Rabu, 30 Oktober 2013

07.20.00 - No comments

Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains



nilai dan sains
Sengaja tulisan ini diawali dengan judul provokatif. Judul ini ditulis dengan harapan bisa menembus dan menjejaki belantara kesadaran kita, sampai kemudian bisa melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang bertenaga. Mengapa cendekiawan muslim perlu menelisik ulang bangunan sains yang telah sedemikian mapan? Bukankah manusia telah disuguhi keajaiban demi keajaiban kehidupan yang diciptakan oleh sains? Bukankah sains itu bebas nilai dan universal sehingga bisa berlaku bagi seluruh manusia dan bangsa dalam segala tingkat budaya, keyakinan dan agama? Pada akhirnya, pertanyaan-pertanyaan ini akan menemukan puncaknya ketika sampai pada pertanyaan: Salahkah konstruksi sains sekarang?

Pernyataan-pernyataan bahwa sains telah menghadirkan kemajuan kehidupan sehingga tidak perlu direvisi, sains tidak ada sangkut pautnya dengan keyakinan apalagi agama, bahwa sains berlaku universal melampaui batas-batas keyakinan, budaya, agama dan bangsa merupakan pernyataan-pernyataan yang kebenarannya prematur. Ungkapan-ungkapan lain yang semakna hanya menunjukkan bahwa hasil cerapan terhadap perkembangan sains itu sama sekali tanpa diikuti sikap kritis, nilai sikap yang menjadi diktum utama dalam sains itu sendiri.
Dalam sebuah demokrasi yang ideal, tentu saja fair bila diktum utama sains yaitu memandang segala sesuatu dengan sikap skeptis (penuh keraguan) kemudian dipinjam untuk melakukan otokritik terhadap sains itu sendiri: memandang sains dengan penuh keraguan dan bahkan curiga. Sikap skeptis ini diwujudkan dalam tesis utama yang menjadi bingkai seluruh naskah ini: sains adalah produk sosial. Tesis ini begitu penting sebab ia memberikan aksentuasi yang kuat tidak hanya tentang proses kelahiran dan perkembangan sains, namun juga dalam arah dan penggunaan sains. Sebab, penyataan bahwa sains itu bebas nilai berimplikasi bahwa sains juga memiliki sifat netral dan universal. Netral mengandung arti bahwa sains tidak berpihak pada siapapun dan tidak terkait dengan kepentingan apapun, baik politik, ekonomi maupun sistem keyakinan. Universal memiliki makna bahwa sains bisa berlaku di mana saja dan kapan saja, tidak terikat pada batas-batas geografi, sosial, budaya dan juga sistem keyakinan. Oleh karena itu, tesis ini, sains adalah produk sosial, sekaligus menjadi pisau telisik dalam upaya demistifikasi sains modern .
Selama ini, diktum bebas nilai merupakan cara ampuh untuk membungkus sains sehingga ia nampak sebagai sebuah konsep sakral yang tidak bisa dipertanyakan lagi kebenarannya kecuali dengan jalan serupa yang dihalalkan oleh sains itu sendiri. Pada gilirannya, diktum bebas nilai telah sukses memunculkan mitos-mitos mengenai sains sebagai model ilmu yang paling andal, sepenuhnya rasional dan objektif. Karena itu upaya demistifikasi merupakan ikhtiar untuk mengkritisi sains modern dan ia akan menjadi kebutuhan utama dalam tahap awal wacana islamisasi sains.
Dari namanya saja, wacana islamisasi sains sudah memberi kesan pasti ada yang salah dalam sains sehingga perlu dilakukan proses islamisasi. Wacana islamisasi sains merupakan wacana yang akan mendekonstruksi aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis sains. Islamisasi sains tidak berarti menolak seluruh bangunan sains modern, tapi ia akan berikhtiar membongkar dan membangun kembali konstruksi sains modern agar selaras dengan keyakinan Islam.

 

 

