kita lihat ada kebaikan padanya, karena bila orang-orang yang baik pada mundur, siapa yang akan menempati tempat mereka? (tentu saja) orang-orang yang buruk, atau orang-orang ‘pasif’ yang tidak memiliki kebaikan atau keburukan, pembeo setiap orang yang berteriak (mengajaknya), maka kita wajib memilih orang yang kita nilai saleh.
Jika ada yang mengatakan: Kita memilih satu (orang saleh), padahal mayoritas anggota majlis bertentangan dengan keadaannya.
Kita katakan: Tidak masalah, satu orang ini, jika Allah memberikan keberkahan padanya, dan menyampaikan ‘pesan kebenaran’ dalam majlis ini, itu akan mempunyai pengaruh, dan itu keniscayaan. Tapi (masalahnya) kita kurang tulus terhadap Allah, kita menyandarkan diri pada hal-hal yang bersifat materi dan kasat mata, tapi tidak melihat kepada kalimat Allah azza wajall.
Lihatlah tindakan Nabi Musa -alaihissalam- ketika Fir’aun meminta kepadanya ‘waktu janjian’ agar dia bisa mendatangkan semua tukang sihir, Nabi Musa memberikan ‘waktu janjian’, yaitu: waktu dhuha pada hari raya (mereka), di siang bolong, di tempat yang lapang. Maka seluruh manusia pun berkumpul, lalu Nabi Musa -alaihissalam- mengatakan kepada mereka: “Celakalah kalian, janganlah kalian berdusta atas nama Allah, sehingga Dia membinasakan kalian dengan azab, dan pasti merugi orang yang berdusta (atas namaNya)”. Satu kalimat yang bisa menjadi ‘bom’. Allah mengatakan setelah itu: “Maka mereka pun saling berselisih dalam urusan mereka, tapi mereka merahasiakan percakapan mereka”… Dari sejak Nabi Musa mengucapkan kalimat itu, mereka saling berselisih dalam urusan mereka, dan bila orang-orang telah berselisih, maka itu kelemahan, sebagaimana Allah ta’ala berfirman: “Janganlah kalian saling berselisih, sehingga kalian menjadi lemah”… Dan hasilnya, para tukang sihir yang datang untuk melawan Musa, malah menjadi bersamanya, mereka menyungkur sujud kepada Allah, dan mengumumkan: “Kami telah beriman kepada Rabb Harun dan Musa”, padahal Fir’aun di hadapan mereka. Pesan kebenaran telah mempengaruhi mereka, dari satu orang, di hadapan umat manusia yang banyak, dan pemimpinya orang yang paling angkuh.
Oleh karena itu, saya katakan; walaupun bila di majlis parlemen hanya ada sedikit pengikut kebenaran, mereka akan memberikan manfaat, tapi mereka harus tulus kepada Allah ta’ala.
Adapun perkataan bahwa parlemen itu tidak dibolehkan, begitu pula bergabung dengan orang-orang fasik dan duduk bersama mereka, (maka) apakah kita mengatakan boleh duduk dengan mereka untuk menyetujui mereka?! Kita duduk bersama mereka untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka.
Sebagian saudara kita dari ulama mengatakan: “Tidak boleh bergabung (dengan mereka di majlis), karena orang yang lurus tersebut akan duduk bersama orang yang menyimpang”. (maka kita katakan), apakah orang yang lurus tersebut duduk untuk menyimpang, atau untuk meluruskan yang bengkok? Tentu untuk meluruskan yang bengkok dan mengubahnya. Jika dia tidak berhasil pada kali pertama, tentu ia akan berhasil pada kali kedua.
Penanya: … Wahai Syeikh, bagaimana dengan pemilihan ketua kabilah?
Syeikh: Semuanya sama, calonkan siapa yang kamu anggap orang baik, dan bertawakkallah kepada Allah!
Pertanyaan: Syeikh yang terhormat, ada yang bertanya: Apakah Anda telah memfatwakan bolehnya pemilu? Apa hukumnya?
Jawaban: Ya, memang saya telah memfatwakan itu, dan ini sebuah keharusan, karena bila suara Kaum Muslimin hilang, artinya; majlis akan murni menjadi milik pelaku keburukan, (berbeda) bila Kaum Muslimin ikut serta dalam pemilu, mereka akan memilih orang yang mereka lihat pantas dengan hal tersebut, sehingga akan timbul kebaikan dan keberkahan. [Kitab As'ilah Qotoriyah, hal: 34]
Syeikh Ahmad bin Abdurrohman al-Qodli mengatakan: Aku telah bertanya kepada Syeikh kami (yakni Syeikh Utsaimin) -rohimahulloh- tentang Kaum Muslimin di Amerika, apakah mereka boleh mengikuti pemilu yang berjalan di beberapa wilayah (Negara tersebut) untuk mendukung calon yang mendukung kepentingan Kaum Muslimin?, maka beliau menjawabnya dengan persetujuan, tanpa ada keraguan (sedikit pun). [Kitab Tsamarotut Tadwin, masalah no: 593, tertanggal 29/6/1420 H]

