21.38.00 -
KAJIAN
No comments
HAM dan Mengambil (Sisi Lain) Demokrasi (Islam)
A. Hukum Islam Adalah Hukum yang Bersumber dan
Menjadi Bagian dari Agama Islam
1.
Pengertian Hukum Islam
Hukum
adalah seperangkat norma atau peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku
manusia, baik norma atau peraturan itu berupa kenyataan yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara
tertentu dan ditegakkan oleh penguasa. Sedangkan Hukum Islam adalah hukum yang
bersumber dan menjadai bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum Islam, dasar,
dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya
mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, dan hubungan
manusia dengan benda serta alam sekitarnya.
Hukum
Islam tidak hanya merupakan hasil pemikiran yang dipengaruhi oleh kebudayaan
manusia disuatu tempat pada suatu masa, tetapi pada dasarnya diterapkan Allah
melalui wahyu-wahyu-Nya, yang terdapat dalam al Qura dan dijelaskan oleh Nabi
Muhammad sebagai rasul-Nya melalui sunnah beliau yang kini terhimpun dalam
kitab-kitab hadits. Dasar inilah yang membedakan Hukum Islam secara fundamental
dengan hukum-hukum lain yang semata-mata lahir dari kebiassaan dan hasil
pemikiran atau buatan manusia.
Hukum
Islam diperkenalkan dengan berbagai istilah yang saat ini telah popular
dilingkungan umat Islam. Ada istilah syari’at. Hukum Syara’, maupun fiqh.
Syariat
adalah segala sesuatu yang diterapkan oleh Allah SWT. Bagi hamba-hamba-Nya,
yang dibawa oleh para Nabi Allah termasuk Nabi Muhammad SAW. Baik yang
berkaitan dengan teknik suatu amal perbuatan (yang kemudian tersusun dalam ilmu
fiqh), maupun persoalan-persoalan kepercayaan dan keimanan (yang kemudian
tersusun dalam ilmu kalam).
Dari
uraian diatas tampak bahwa istilah syariah mencakup semua aspek yang diajarkan
dan ditetapkan oleh Allah melalui Nabi-Nya, baik itu yang berkaitan dengan
masalah teologi (keyakinan), masalah ritual (peribadatan), masalah social
(kemasyarakatan), maupun moral (etika). (Qardhawiy, 1997:9)
Hukum
syara’ adalah Firman Allah yang mengikat (mengatur) tindakan-tindakan orang mukallaf (orang Islam yang telah layak
menerima hak dan kewajiban hukum) baik yang berupa tuntutan, pilihan, maupun
penetapan. Hukum syara’ dibagi menjadi dua bagian; al-hukmu attaklifiy (hukum yang bersifat pembebanan) dan al-hukmu al-wadl’iy (hukum yang bersifat
penetapan-penetapan khusus).
Hukum
taklifiy menurut mayoritas ulama ada lima tingkatan: 1) Ijab/ Wajib (Kewajiban) yaitu suatu perbuatan jika dilakukan
mendapat imbalan pahala dan jika ditinggalkan maka mendapat siksa dan dosa. 2) Sunnah/Mandub (anjuran) yaiut suatu
perbuatan jika dilakukan mendapat imbalan pahala dan jika ditinggalkan tidak
memiliki resiko berdosa. 3) Ibadah/Mubah
(kebolehan) yaitu suatu perbuatan jika dikerjakan maupun ditinggalkan tidak
mengandung konsekuensi pahala maupun dosa. 4) Karahah/Makruh (kebencian/keterpaksaan) yaitu perbuatan jika
ditinggalkan mendapat imbalan pahala dan jika dikerjakan tidak beresiko siksa
dan dosa. 5) Tahrim/Haram yaitu suatu
perbuatan jika dikerjakan mendapat siksa dan dosa, dan jika ditinggalkan
mendapat imbalan pahala.
Sedangkan
Hukum Wadl’iy terdiri dari ketetapan-ketetapan yang menentukan keberlakuan hukum
taklifiy, yaitu 1) as-sabab (sebab)
yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh Allah sebagai factor datangnya ketentuan hukum
taklifiy, seperti condongnya matahari siang kearah barat menjadi factor
datangnya kewajiban shalat zhuhur; seperti hadirnya suatu penyakit atau
kegiatan bepergian (musafir) menjadi
faktor penyebab dihapusnya kewajiban menjalankan puasa Ramadhan pada hari itu.