Sains sebagai aktivitas sosial budaya

Pemahaman populer tentang sains biasanya berkisar di seputar kisah-kisah hebat para jenius saintis dan hasil temuan-temuan mereka yang biasanya dirangkum dalam formulasi bahasa matematis.
Dalam makna generiknya, sains harus dipahami sebagai upaya manusia untuk mencari tahu tentang suatu fenomena. Jelas, upaya mencari tahu ini tidak akan pernah lepas dari proses penafsiran manusia terhadap fenomena tersebut. Dari sinilah muncul sistem pengetahuan yang terdiri dari objek pengetahuan, metode dan model penafsirannya. Dalam proses mencari tahu itu, aktivitas utama ialah aktivitas representasi yaitu saintis menafsirkan gejala-gejala alam yang kemudian dimodelkan dalam bahasa sains (bahasa yang sekarang dianggap paling komprehensif untuk ini adalah matematika).
Dengan demikian, eksistensi sebuah objek pengetahuan sangat bergantung terhadap tafsiran dan wakilan (representasi). Proses untuk menghadirkan eksistensi objek pengetahuan ini tidaklah terjadi begitu saja secara objektif, seolah-olah saintis menemukan sesuatu sedemikian rupa sehingga seakan-akan objek pengetahuan itu sudah ada sebelumnya. Objek pengetahuan itu adalah hasil konstruksi tafsir saintis. Dan aktivitas penafsiran merupakan aktivitas budaya yang selalu terpengaruh oleh faktor kognitif dan faktor sosial. Dalam ungkapan ringkas Andre Linde (kosmolog Rusia), “Ketika para saintis memulai pekerjaan mereka, mereka secara setengah sadar terpengaruh oleh tradisi budaya mereka”. Dengan demikian, nyatalah bahwa objek pengetahuan sebagai fakta dapat diciptakan oleh manusia sehingga tidak menutup kemungkinan fakta dapat berada di tempat yang tidak tepat. Ini berarti bahwa fakta dapat salah! Ini juga berimplikasi bahwa eksistensi fakta-fakta (objek pengetahuan) itu sangat bergantung pada suatu pandangan dunia yang dianut oleh saintis. Thomas Kuhn dalam The Structure of Scientific Revolution (1962) menyebut pandangan ini sebagai paradigma. Sampai di sini, masihkah kita akan menyebut sains itu bebas nilai?
Maka, dalam khazanah sains kita mengenal bahwa kaum Phythagorean telah mereduksi segala sesuatu menjadi angka-angka dan Parmenides mereduksi segala sesuatu menjadi ruang. Atau, kaum positivis yang telah mereduksi segala sesuatu menjadi data-indra saja dan kaum materialis yang menyederhanakan segala sesuatu menjadi sekedar materi belaka.
* * *
Objek pengetahuan (fakta) itu terasa nyata sebab ia berhubungan langsung dengan sesuatu yang konkret dan melalui metode ilmiah perulangan realitas itu bisa diproduksi kembali.
Proses untuk memproduksi kembali realitas-realitas itu dikenal sebagai uji falsifikasi dalam tradisi sains. Proses uji ini kerap disebut juga sebagai metode ilmiah ala Francis Bacon. Bacon merupakan orang pertama yang merumuskan teori tentang prosedur induktif dengan sangat jelas. Prosedur ini memungkinkan setiap orang untuk menarik kesimpulan dari setiap percobaan yang dilakukan untuk diujkan dalam percobaan lain yang lebih lanjut. Apa yang disarankan Bacon ini sekaligus merupakan serangan telak terhadap aliran-aliran filsafat tradisional. Pada gilirannya, semangat ini kemudian merombak hakikat tujuan penelitian ilmiah. Sejak jaman kuno perjalanan ilmu pengetahuan berujung pada pencarian kearifan lewat pemahaman terhadap tatanan alam dan kehidupan yang harmonis dengan alam. Secara ringkas, dahulu ilmu dicari demi keagungan Tuhan. Sejak Bacon, tujuan ilmu berubah menjadi pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam.
Sebagai seorang jaksa penuntut umum bagi Raja Charles I, Bacon dikelilingi istilah-istilah yang penuh semangat tapi juga sangat kejam. Karena itu, dalam metode peneltian empiris barunya itu, Bacon berpandangan bahwa alam harus diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan dan dijadikan budak. Alam harus dimasukkan ke dalam jeruji dan tujuan ilmuwan adalah mengambil rahasia alam secara paksa. Dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, Bacon ternyata juga rajin menggunakan metafora-metafora yang akrab di pengadilan. Pandangan Bacon yang mengganggap alam layaknya wanita yang rahasianya harus diambil secara paksa merupakan cermin sosio-budaya saat itu tentang praktik perlakuan terhadap wanita dalam pengadilan-pengadilan tukang sihir. Inilah pengaruh sikap patriarkhal (sebuah ‘nilai’ bukan?) yang telah menyusup ke dalam metode ilmiah. Pandangan Bacon ini sekaligus juga melenyapkan konsep kuno tentang bumi sebagai ibu yang menyusui.