3.       Syeikh Binbaz -rahimahullaah-
Wajib bagi Kaum Muslimin di Negara yang tidak berhukum dengan Syari’at Islam, untuk mengerahkan usahanya dan apapun yang mereka mampui dalam berhukum dengan Syariat Islam. Dan (wajib pula bagi mereka) untuk bersatu padu dalam membantu partai yang dikenal akan berhukum dengan Syari’at Islam.
Adapun membantu orang yang mengajak untuk tidak menerapkan Syari’at Islam, maka ini tidak boleh, bahkan bisa menyeret pelakunya kepada kekufuran, sebagaimana Firman Allah ta’ala (yang artinya):
“Hendaklah Engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, janganlah Engkau mengikuti keinginan mereka, dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdaya Engkau dalam sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu. Lalu jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allh berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan?! Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini” (al-Ma’idah 49-50)
Oleh karena itu, ketika Allah menjelaskan kufurnya orang yang tidak berhukum dengan Syari’at Islam, Dia memperingatkan agar tidak membantu mereka atau menjadikan mereka pemimpin, dan memerintahkan Kaum Mukminin agar bertakwa bila mereka benar-benar beriman, Allah ta’ala berfirman (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian jadikan sebagai pemimpin; orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang kafir yang menjadikan agama kalian sebagai bahan ejekan dan permainan, dan bertakwalah kepada Allah bila kalian orang-orang yang beriman. (Al-Ma’idah: 57).  [Fatwa Lajnah Da'imah, seri kedua, 1/373]

4.       Syeikh Assi’di -rahimahullaah-
Sungguh Allah ta’ala itu melindungi kaum mukminin dengan jalan yang banyak, mereka kadang mengetahui sebagian jalan itu, dan kadang mereka tidak mengetahuinya sama sekali. Kadang Allah membela mereka melalui kabilah dan penduduk negeri mereka yang kafir, sebagaimana Allah melindungi Nabi Syu’aib dari hukuman rajam kaumnya melalui keberadaan kabilahnya. Dan sungguh hubungan-hubungan pertalian ini bila dengannya Agama Islam dan Kaum Muslimin bisa terlindungi, maka tidak mengapa berusaha mewujudkannya, bahkan bisa saja hal itu diharuskan, karena perbaikan itu dituntut sesuai dengan kemampuan dan kesempatan.
Oleh karena itu, jika Kaum Muslimin yang berada di bawah kekuasaan kaum kafirin berusaha dan bekerja untuk menjadikan Negaranya bersistem Demokrasi, sehingga penduduk dan masyarakatnya bisa mendapatkankan hak agama dan dunianya, tentunya ini lebih baik daripada mereka tunduk kepada Negara yang merampas hak agama dan dunia mereka, berusaha menindas mereka, dan menjadikan mereka sebagai pekerja dan budaknya.
Memang benar, bila dimungkinkan Negara itu menjadi Negara Kaum Muslimin dan mereka menjadi penguasanya, tentunya itu yang diharuskan. Tapi karena tingkatan itu tidak dimungkinkan, maka tingkatan yang di dalamnya agama dan dunia mereka menjadi kuat dan terlindungi; tentunya (harus) dikedepankan, wallohu a’lam.  [Tafsir Assi’di, Surat Hud, ayat: 91]