2) asy-Syarth (syarat) yaitu sesuatu
yang ditetapkanoleh Allah untuk menjadi factor bagi keabsahan suatu hukum
walaupun tidak memiliki hubungan mutlak sebab akibat, seperti akad nikah yang sah
merupakan syarat ditetapkannya talak/ perceraian karena tidak ada perceraian
jika sepasang manusia tidak pernah menikah secara sah, dan seorang yang menikah
secara sah tidak selalu berakhir dengan perceraian. 3) al-Mani’ (penghalang) yaitu segala sesuatu yang ditetapkan oleh
Allah menjadi penghalang pelaksanaan atau hukum. 4)’Azimah (ketetapan reguler) yaitu ketetapan Allah yang disampaikan
kepada umatnya secara umum dengan tidak disertai dengan relevansi-relevansi
khusus baik dalam keadaan tertentu maupun kepada kelompok tertentu, seperti
sholat lima waktu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan waktu dan jumlah
rakaatnya. 5) Rukhshah (dispensasi)
yaitu ketetapan Allah untuk memberikan dispensasi bagi umatnya dalam keadaan
khusus yang menghajatkan untuk itu. seperti shalat Dzuhur dapat digabung dengan
shalat Ashar dengan masing-masing dua rakaat saja (disebut dengan istilah jam’
dan qashr); orang yang sakit memperoleh dispensasi puasa ramadhan untuk
dikerjakan di bulan lainnya. 6) As-Shihah
(valid/absah) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang yang telah memenuhi
standard an kriteria syarat dan rukunnya. Seperti shalat yang dilakukan
sebagaimana syarat dan rukunnya dilaksanakan secara lengkap maka shlat itu
ditetapkan sebagai shalat yang sah. 7) Al-Buthlan
(Batal) yaitu ketetapan Allah bagi amalan-amalan yang tidak memenuhi ketentuan
syarat dan rukun padahal tidak memiliki dispensasi apapun.
Istilah
fiqh didefinisikan dengan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis dari dalilnya yang terperinci, yang dihasilkan oleh rasio dan ijtihad
melalui proses pemikiran dan perenungan.
Fiqh
atau fikih dalam bahasa Indonesia berisi rincian dari syariah. Karena itu ia
dapat dikatakan sebagai elaborasi terhadap syariah. Elaborasi yang dimaksud
adalah suatu kegiatan ijtihad dengan menggunakan akal pikiran atau ra’yu. Yang
dimaksud ijtihad adalah usaha atau ihtiar yang sungguh-sungguh dengan
mempergunakan segenap kemampuan yang ada, dilakukan oleh orang (ahli hukum)
yang memenuhi syarat untuk mendapatkan garis hukum yang belum jelas atau tidak
ada ketentuannya di dalam Al Quran dan Sunnah Rasulullaah.
Menurut
Tahir Azhary, ada tiga sifat Hukum Islam, yang pertama yaitu bidimensional,
artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan (ilahi). Disamping itu
sifat bidimensional yang dimiliki Hukum Islam juga berhubungan dengan sifatnya
yang luas atau komperehensif. Hukum Islam juga mengatur berbagai aspek
kehidupan manusia. Sifat dimensional merupakan sifat pertama yang melekat pada Hukum
Islam dan merupakan fitrah (sifat asli) Hukum Islam. Sifat kedua adalah adil,
ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan dimensional. Keadilan merupakan
sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia baik sebagai individu maupun
masyarakat. Sifat ketiga dalam Hukum Islam adalah individualistic dan
kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai transcendental yaiut wahyu Allah
SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat ini Hukum Islam
mempunyai validitas baik perorangan maupun masyarakat. Tiga sifat Hukum Islam
yang asli itu juga mempunyai hubungan yang erat dengan dua sifat yang lain,
yakni komperehensif dan dinamis.
2.
Ruang Lingkup Hukum Islam
Hukum
Islam baik dalam pengertian syariat maupun fikih dibagi menjadi dua bagian
besar, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah. Ibadah adalah tata cara dan
upacara yang wajib dilakukan seseorang muslim dalam berhubungan dengan Allah
seperti menjalankan shalat, membayar zakat, menjalankan ibadah haji.