Relasi sains modern-agama

Lacakan terhadap jejak-jejak kajian sains akan mengungkapkan fakta bahwa gagasan tentang alam semesta, kelahirannya dan hukum-hukumnya pertama kali muncul dari tradisi agama.
Indonesia, negeri yang kerap dilupakan dalam sejarah sains dunia, bisa membuktikan lewat sisa-sisa monumen Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Kedua candi ini, meski berbeda agama, menunjukkan bahwa antara sains (dalam pembicaraan ini mungkin bisa dipahami sebagai teknosains) dan agama keduanya saling menganyam. Candi Prambanan merupakan pengejawantahan konsep-konsep kosmologis Hindu dan Candi Borobudur merupakan manifestasi kosmologi Budha. Kedua candi ini dibangun bukanlah tanpa tujuan. Keduanya menyimpan ajaran-ajaran agama, bagaimana manusia hidup dalam tata konstelasi manusia-alam-langit, petunjuk sitem pemerintahan dan yang tak kalah pentingnya ialah keduanya sebagai mercusuar peradaban pada jamannya. Pada saat itu, dunia Islam –yang kelak tumbuh sebagai raksasa peradaban– sedang menggeliat di belahan bumi yang lain. Saat itu juga adalah tiga ratus tahun sebelum di Eropa bermunculan katedral-katedral yang megah, di saat Eropa masih nyenyak dalam kegelapan peradaban.
Candi Prambanan dan Borobudur merupakan paduan majemuk yang eksotis antara arsitektur, teknik sipil, kosmologi, ajaran kitab suci dan pandangan hidup manusia saat itu. Bila ditarik ke akarnya sebagai sebuah produk peradaban, semua orang bisa menerima bahwa kedua candi ini merupakan hasil dari sains yang berkembang saat itu. Dan kini, kita menyebut sains itu merupakan sains yang hilang.
Jauh sebelum kedua candi ini, manusia-manusia di Yunani dan Mesir kuno, juga telah membangun peradabannya dengan cara masing-masing. Bangunan Piramida yang mempesona ternyata dibangun berkaitan dengan konsep kematian yang diyakini saat itu. Demikian pula peradaban di Aztec dan Maya. Piramida serupa juga didirikan demi melihat datangnya sang dewa, yang ternyata adalah bintang Cirius.
Sayangnya, artefak-artefak sains dari peradaban-peradaban yang telah disebutkan di atas tidak bisa banyak berbicara tentang sains itu sendiri. Karena itu, untuk melakukan analisis bahwa sains adalah produk sosial di setiap peradaban tersebut besar kemungkinan akan menemuni jalan buntu di tengah proses.
Ketika peradaban Islam sedang meraksasa (700-1200 M), jamak diketahui bahwa semangat para sainstis muslim saat itu digerakkan oleh keyakinan terhadap agama Islam. Namun seiring dengan lunturnya keketatan tradisi agama dalam diri para ilmuwan muslim saat itu, maka redup pulalah sains yang telah dikembangkan. Tulisan ini akan mencukupkan pembahasan sejarah sains Islam sampai di sini saja, sebab dalam konstruksi berpikir ilmiah kita sekarang, pengaruh yang paling besar berasal dari Barat. Padahal sangatlah aneh jika selama ini kita percaya bahwa sains sekarang merupakan kelanjutan dari sains Yunani (sekitar 300 SM) dan kemudian tiba-tiba meloncat ke sains Barat yang baru mulai berkembang sejak 1400 M. Lalu apa yang sebenarnya terjadi di dunia selama 14 abad itu? Apakah mungkin jika perjalanan sains yang berhenti selama 1400 tahun kemudian tiba-tiba melesat menghasilkan sains yang sekarang kita kenal? Jawaban-jawaban yang berkembang terhadap pertanyaan ini kebanyakan berasal dari teori konspirasi dan tulisan ini tidak berkepentingan terhadap teori-teori tersebut.
Senyatanya, dengan jujur harus diakui bahwa sains yang kita kenal sekarang adalah sains yang berasal dari Barat. Peradaban-peradaban Yunani, Mesir, Jawa, Islam klasik, Aztec dan Maya merupakan contoh peradaban yang senantiasa diliputi seperangkat sistem keyakinan. Keyakinan-keyakinan ini berwujud politeisme, animisme, monoteisme, Budha, atau Hindu. Ketika sains berkembang di Barat, sains yang awal mulanya berangkat dari tradisi agama kemudian mengambil jalan yang berbeda dengan agama. Sains dan agama kemudian berpisah, bahkan berseberangan. Inilah peradaban yang harus bertanggung jawab terhadap perceraian agama dan sains modern.
