Jumat, 01 November 2013

Masa Pemboikotan


tersisolasi
Singkat waktu dalam empat pekan , ada empat kejadian besar yang menggetarkan mata otang-orang musyrik, yaitu Hamzah masuk Islam, disusul ‘Umar, Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menolak suatu tawaran mereka, dan kesepakatan bersama dalam perlindungan Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang dijalin antara Bani Muththalib dan Bani Hasyim, baik yang muslim maupun yang kafir.

Akibatnya orang-orang musyrik kalang kabut dan ditempa kebingungan ekstrim. Benar, jika mereka membunuh Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- maka mereka sadar akan terjadi pertumpahan darah di Bumi Makkah. Sehingga makar pun berlanjut dengan cara yang lain.

***
Mereka berkumpul berunding untuk  menyusun suatu kesepakatan guna mendepak  kedua bani yang melindungi Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Akhirnya terjadi sebuah kesepakatan dalam bentuk suatu Undang-Undang yang berisi : Larangan menikah, jual beli, bergaul, mengasihi, memasuki rumah, berbicara dengan mereka, kecuali mereka menyerahkan Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- secara suka rela untuk dibunuh.Kemudian ditulislah oleh Baghidh bin Amir bin Hayim dan disepakati pula Undang-Undang tersebut digantungkan ditembok Ka’bah bagian dalam.

***
Cadangan makanan mulai habis. Pemboikotan ini benar-benar ketat. Orang-orang musyrik tidak membiarkan samasekali makanan masuk ke tempat pengasingan Syi’ib Abu Thalib. Dikisahkan mereka (baca: bani Muththalib dan Bani Hasyim) sangat kesusahan dalam makan, sehingga dedaunan, rumput-rumput, bahkan kulit binatang yang sudah disamak mereka olah kembali dan dimasak layaknya kulit binatang segar. Tak heran hingga kotoran yang keluar menyerupai kotoran binatang.

Memang ada makanan yang dimasukkan secara diam-diam . mereka pula bisa membeli makanan saat bulan-bulan yang disucikan dari kafilah dagang diluar Makkah, tetapi jika sudah didahului oleh tangan-tangan penduduk Makkah harganya melambung tinggi dan mereka tidak sanggup untuk membelinya.

Pernah Hakim bin Hizam (keponakan Khadijah –radhiyallaahu anha-) mengirim gandum ke bibinya, dicegat oleh Abu Jahal untuk mencegahnya. Hingga datang Abul Bakhtari yang melerai keduanya dan akhirnya gandum bisa sampai ke Khadijah –radhiyallaahu anha-. Bersabarlah wahai kedua Bani pembela Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.

Dalam keadaan seperti ini pun dakwah Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan kaum muslimin tidak surut ketika musim haji. Mengapa bisa ? ya, disaat musim haji(baca: bulan-bulan suci) Undang-undang tidak berlaku karen tidak diperbolehkan pada bulan suci terjadi pembunuhan dan perselisihan. Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- menemui orang-orang yang haji dan mendakwahkan Islam disamping itu selalu diikuti oleh orang-orang kafir terkhusus Abu Jahal dan Abu Lahab sebagai konter apa yang didakwahkan Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Hingga bulan suci habis Undang-undang berlaku kembali.