Menurut
H.M. Rasjidi, bagian-bagian Hukum Islam adalah:
1. Munakahat (hukum yang mengatur sesuatu yang
berhubungan dengan perkawinan, perceraian, dan akibat-akibatnya),
2. Wirasah (hukum yang mengatur segala masalah
yang berhubungan dengan waris, ahli waris, dan cara pembagian warisan)
3. Muamalat (hukum yang mengatur mengenai masalah
kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli,
sewa menyewa, pinjam meminjam, perserikatan, dan lain-lain)
4. Jinayat (hukum yang mengatur mengenai
perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman baik dalam jarimah hudud atau
tindak pidana yang telah ditentukan bentuk bentuk dan batas hukumnya dalam Al
Quran dan Sunnah Nabi, maupun bentuk jarimah ta’zir atau perbuatan yang bentuk
dan batas hukumnya ditentukan oleh penguasa sebagai pelajaran bagi pelakunya)
5. Al ahkam As Sulthaniyyah ((hukum
yang mengatur mengenai soal-soal ketatanegaraan)
6. Siyar (hukum yang mengatur mengenai urusan
perang dan damai, tat hubungan pemeluk agama dan negara lain), dan
7. Mukhassamat (hukum yang mengatur mengenai
peradilan, kehakiman, dan hukum acara). (Rasjidi, 1980: 25-26)
Fathi
Osman mengemukakan sistematika Hukum Islam sebagai berikut:
1. Al-ahkam asy-syakhsiyah (hukum
perorangan)
2. Al-ahkam al-madaniyah (hukum
kebendaan)
3. Al-ahkam al-jinayah (hukum
pidana)
4. Al-ahkam al-murafaat (hukum
acara perdata, pidana, dan peradilan tata usaha)
5. Al-ahkam ad-dusturiyah (hukum
tata negara)
6. Al-ahkam ad-dauliyah (hukum
internasioanl), dan
7. Al-ahkam al-iqtishadiyah wa-al-maliyah (hukum
ekonomi dan keuangan) (Fathi Osman,1970: 65-66)
3.
Tujuan Hukum Islam
Adapun
tujuan Hukum Islam secara umum adalah untuk mencegah kerusakan pada manusia dan
mendatangkan kemashlahatan bagi mereka, mengarahkan mereka kepada kebenaran
untuk mencapai kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat, dengan jalan
mengambil segala yang manfaat dan mencegah segala yang madharat, yakni yang
tidak bergua bagi hidup dan kehidupan manusia. Abu Ishaq asy-syatibi merumuskan
lima tujuan Hukum Islam, yaitu pemeliharaan (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4)
keturunan, (5) harta yang disebut “maqasidul
khamsah”. Kelima tujuan tersebut dapat dipahami sebagai berikut:
1.
Memelihara agama
Agama Islam memberi perlindungan kepada pemeluk agama lain untuk
menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya. Agama Islam tidak memaksakan
pemeluk agama lain meninggalkan agamanya untuk memeluk agama Islam. Dalam QS Al
Baqarah ayat 256 disebutkan:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. …”
2.
Memelihara Jiwa
Menurut Hukum Islam jiwa harus dilindungi. Hukum Islam melarang
pembunuhan sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai
sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan kemashlahatan
hidupnya.
3.
Memelihara akal
Dengan akalnya manusia dapat memahami wahyu Allah baik yang
terdapat pada kitab suci maupun ayat-ayat Allah yang terdapat dalam alam
(ayat-ayat kauniyah). Oleh karena itu pemeliharaan kal merupakan salah satu
tujuan Hukum Islam.
4.
Memelihara keturunan
Dalam Hukum Islam untuk meneruskan keturunan harus melalui
perkawinan yang sah menurut ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al Quran dan As
Sunnah dan dilarang melakukan perbuatan zina.
5.
Memelihara Harta
Menurut Hukum Islam, harta merupakan pemberian Allah kepada
manusia untuk melangsungkan hidup dan kehidupannya. Untuk itu manusia sebagai
khalifah Allah di Bumi (makhluk yang diberi amanah Allah untuk mengelola alam
ini sesuai kemampuan yang dimilikinya) dilindungi haknya untuk memperoleh harta
dengan cara-cara yang halal, artinya sah menurut hukum dan benar-benar menurut
ukuran moral.
4.
Sumber Hukum Islam
Didalam
Hukum Islam rujuakan-rujukan dan dalil-dalil telah ditetapkan sedimikian rupa
oleh syariat, mulai dari sumber yang pokok maupun yang bersifat alternative.
