Semester-semester akhir
mungkin membuat kita jenuh, stress, lelah, mengejar nilai A, atau membuat
frustasi yang berakibat kemunduran kepada segala aktivitas. Semuanya berpacu
dalam memforsir focus dan niat masing-masing dari kita. Tidak heran kalau sudah
menggerus niat maka bisa jadi kadar iman menurun. Manusiawi, seperti halnya
Ka’ab bin Malik dan dua sahabatnya saat itu.
Sehari sebelum ta’lim
seperti biasa, sebagai coordinator saya bertugas menjarkom teman2. Alhasil,
satu orang yang konfirmasi. Tidak seperti biasanya memang tapi husnudzan lebih
baik adanya. Sengaja saat itu saya tulis “Ta’lim Lagi, Ta’lim Lagi” karena saat
itu lebih kepada motivasi diri ditengah kebosanan aktivitas-aktivitas ber-PII
dan kuliah. Bagiku , majlis ilmu adalah penawar paling mujarab untuk segera
mengingat Allah.
Saat meminta
konfirmasi, satu per satu mengirim pesan ijin, ijin, dan ijin, juga yang
awalnya bisa, akhirnya ijin juga. Ya, aku menyadari saja bahwa ini kondisi yang
memang banyak memforsir, dan memecahkan banyak niat. Bagiku itu sementara
alasan logis logis, mengapa lesu? Meski kita tahu didepan ada syurga. Sekali
lagi manusiawi.
Ingin istirahat dulu,
capek selepas kerja. Meski sudah istirahat. Ada yang belum istirahat
samasekali.
Menyanggupi meski
ijinnya setelah di-sms, itupun syar’i. Mengapa tidak ijin dari tadi, kami
menunggu.
Ijin lagi, ada hal yang
syar’i. mengapa tidak dari semalam atau tadi. Kami pun menunggu.
Ijin selepas di-sms.
Malas keluar, sudahlah. Kalian semua kami tunggu.
Disaat seperti itu,
meski api sudah menyala. Tetaplah aku harus memenangkan diriku kesekian
kalinya. Dihadapanku ada seorang yang membawa skripsinya ke Langgar untuk
sebuah ikatan hati. Ada yang menunggu sejak selepas Ashar dari kader LIB, yang
menunggu aksi PII. Dan dua sejoli yang setia menemani ta’lim.
Sms datang juga dari
ustadz. Oh beliau tidak bisa datang. Ini ada akhwat LIB. Mana PII wati? Ah PII
wan juga bisa mengurus akhwat. Sebagai coordinator akhirnya aku mengisi.
Doa selalu terpanjat
untuk mengharap ridho-Nya. Sayup-sayup membuka ta’lim (materi ta'lim tentang Hikmah: Jalan Menuntut Ilmu, Jalan Menuju Syurga ) teringat kisah Ka’ab Bin
Malik yang tidak turut serta dalam Perang Tabuk karena saat itu condong hatinya
kepada dunia yang menyebabkan kemalasan. Aku berfikir, bagaimana hati
Rasulullah saat itu? sedih sekali, jelas. Lalu bagaimana aku?
Jelas sekali bagiku,
aktivis pun manusia biasa. Sekelas Ka’ab Bin Malik juga mengalaminya. Sekelas
Mujahid mengalaminya. Kadang aku berfikir juga, jauh dan hanya untuk ta’lim
setelah itu bahkan aku tidak tahu bagaimana aku pulang. Tapi bagiku, mujahid
tetaplah mujahid. Ikhwan tetaplah ikhwan. PIIwati tetaplah -siap sedia selalu
(seperti kata Mars PIIwati). Sekali-sekali tidak apa lah, jangan egois kamu
juga kadang seperti itu, bisa jadi lebih banyak dari mereka.
Iya, andai aku Ka’ab bin
Malik mungkin berfikir, ah perang lagi, perang lagi. Kapan aku ngurus ini dan
itu. sekarang pun seharusnya aku mampu berfikir ah ta’lim lagi, ta’lim lagi. Ah
da’wah lagi, da’wah lagi. Jauh, panas, hanya untuk membina, apalagi sekedar
turba. Sesekali absen lah, biasanya sudah banyak aktif, istirahat sebentar. Padahal
berlindung dibalik kemalasan adalah sesuatu yang sangat bisa dilakukan, jika
harus tidak jujur, toh dengan begitu seharusnya juga dia mendapat maaf dari
Rasulullaah. Tidak. Kalaupun berbohong tentu Allah akan memberi tahu
Rasulullah. Iya kan?