5.       Syeikh Dr. Abdullah Al-Faqih -hafizhahullaah-
Beliau ditanya tentang hukum mencalonkan diri dalam parlemen untuk maslahat kaum muslimin, dan hukum memilih partai sekuler, Beliau menjawab:
Tidak boleh bekerjasama dengan partai-partai sekuler dan komunis, karena dasar pemikiran mereka adalah anti Tuhan. Penjelasan yang benar tentang sekulerisme adalah anti agama, dan yang disepakati tentang sekulerisme adalah menghapuskan agama dari negara dan kehidupan masyarakat. Sebagaimana makna komunisme yang merupakan pemikiran yang didasari sikap pemujaan kepada materi, dan materialisme merupakan pondasi semuanya, sama halnya dengan pemikiran yang ditegakkan oleh atheis, yang menghilangkan sama sekali pengakuan atas adanya Tuhannya bumi dan langit.
Ada pun masuk ke dalam majelis perwakilan (parlemen) melalui jalan pemilu dan selainnya, maka pada dasarnya melahirkan manfaat bagi kaum muslimin dengan cara apa saja yang tidak membawa pada dosa, itu merupakan cara yang diperintahkan syariat secara umum. Maka, siapa saja yang niat pencalonannya adalah untuk melayani kaum muslimin dan mengambil hak-hak mereka, maka kami memandang hal itu tidak terlarang. Kami telah jelaskan hal ini, dengan izin Allah, dalam fatwa No. 5141. (Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyah, 1/565)

Beliau juga menyampaikan :
Dikarenakan masalah ini dibangun atas dasar pemahaman maslahat dan mafsadat (kerusakan), dan setiap ulama di masing-masing negara adalah pihak yang paling tahu tentang ukuran hal-hal tersebut (maslahat dan mafsadat), dan mereka juga mengetahui keadaan negerinya dan hal-hal seputarnya. (Ibid, 7/4)

