Rabu, 11 Oktober 2017

Meniatkan Niat bag.1


Niat merupakan amalan hati yang agung bagi kaum muslimin. Keberadaannya sangat menentukan ukuran dalam suatu amalan atau perbuatan seseorang. Mau ukurannya baik atau jelek, sah atau tidak, kuat atau lemah, sungguh-sungguh atau sekedar rutinitas tanpa esensi, semua itu tergantung kepada niat awal yang kita bangun.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang hanya memperoleh apa yang diniatkan itu....” (HR. Bukhari dan Muslim)


Namun, bukankah tidak ada pekerjaan atau berbuatan sedikitpun tanpa adanya niat?

Setiap hal yang ada, diwujudkan dari abstraksi dalam bentuk yang belum berwujud. Jadi ketika kita “Bekerja” sebenarnya dalam alam bawah pikir kita sudah melakukan niat “Mau Bekerja” sehingga akhirnya kitapun “Bekerja”. lalu setiap orang yang “Mau Bekerja” inipun berbeda-beda dalam kesungguhannya. Ada yang tidak semangat, ada yang setengah, ada pula yang benar bersungguh-sungguh dengan keyakinan yang mantap. Tentu hasilnya juga berbeda-beda sesuai kesungguhannya. Ada yang dapat teguran, ada yang dianggap biasa, bahkan karena kesungguhannya yang mantap akhirnya mendapatkan reward yang baik dari pimpinannya.


Lalu bagaiamana seorang muslim berniat dalam segala aktivitasnya?

Islam memandang bahwa setiap niat pun harus memiliki sandaran dan tujuan yang jelas. Dalam lingkup keseharian seorang Muslim, niat haruslah memiliki landasan yang kuat yaitu diniatkan karena Allah, dan untuk mendapat ridhanya. Disinilah sisi seorang muslim diatur tentang niat oleh syariat.

Dilanjutkan dari hadits diatas,... Barangsiapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.

Bahwa ada niat yang esensinya itu pada ketulusan kita beribadah kepada Allah. Ada juga esensi niat yang hanya sekedar pada syahwat keduniawian. Maka niat untuk melakukan perbuatan yang bersandar esensi kepada ketulusan seorang muslim untuk beribadah kepada Allah inilah yang dikehendaki oleh Islam.

Misal juga dalam keseharian kita “Makan”. Kita akan berbeda-beda dalam memandang “Makan”. Ada yang berniat makan ya sekedar makan karena lapar. Ada yang berniat makan untuk menjaga kesehatan lalu dia memperhatikan makanannya sesuai gizi, ada yang makan karena keinginan. Ada yang makan biar terbentuk badan yang ideal. Macam-macamlah cara orang meniatkan makan. Kalau kita pikir lebih jauh niat makan diatas hanya memiliki esensi kepada fisik badannya atau menuruti kemauannya saja, karena diri kita yang menjadi sentris sebab niat makan kita, bukan Allah. Maka perlu diluruskan bahwa kita harus menjadikan niat itu dalam koridor Allah sentris. Misal: makan sebagai penegak badan kita untuk beribadah kepada Allah, menjaga amanah Allah dalam badan kita, atau kebugaran yang berguna dalam jihad fii sabilillah.

Sebenarnya simpel dalam kita mengatur niat ini. Kita cuma perlu memoles niat-niat dalam keseharian kita yang masih dalam hal manusia-sentris menjadi Allah-sentris. Dari hal yang sekedar niat dijalan keduniaan, kita beri jalur akhirat. Darisinilah menyegarkan niat dalam bentuk Meniatkan Niat kembali kepada jalur ukhrawi.

0 komentar:

Posting Komentar