Sumber tertib Hukum Islam ini secara umum dapat dipahami dari firman Allah SWT
didalam Al Quran :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An
NIsa’ : 59)
Dari
ayat tersebut dapat diperoleh pemahaman bahwa umat Islam dalam menjalankan hukum
agamanya harus didasarkan atas urutan : 1) selalu mentaati Allah dengan
mengindahkan seluruh ketentuan yang terdapat didalam Al Quran, 2) Mentaati
Rasulullah denganmemahami seluruh sunnah-sunnahnya, 3) Mentaaati Ulil Amri (lembaga yang menguasai urusan
umat Islam), 4) Mengembalikan kepada Al Qura dan Sunnah jika terjadi perbedaan
dalam menentukan hukum. Secara lebih teknis dalam berhukum harus memperhatikan
sumber tertib hukum 1) AlQuran 2) Sunnah atau Hadits Rasulullah 3) keputusan
Penguassa; khalifah (eksekutif), ahlu
Halli wal ‘Aqdi (legislatif), maupun Qadli
(yudikatif)- baik individu masing-masing lembaga maupun konsensus kolektif (ijma’), 4) mencari ketentuan ataupun
sinyalemen yang ada dalam Al Quran kembali jika terjadi kontroversi dalam
memahami keputusan hukum.
Dari
sebuah hadits, dapat disimpulkan bahwa sumber tertib hukum itu ada tiga : 1) Al
Quran, 2) As Sunnah, 3) Al Ijtihad bir
Ra’yi (berupaya dengan pemikiran).
5.
Kontribusi Umat Islam dalam Perumusan dan
Penegakkan Hukum di Indonesia
Hukum
Islam mempunyai dua sifat yaitu pertama al-Tsabat
(stabil) dan kedua al-Tathawwur
(berkembang). Dengan sifat al-Tsabat, Hukum Islam sebagai wahyu akan tetap dan
tidak berubah sepanjang masa. Sedangkan sifat al-Tathawwur, Hukum Islam
berkembang, tidak kaku dalam berbagai situasi dan kondisi social.
Dalam
pembentukan hukum di Indonesia, kesadaran berHukum Islam untuk pertama kalinya
pada zaman kemerdekaan ialah di dalam piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang dalam
dasar ketuhanan diikuti pernyataan “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan
pertimbangan untuk persatuan bangsa Indonesia, akhirnya mengalami perubahan pada
tanggal 18 Agustus 1945, yang rumusannya pada sila pertama tersebut menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Meskipun
demikian, dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan, Hukum Islam
benar-benar memperoleh tempat yang wajar secara konstitusional yuridik.
Misalnya UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan; PP No.28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik; UU No. 7 Tahun
1989 tantang Peradilan Agama; INPRES No.1 Tahun 1991 tantang Kompilasi Hukum
Islam; UU RI No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat dan UU RI Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan haji.
6.
Fungsi Hukum Islam dalam Kehidupan Masyarakat
Manusia
adalah makhluk social yang tidak dapat hidup sendiri. Manusia membutuhkan
pertolongan satu sama lain dan memerlukan organisasi dalam memperoleh kemajuan
dan dinamika kehidupannya.
Dalam
hal ini Hukum Islam memiliki tiga orientasi (Zahrah, 1958: 364-366) yaitu; 1)
Mendidik individu (tahdzib al-fardi)
untuk selalu menjadi sumber kebaikan, 2) Menegakkan keadilan (Iqamat al-adl), dan 3) Merealisasikan
kemashlahatan (al-mashlahah).
Sedangkan
fungsi Hukum Islam dirumuskan dalam empat fungsi:
1.
Fungsi Ibadah. Dalam QS Adz Adzariyat ayat 56
dinyatakan oleh Allah
Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
Maka dengan dalil ini fungsi ibadah tampak paling menonjol
disbanding dengan fungsi yang lainnya.
2.
Fungsi amar
ma’ruf nahiy munkar (perintah kebaikan dan pencegahan kemungkaran) . maka
setiap Hukum Islam bahkan ritual dan spiritual pun berorientasi membentuk
manusia yang dapat menjadi teladan kebaikan dan pencegahan kejahatan.
3.
Fungsi zawajir
(pen-jera-an). Adanya sanksi dalam Hukum Islam yang bukan hanya sanksi hukuman
dunia, tetapi dengan ancaman siksa akhirat dimaksudkan agar manusia dapat jera
dan takut untuk melakukan kejahatan.
4.