6.       Syeikh Abdul Aziz Alusy Syeikh -hafizhohulloh- (Mufti Saudi sekarang).
Penanya: Belum lama tadi Anda mengatakan, bahwa wajib bagi Ahlussunnah mengikuti pemilu di Negara Irak?
Syeikh: Sungguh, bila Ahlussunnah -pemilik kebaikan, yang berpikiran lurus, dan punya niat tulus-, bila mereka mengeram (berdiam) di rumah-rumah mereka dan membiarkan segala urusan dipermainkan oleh siapa saja yang menghendaki, tentu mereka tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa.
Seseorang tidaklah masuk (pemilu) untuk mewujudkan segala sesuatu atau dia harus menang, tapi dia masuk itu untuk menyumbangkan usaha perbaikan, dan Allah merahmati orang yang memperjuangkan Islam, meski hanya dengan sepatah kata. Satu muslim yang tulus terkadang mampu berdiri di hadapan ribuan orang yang tidak tulus.
Masalahnya kembali kepada niat yang baik, jika tujuannya memperbaiki (keadaan) dan Allah mengetahui hal itu padanya, bahwa ia tidak masuk kecuali untuk memperbaiki dan meluruskan keadaan, maka taufiq Allah akan menyertainya.
Adapun hal-hal selain itu, maka tidak sepantasnya menjadi penghalang, lalu kita mengatakan: sudahlah mereka (Amerika cs) masih ada, mereka (yang masuk) tidak bisa berbuat apa-apa! Tidak, kita hendaknya ikut serta dan memberikan sumbangsih dalam kebaikan, serta berusaha mewujudkan pemilu yang bersih.
Dan hendaklah orang-orang yang baik dan saleh, yang memiliki niat tulus dan pikiran yang baik itu; diakui keberadannya, sehingga mereka tidak membuka kesempatan bagi yang lain. Tapi bila mereka meninggalkan lahan tersebut dan memberikan kesempatan bagi yang lain, mereka tidak akan mampu mengatur keadaan, sebaliknya mereka akan hilang dan disingkirkan, dan tidak akan ada ‘suara yang didengar’ sedikit pun dari mereka.
Penanya: baiklah, wahai Syeikh ada sedikit keterangan, pemilu ini berjalan di bawah naungan penjajah, dan Amerika masih ada (di lapangan)?
Syeikh: Saya tidak mengatakan bahwa orang yang masuk (pemilu) akan membalik keadaan, saya mengatakan: bahwa orang-orang yang baik dengan niat-niat mereka yang tulus, bila mereka masuk, maka dengan taufiq Allah mereka akan mendapatkan hasil dari usahanya. Masuklah, dan berilah sumbangsih dalam kebaikan, “Betapa banyak kelompok kecil yang dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah”.
Allah akan memberi seorang muslim -dengan niat dan tekadnya-; pendukung dan kecintaan dalam hati (manusia), dia bisa memperbaiki banyak kesalahan dan dapat memberikan sumbangsih dalam kebaikan.
Yang penting bukanlah memperbaiki segala sesuatu, tetapi bagaimana aku memberikan sumbangsih dalam kebaikan. Maka, apabila ada banyak usaha (perbaikan) dari sana sini, tentu Allah akan mendatangkan banyak manfaat dengannya.
Penanya: Wahai Syeikh, baiklah, mereka sudah empat tahun lamanya, tapi tidak bisa mengubah apapun! Bukankah lebih baik mereka duduk saja di rumah-rumah mereka, dan tidak meletakkan orang-orang syiah rofidhoh di leher-leher mereka?!
Syeikh: Saya berharap kamu tidak usah melihat hal-hal ini, lihatlah niat-niat yang baik dan masa depan yang gemilang, insyaAllah. Jadikanlah maksud dan tujuan itu; bahwa orang ini masuk, mungkin saja suaranya diperhitungkan, Allah menjadikannya bermanfaat dan dapat bersaing dengan yang lainnya…
Seorang muslim hendaklah berdoa kepada Allah semampunya dan sesuai dengan usahanya, baik tujuannya tercapai ataupun tidak. Yang penting Allah mengetahui bahwa dia telah berusaha dalam kebaikan, telah berusaha mewujudkan keinginannya. Bila niatnya baik, maka dengan niat dan maksudnya, seorang muslim akan sampai pada kedudukan yang agung, dan Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang baik amalannya.

7.       Syeikh Abdul Muhsin al-Abbad -hafizhohulloh- (Ahli hadits paling senior di Madinah sekarang)
Pertanyaan: Apa pendapat Anda tentang menggunakan hak suara dalam pemilu, untuk diketahui bahwa di sana ada partai nasrani yang mengikuti pemilu, dan bila partai itu menang, dia akan memiliki pengaruh besar dan akan berbahaya bagi Kaum Muslimin?
Jawaban: Jika masuknya Kaum Muslimin akan menguatkan ‘sisi baik’ bagi Kaum Muslimin, maka mereka boleh masuk, tapi bila masuknya mereka tidak berpengaruh apa-apa, maka mereka tidak boleh masuk.
Bila masuknya mereka dapat membantu menjauhkan orang yang buruk, dan menempatkan orang yang keburukannya lebih sedikit atau bahayanya lebih ringan, bahkan bila mereka dari orang-orang kafir sendiri, sebagaimana terdapat di Negara-negara yang islamnya minoritas, dan pilihan berada di antara dua orang kafir, yang satu sangat membenci Kaum Muslimin, dan bila dia sampai ke tampuk kekuasaan, dia akan memusuhi mereka, dan menghalangi mereka dari pelaksanaan amal ibadah mereka sebagaimana mestinya, sedang yang kedua tidak demikian, dia toleran terhadap Kaum Muslimin, tidak memiliki permusuhan yang besar dengan mereka… Jika perkarannya berada di antara dua pilihan ini, dan masuknya Kaum Muslimin akan menguatkan posisi si kafir yang ‘lembut’ kepada Kaum Muslimin itu, maka mereka boleh masuk.
Tapi bila masuknya mereka tidak berpengaruh apa-apa maka hendaklah mereka meninggalkannya, karena masuknya mereka bukanlah untuk memilih kholifah, karena mereka semua orang-orang kafir yang menguasai mereka, tapi sebagian keburukan lebih ringan dari sebagian yang lain, dan mengambil bahaya yang lebih ringan agar selamat dari bahaya yang lebih besar itu merupakan tuntutan.
Telah maklum bahwa Allah menyebutkan dalam Alquran; kegembiraan Kaum Muslimin dengan kemenangan Romawi atas Persia, padahal dua-duanya kafir, tapi mengapa Kaum Muslimin bergembira dengan menangnya Romawi atas Persia? Karena Persia adalah kaum majusi dan kekufuran mereka itu parah dan dahsyat, dan sebagaimana sabda Rosul: “Kekufuran yang paling dahsyat adalah kekufuran yang ada di (belahan bumi) bagian timur”, Raja Persia merobek surat Rosulullah yang sampai kepadanya, adapun Raja Romawi, ia menjaga surat (beliau yang sampai kepadanya).
Maka (jelas) berbeda antara orang kafir yang sangat membenci Kaum Muslimin dan orang kafir yang ringan bahayanya terhadap Kaum Muslimin.
Maka jika masuknya mereka dapat menempatkan orang yang bahayanya lebih ringan, maka mereka boleh masuk, tapi jika masuknya mereka tidak berpengaruh apa-apa, maka hendaknya mereka menjauhinya.