Namun, diluar itu.
sudah lazim bagi mereka yang pernah mengalami gejolak turunnya semangat dakwah
dan jihad hal itu adalah kesengsaraan.
Meninggalkan satu
agenda dakwah samadengan menitik satu langkah kemunduran. Bisa jadi
berangsur-angsur jika terus dilakukan akan terlepas sendiri dari agenda-agenda
dakwah.
Sebagaimana
kesengsaraan batin oleh Ka’ab bin Malik, “Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak
ikut dalam perang Tabuk. Namun, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak
rasulullullaah saw meninggalkan madinah.”
Bermacam-macam perasaan
akhirnya menyelimuti kita saking absen dari agenda dakwah tanpa alas an yang
syar’i. bagi aktivis semisal Ka’ab bin Malik, tentu perasaan bersalah,
menyesal, merasa terasing. Dalam fikiran mengatakan, “Mengapa akhirnya aku
tidak jadi berangkat padahal aku bisa.”. disisi lain padahal mereka yang tahu
dan tidak mau berangkat adalah orang-orang berudzur(misal : lemah, orangtua,
wanita, dan anak-anak) dan kaum munafik. Mungkinkah kita akan memasuki dua
golongan ini meski kita tahu bagaimana komitmen terhadap dakwah dan jihad sudah
menguatkan hati kita? Mengapa kita sendiri yang melemahkan? Ya kita sadar,
bahwa kita bukan dari kedua golongan tersebut. Kita adalah mujahid tangguh.
Biar aku hancur,
biar binasa,
asal agama Islam capai
kemenangannya. (potongan Mars Brigade)
semoga ketika kita
sadar seperti itu. merasa bukan kedua golongan tersebut seorang aktivis akan
merasa menderita, tidak nyaman, tidak merasa pada tempatnya, lebih-lebih bagi
yangjeda waktu “ijin” sudah terlampau jauh dari rotasi dakwah. Namun, bukan
untuk kita kan? Tentunya hati kita (kawan-kawan) apapun dalil maupun dalih
untuk membenarkan ketidakberangkatan kita yang tidak syar;I itu tetaplah bak
api neraka yang menghantui. Sungguh jujurkan kita, meski hukuman itu menyiksa.
Suatu ketika pernah
berfikir, “toh yang berangkat itu-itu saja”, “ta’limnya monoton”,”masih ada ta’lim
berikutnya”. Yakinlah pasti ketika hatimu bersih, kamu tidak akan tenang
meninggalkan dakwah meski sekejap mata.
Keberadaannya di
Madinah bersama kedua golongan tersebut membuat dia terkucilkan. Aku bukan
orang-orang munafik, mengapa aku disini? Bukan juga yang lemah.
Itu juga yang dialami
kawan-kawan PII yang sudah lama tidak membersamai kami. Aktivis PII yang
seharusnya berada ditengah kegiatan-kegiatan PII, bersama-sama berjuang seperti
dulu rupanya mundur satu per satu. Namun, husnudzan saja , pasti mereka
ditempat lain juga berjuang kok. J
Sebenarnya banyak alasan
yang bisa dibuat. Alasan palsu tentu akan diterima dan alasan asli, terkadang
menyakitkan hati. Sebagai pemimpin Rasulullah tentu sangat kecewa saat alas an yang
dilontarkan Ka’ab sangat lugas dan jujur karena kelalaian. Pemimpin mana yang
tidak kecewa mendengar pasukkannya mengatakan “Aku malas.”. namun, apa yang
bisa dilakukan Sang Nabi saw: memendam marah. Beliau bertanya, “Wahai ka’ab
mengapa engkau tidak ikut? Bukankah engkau telah berbaiat?”. Suatu pertanyaan
nasihat yang menggetarkan tulang-tulang sendi bagi mereka yang berkomitmen. Ya, seperti aku yang selalu tersinggung ketika
ditanya komitmen.
Hingga akhirnya
diujilah dengan hukuman yang sangat menyakitkan, yaitu hukuman social. Tidak dianggap
diantara jama’ah kaum muslimin sampai akhirnya sangat-sangat menderita. Ya seperti
itulah seharusnya ujian yang diberikan supaya aktivis itu kadang menyesali
perbuatannya.
Hanya untuk aktivis
tangguh yang bisa melewati masa kefuturan yang hamper-hampir melepaskannya dari
dakwah.