***

Terasa menyedihkan kedua bani pembela Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ini. Sudah genap tiga tahun hidup dalam pemboikotan. Dalam sisi ini sebenarnya kaum Quraisy terbagi menjadi dua golongan dalam pemboikotan yakni setuju dan tidak setuju. Sehingga berkumpullah mereka yang tidak setuju terhadap pemboikotan ini. Hisyam bin Amr dari bani Amir bin Lu’ay yang sering membawakan makanan dan saling berhubungan dengan bani Hasyim pada malam hari, menemui Zuhair bin Abu Umayyah Al-Makhzumi (salah satu cucu Abdul Muththalib).
                “Wahai Zuhair, engkau enak-enakan menikmati makanan dan minuman sementara engkau juga tahu yang menimpa paman-pamanmu.” Sindiran yang dilontarkan Hisyam bin Amr.
                “Celakah engkau. Apa yang bisa kuperbuat sedang aku sendirian ? demi Allah , andai ada dukungan undang-undang sudah tentu aku batalkan.” Dengan agak marah, Zuhair tidak terima.
                “Wahai Zuhair, engkau sudah mendapatkannya.”
                “Siapa?”
                “Aku sendiri.”
                “Kalau begitu cari orang ketiga untuk bergabung bersama kita!”
Dengan cara yang sama Hisyam menemui Al-Muth’im bin Adi.
“Celaka engkau wahai Hisyam. Apa yang bisa kuperbuat sementara aku sendirian ?”. Sama dengan Zuhair, Al-Muth’im puntidak terima atas ejekan Hisyam.
Dengan puas, Hisyam menimpali,“Engkau mendapatkan orang kedua. ”
“Siapa?”
“Aku.”
“Kalau begitu ayo cari orang ketiga!”
“Aku sudah melakukannya.”
“Siapa?”
“Zuhair bin Abu Umayyah.”
“Belum cukup. Cari lagi orang keempat agar bergabung dengan kita.”
Dengan cara yang sama pula Hisyam pergi menemui Abul Bakhtari bin Hisyam.
“Adakah oranglain yang mendukung rencana ini?”. Tanya Abul Bakhtari.
“Ya ada.”
“Siapa?”
“Zuhair bin Umayyah, Al-Muth’im bin Adi, aku, dan engkau.”. penjelasan Hisyam.
“Cari orang kelima.”
Lalu dia menemui Zam’ah bin Al-Aswad bin Al-Muththalib bin Asad, berbicara dengannya, menyebutkan kekerabatan dan hak-hak mereka.
“Adakah seseorang yang mendukung rencanamu ini?”. Telisik Zam’ah.
“Ada.”, Jawab Hisyam dengan mantap. Lalu dia menyebutkan orang-orang yang telah diajaknya. Lalu disusunlah rencana untuk membatalkan undang-undang itu bersama.
“Aku yang memulai dan aku pula yang akan pertama berbicara.”, kata Zuhair.

***

Mereka pergi ketempat yang biasa digunakan pertemuan keesokan harinya. Dengan menggunakan jubah, Zuhair melakukan thawaf tujuh kali mengelilingi Ka’bah, lalu berdiri menghadap ke orang-orang seraya berkata,”Wahai semua penduduk Makkah, kita bisa menikmati makanan dan mengenakan pakaian, sementara Bani Hasyim binasa, tidak diperkenankan berjual beli. Demi Allah, aku tidak akan duduk kecuali setelah Undang-undang yang zhalim dan kejam itu dirobek.”
Abu Jahal yang berada dipojok masjid berkata,”Engkau pendusta. Demi Allah, Undang-undang itu tidak boleh dirobek.”
“Engkau jauh lebih pendusta. Sebenarnya kami pun dulu tidak rela Undang-undang itu ditulis.”, Zum’ah tiba-tiba menimpali.
“Benar apa yang dikatakan Zam’ah. Dulu kami pun tidak menyetujuinya.”, Abul Bakhtari menambahkan.
“Kalian berdua benar,”kata Muth’im bin Adi,”dan siapa yang berkata selain itu dusta. Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri dari Undang-undang itu dan apa yang dituliskan.”
“Pasti hal ini sudah diputuskan malam tadi dan kalian berembug ditempat terpencil.” Kata Abu Jahal.
Saat itu Abu Thalib hanya duduk di pojok masjid. Dia merasa perlu menemui mereka, karena Allah telah mengisyaratkan kepada Rasul-Nya perihal undang-undang ini, yakni Allah mengutus rayap untuk memakan papan undang-undang tersebut. Ya benar, beliau –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- memberitahukan hal itu kepada pamannya. Lalu Abu Thalib hendak memberitahukan kepada mereka apa yang dikabarkan keponakannya tersebut. Dia menyampaikan hal tersebut bahkan berani menjaminnya, “Jika dia (Rasulullah) bohong maka kita biarkan apa yang ada diantara kalian dan dia. Namun jika dia benar maka kalian harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena terhadap kami.”.
“Engkau adil.”, kata mereka.
Apa yang dikatakan Abu Thalib didengar dan disetujui oleh orang-orang dan Abu Jahal sendiri. Lalu Muth’im  bangkit menghampiri Undang-undang itu dan siap merobeknya. Tercengang, dia melihat rayap memakan papan tersebut kecuali penggalan tulisan “Bismika Allaahumma” dan setiap bagian yang ada kata “Allah”, juga tidak dimakan rayap.

***

Mu’jizat yang Allah kirimkan telah menyelamatkan Rasul-Nya dan pengikutnya dari panjangnya pemboikotan. Mereka menyaksikan tanda-tanda nubuwah dari Rasulullah, tetapi  mereka tetap ingkar seperti yang diberitahukan Allah.



2. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus menerus". (Al-Qamar : 2)

***

Sumber: Sirah Nabawiyah karangan SyaikhShafiyurrahman Al-Mubarakfuri

0 komentar:

Posting Komentar