Pertanyaan: Apakah ikut serta dalam pemilu termasuk dalam kategori merubah kemungkaran dengan ‘tangan’, karena seseorang bisa memilih orang yang saleh agar menjadi penguasa?
Jawaban: Pemilu ini bukanlah cara yang sesuai syariat, tapi ia merupakan cara yang menyusup kepada Kaum Muslimin dari musuh mereka, dan keputusan di dalamnya tergantung pada mayoritas, walaupun mayoritasnya dari orang yang paling rusak, atau orang yang memilihnya dari orang yang paling rusak, karena mereka memilih salah seorang dari mereka dan keputusan milik suara terbanyak, dan ketika yang terbanyak adalah orang-orang buruk, maka mereka akan memilih salah seorang yang buruk dari mereka itu.
Dan masuk dalam pemilu, jika tidak mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan, maka itu tidak pantas (dilakukan). Tapi apabila (langkah masuk dalam pemilu itu) akan mendatangkan maslahat karena perkaranya berada di antara dua orang, yang satu buruk, sedang yang kedua baik, dan jika dia tidak ‘ikut serta’ dalam mendukung pihak orang yang baik itu, maka posisi orang yang buruk itu akan kuat, maka tidak mengapa ‘ikut serta’ untuk meraih maslahat itu dan menolak mudhorotnya.
Bahkan ketika perkaranya berada di antara dua orang, yang satu buruk, sedang yang lain lebih ‘mending’ keburukannya, sebagaima terjadi di sebagian Negara yang islamnya minoritas dan kekuasaan ditangan orang-orang kafir. Bila perkaranya berada di antara dua orang kafir, yang satu sangat membenci Kaum Muslimin, sangat memusuhi mereka, menindas mereka, dan tidak mengijinkan mereka melaksanakan syiar-syiar agama mereka, sedang yang kedua bersikap damai, simpati kepada Kaum Muslimin, dan dia tidak punya kebencian yang besar kepada mereka, maka tidak diragukan lagi menguatkan pihak orang yang ‘ringan’ (toleran) terhadap Kaum Muslimin, itu lebih baik daripada urusan ini (sama sekali), sehingga menyebabkan orang kafir yang sangat membenci Kaum Muslimin itu bisa menang (dalam pemilu).
Dan sebagaimana diketahui, telah disebutkan dalam Alqur’an; bahwa Kaum Muslimin bergembira dengan kemenangan Romawi atas Persia, padahal mereka semua kafir, tapi Romawi lebih ringan, karena mereka masih berafiliasi kepada agama (samawi), adapun Persia mereka menyembah berhala dan tidak berafiliase kepada agama, meskipun semuanya kafir, tapi sebagian keburukan lebih ringan dari keburukan yang lainnya, dan termasuk dalam kaidah syariat; “bahaya yang lebih ringan (harus) diambil sebagai jalan untuk selamat dari bahaya yang lebih besar”, dan apabila bahaya yang lebih ringan telah diambil agar selamat dari bahaya yang lebih besar, maka inilah yang diinginkan…
Intinya; hukum masuk dalam pemilu tidak mutlak adanya. Pada asalnya seseorang tidak boleh masuk di dalamnya, kecuali bila ada maslahat dalam memasukinya, (misalnya) bila perkaranya berada di antara orang yang buruk dengan orang yang baik, atau di antara dua orang yang sama-sama buruk, namun yang satu lebih ‘mending’ dari yang lainnya, dan meninggalkan keikutsertaan (dalam pemilu) akan memenangkan orang yang lebih buruk dan lebih parah, maka dalam keadaan seperti ini, tidak mengapa mengambil langkah mengikuti pemilu, karena alasan “mengambil bahaya yang lebih ringan sebagai jalan agar selamat dari bahaya yang lebih besar”. [Syarah Sunan Abi Dawud, kaset no: 488]