Awal mula perceraian agama dan sains dititikpancangi oleh perseteruan Galileo dan gereja. Layak untuk dicermati, Galileo yang sudah lama percaya pada kebenaran teori Copernicus ternyata menulis teori Copernicus dalam bahasa Itali dan bukan dalam bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa akademis. Ini sangatlah aneh. Memang sangat mungkin, orang bisa beralasan bahwa saat itu Galileo mengajar di Universitas Padua Itali, sehingga wajar ketika ia menulis dalam bahasa Itali. Namun demikian, terasa ada sebuah penghalang yang seolah telah membelokkan orientasi Galileo sebagai seorang akademisi. Ternyata, dikemudian hari, atas sebab tulisan itu, banyak guru besar yang beraliran aristotelianisme bersatu melawan Galileo dan membujuk gereja Katolik agar melarang teori Copernicus.
Peristiwa ini semakin nampak terang tatkala pada tahun 1616 gereja menegaskan bahwa teori Copernicus merupakan ajaran palsu dan keliru. Akhir dari keputusan gereja adalah tahanan rumah bagi Galileo dan ia dilarang untuk menyebarkan ajaran Copernicus. Dampak ajaran Copernicus jika diijinkan untuk disebarkan memang luar biasa untuk ukuran saat itu. Ajaran Copernicus bisa mementahkan kembali sabda-sabda suci gereja. Kesakralan kalimat-kalimat gereja bisa lenyap. Pandangan gereja yang sepakat dengan aristotelianisme, yaitu bumi merupakan pusat alam semesta, dengan demikian sedang bertarung dengan pandangan Copernicus. Karenanya, demi melanggengkan kekuasaan gereja, maka sebuah keputusan harus diambil untuk menyelamatkan kepentingan gereja. Keputusan ini merupakan keputusan politik; sikap gereja terhadap sains. Penegasan gereja ini berujung pada konflik yang kemudian meluas rengkuhannya sebagai konflik antara sains dan agama.
Relasi sains-praanggapan saintis
Saat ini, sains modern tidak lagi berpaku pada teori-teori spekulatif lagi atau sekedar upaya coba dan salah (trial and error) tetapi sains yang kita pegang sekarang merupakan paduan keduanya. Sains modern berpijak pada metode deduktif sekaligus induktif pada saat yang lain. Acapkali, sains sering bermula dari eksperimen dan pengamatan, namun seringkali pula sains berawal dari ramalan teori. Dalam kedua hal tersebut, pranggapan-pranggapan para saintis sangatlah penting sebagaimana termaktub dan tersebar dalam banyak pustaka sains.
  1. Suatu ketika, Heisenberg menentang (tidak sependapat) gagasan bahwa benda-benda atomik dapat dipecah lagi secara tak tertentu dengan suatu alasan yang filosofis, karena itu dia mempertanyakan manfaat membangun mesin pemecah atom yang lebih kuat (Golshani, 2004).
  2. Ketika persamaan matematis Einstein, yang dirumuskan untuk melukiskan alam semesta, dinyatakan oleh Friedman bahwa ia memberikan gambaran kosmos yang mengembang, persamaan itu segera diubah oleh Einstein agar sesuai dengan konsep kosmologi pada waktu itu, yaitu kosmos yang statis. Sayang sekali, penyesuaian ini justru mendapat tamparan keras ketika observasi Hubble justru menyajikan bukti jagad raya ini berekspansi. Akhirnya Einstein mengalah dan kembali ke perumusannya semula (Baiquini, 1998).
  3. Einstein ternyata sangat terpengaruh oleh Spinoza dan filsafat determinsmenya. Karena itu ia tidak pernah dapat menerima mekanika kuantum yang lepas dari determinisme dan kausalitas. “Semakin sukses teori kuantum semakin tolol tampangnya.”(Surat kepada Zanggeria, 1912) “Mekanika kuantum memang patut untuk dipandang; namun suara hati kecilku mengatakan padaku bahwa ini bukanlah Yakub yang sejati. Teori ini terlalu banyak berteriak, namun perkataannya tidak banyak membawa kita lebih dekat pada rahasia-rahasia Sang Tunggal. Dalam banyak hal saya yakin bahwa Dia tidak bermain dadu.” (Surat kepada Born, 1926) (Jammer, 2004).
  4. Erwin Schrodinger ternyata tertarik pada doktrin-doktrin agama Timur, terutama pada hikmah Vedanta (Weda) seperti yang jelas diperlihatkan dalam esainya The Vedantic Vision dan The Doctrine of Identity: light and shadow. Bahkan ia mendapatkan gagasan paradoks kucingnya dari Sankhya, sebuah doktrin hinduisme yang tua dan pesimistik. (Jammer 2004)
Sampai pada tahap ini, apakah Anda masih yakin bahwa sains yang sekarang kita geluti ini bebas nilai? Sejauh ini, paparan yang sudah dilakukan di muka telah membuktikn bahwa saintis selalu menggunakan komitmen metafisik (sebagai praanggapan). Ketika saintis berhadapan dengan masalah-masalah mendasar sains, pengambilan keputusan sulit ditemukan dalam sains itu sendiri. Disinilah peran pranggapan itu. Dan inilah bukti betapa diktum sains itu bebas nilai hanyalah tipuan intelektual belaka.

Sumber:

Marzoeki, D., 2007, Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains, UGM, Yogyakarta.

0 komentar:

Posting Komentar