8.       Fatwa Majma’ Fikih Islami (Akademi Fikih Islam)
Setelah mendengarkan bahts-bahts yang diajukan, beserta perdebatan dan diskusi yang mengirinya, maka majlis (Majma’ Fiqh Islami) menetapkan keputusan berikut ini:
1. Keikut-sertaan seorang muslim dengan non muslim dalam pemilu di Negara-negara non muslim; termasuk dalam siyasah syar’iyyah, yang hukumnya diputuskan berdasarkan timbangan maslahat dan mafsadat, dan fatwa tentang hal itu bisa berbeda karena perbedaan waktu, tempat, dan keadaan.
2. Seorang muslim yang dapat menikmati hak kewarga-negaraan di negara non muslim boleh mengikuti pemilihan parlemen atau yang semisalnya, karena besarnya kemungkinan adanya maslahat kuat yang akan dihasilkan dari keikutsertaannya itu, seperti menampakkan gambaran yang benar tentang Islam, pembelaan terhadap masalah-masalah Kaum Muslimin di negaranya, mengadakan lapangan kerja bagi kaum minoritas baik dari sisi agama maupun dunia, menguatkan usaha mereka di posisi-posisi yang berpengaruh, dan bekerjasama dengan orang-orang yang moderat dan obyektif untuk mewujudkan kerjasama yang tegak di atas kebenaran dan keadilan. Dan hal itu ditetapkan berdasarkan batasan-batasan berikut ini:
Pertama: Seorang muslim yang mengikuti pemilihan tersebut, meniatkan keikut-sertaannya itu untuk memberikan sumbangsih dalam mewujudkan maslahat-maslahat bagi Kaum Muslimin dan menolak mafsadat dan bahaya-bahaya dari mereka.
Kedua: Dia melihat keikut-sertaannya itu memiliki kemungkinan besar akan mendatangkan pengaruh-pengaruh yang baik bagi kaum muslimin di Negara tersebut, seperti menguatkan posisi mereka, menyampaikan tuntutan mereka kepada para pembuat keputusan dan para pembuat undang-undang, dan menjaga kepentingan-kepentingan Kaum Muslimin baik dari sisi agama maupun dunia.
Ketiga: Keikut-sertaan dalam pemilu tersebut tidak menyebabkan kemerosotan dalam hal agama pada dirinya.
[Fatwa Majma’ Fikih Islami, yang dilangsungkan di Makkah, tertanggal 26 Syawwal 1422 H, bertepatan dengan 8 Nopember 2007]

9.       Syeikh Dr. Ahmad bin Muhammad Al-Khudhairi (Ulama Saudi, Anggota Hai’ah At Tadris di Universitas Islam Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh)
Beliau ditanya tentang kaum muslimin yang tinggal di Barat, bolehkah ikut pemilu di sana yang nota bene calon-calonnya adalah kafir.
-          Kaum muslimin yang tinggal di negeri non-muslim, menurut pendapat yg benar adalah boleh berpartisipasi dalam pemilihan presiden di berbagai negara, atau memilih anggota majelis perwakilan jika hal itu dapat menghasilkan maslahat bagi kaum muslimin atau mencegah kerusakan bagi mereka. Dan, hujjah dalam hal ini adalah adanya berbagai kaidah syariat umum yang memang mendatangkan berbagai maslahat dan mencegah berbagai kerusakan, dan memilih yang lebih ringan di antara dua keburukan, dan mestilah bagi kaum muslimin di sana mengatur diri mereka, menyatukan kalimat mereka, agar mereka memperoleh pengaruh yang jelas. Kehadiran mereka bisa memberikan kontribusi atas berbagai keputusan-keputusan penting khususnya bagi kaum muslimin di negeri itu dan lainnya. (Fatawa Istisyarat Al-Islam Al-Yaum, 4/506)
10.   Syeikh Abdul Muhsin Al-Ubaikan Hafizhahullah
Beliau ditanya tentu ikut memberikan suara dalam pemilu sebagai berikut:
Pertanyaan: Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Apa kabar Syeikh, Ya Syeikh saya da pertanyaan terkait pemilu, apakah kita mesti ikut pemilu? Saya harap Anda menjelaskan kepadaku dengan dalil-dalil, semoga Allah Ta’ala memberikan pahala, dan aku harap Anda menjawabnya secepatnya. Was Salamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Jawaban: Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Berpartisipasi dalam pemilu adalah suatu hal yang dituntut untuk dilakukan supaya orang yang jahat tidak bisa menjadi anggota dewan untuk menyebarluaskan kejahatan mereka. Inilah yang difatwakan oleh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin”. (Sumber:http://al-obeikan.com/show_fatwa/619.html)

Hmm… begitu banyak yang merinci masalah ini sehingga sebenarnya dibutuhkan sikap yang tegas sebagaimana diatas bagi negeri kita untuk menyatukan pendapat. Sehingga MUI pun sudah memfatwakan pada tahun 2009 yang berisi:

Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum
1. Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
3. Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan  syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.

Rekomendasi
a. Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.
b. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat, sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Fatwa ini ditetapkan di Padangpanjang, Sumatra Barat, pada 26 Januari 2009. Sedangkan pimpinan MUI yang menandatangani adalah pimpinan Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin, Wakil Ketua MUI Dr H M Masyhuri Na'im, dan Sekretaris Sholahudin Al Aiyub, M.Si

Sehingga adanya fatwa MUI tersebut hendaknya kita mentaati walaupun saya sendiri secara pribadi meyakini bahwa sulit bagi yang memang sudah meyakini sesuatu untuk mau mengubahnya. Namun, hal ini bukanlah hal yang kesia-siaan , inilah ilmu yang berkembang. Saya kembalikan kepada perkataan Rasulullaah bahwa ‘Ummatku tidak akan bersepakat diatas keburukan’.

Maka marilah untuk kita tanggalkan sikap fanatisme golongan yang melekat dibadan kita. Bukan sekedar dengan PKS, PPP, PBB atau partai-partai Islam lainnya. Dimana engkau dapati akhlak yang paling mulia. Kita pilih kemudian serahkan kepada Sang Maha Raja. Bijaksana sekali apa yang disampaikan Syaikh As-Sadlaan:

“Harus benar-benar dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama yang wajib diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara yang rajih (kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam mempertahankannya hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen. Terkadang mereka bersikap ekstrim dan memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama yang wajib diketahui dengan pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang yang menyelisihinya, dan terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal sebenarnya permasalahan ini sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini (yang tidak membuka ruang perbedaan pendapat” [Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf : Asasuhu wa Dlawabithuhu oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar Balansiyyah, Cet. Thn. 1417 H, Riyaadl].

Wallaahu a’lam bish shawwab.

Fatwa-fatwa diambil dari berbagai sumber.

0 komentar:

Posting Komentar