Fungsi tandzim
wa ishlah al-ummah (organisasi dan rehabilitasi masyarakat). Ketentuan hukum
dan sanksi tersebut bukan sekedar sebagai batass ancaman dan untuk
menakut-nakuti masyarakat saja, akan tetapi maksud untuk rehabilitasi dan
pengorganisasian umat menjadi lebih baik. Dalam literature ilmu hukum hal ini
dikenal dengan istilah fungsi social engineering. Keempat fungsi hukum tersebut
tidak dapat dipilah-pilah begitu saja untuk bidang hukum tertentu, tetapi satu
dengan yang lain saling terkait (Ibrahim Hosen, 1996: 90)
B. Hak Asasi Manusia Menurut Ajaran Islam
1.
Pengertian dan sejarah Hak Asasi Manusia
Manusia
sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak dasar yang
disebut hak asasi, tanpa ada perbedaan satu dengan lainnya. Dengan hak asasi
tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peran, dan sumbangsihnya
bag kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan
kesejahteraan hidup manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak dasar
yang melekat pada diri setiap manusia.
Dilihat
dari sejarahnya, umumnya para pakar di Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM
dimulai dengan lahirnya Magna Charta
pada tahun1215 di Inggris. Lahirnya Magna
Charta diikuti lahirnya Bill of
Rights di Inggris pada tahun 1689. Perkembangan HAM selanjutnya ditandai
munculnya The American Declaration of
Independent yang lahir dari paham JJ Rousseau dan Montesquieu. Selanjutnya
pada tahun 1789 lahir pula The French
Declaration, dimana hak-hak lebih dirinci yang kemudian melahirkan The Rule of Law.
C. Perbedaan Prinsip antara Konsep HAM dalam
pandangan Islam dan Barat
HAM
yang dikembangkan masyarakat Barat, bersumber dari rumusann kepentingan yang
didasarkan atas kesadaran masyarakat dan penguasa, sedangkan dalampandangan
Islam, HAM telah ditetapkan hukumnya oleh Allah. Sedangkan HAM dalam pandangan
Islam disamping bertumpu pada kesadaran manusia juga kesadaran ketaatan dan
ketakwaan kepada Tuhan.
Bagi
umat Islam, manusia mengakui hak asasi orang lain bukan hanya karena kesadaran
dan tren peradaban manusia saja, tetapi merupakan kewajiban asasi atau
kewajiban dasarnya sebagai hamba Tuhan yang harus diemban (A.K. Brohi, 1982:
204). Pemikiran Barat menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang
menjadi tolak ukur segala sesuatu, sedangkan kedudukan manusia adalah mengabdi
kepada-Nya. Disinilah letak perbedaan fundamental antara HAM dalam pemikiran masyarakat
Barat dengan pandangan Islam. Makna teosentris bagi orang Islam adalah manusia
harus berlebih dulu meyakini ajaran-ajaran pokok agama Islam yang dirumuskan
dengan kalimat syahadat, setelah itu baru melakukan hal-hal yang baik sesuai
dengan isi ajaran dan keyakinannya itu.
Hak-hak
dasar yang diatur dalam Islam antara lain (Tahir Mahmood, 1993):
1.
Hak Hidup (QS. Al- Maidah ayat 32, Al An ‘am
ayat 151)
2.
Hak atas kekayaan (Al Baqarah ayat 188; An
Nisa’ ayat 29)
3.
Hak atas kehormatan (QS. Al Hujurat ayat 11;
Al Isra’ ayat 70)
4.
Hak kebebasan individu (Al Hujurat ayat 12; An
nur ayat 27-28)
5.
Hak berekspresi (At Taubah ayat 71)
6.
Hak kebebasan beragama (Al Baqarah ayat 256;
Al Kafirun ayat 1-6)
7.
Hak kebebasan berserikat (Ali Imran 103-104)
8.
Hak persamaan di muka hukum (Al Maidah ayat 8;
al hujurat 13; An nisa’ ayat 58; al An ‘am ayat 164)
9.
Hak memperoleh kelayakan hidup (Adz Dzariyat
ayat 19; Al Baqarah ayat 173)
10.
Hak memperoleh pendidikan (al Mujadalah ayat
11; hadits-hadits tentang tholabul ‘ilmu)
11.
Hak membangun kehidupan keluarga (Ar Rum ayat
21; An Nisa’ ayat 1 dan 21)
12.
Hak untuk memperoleh kesamaan perlakuan (al
Hujurat ayat 13; Yunus 19; An Nisa’ ayat 6 dan 31)
D. Demokrasi dalam Perspektif Islam
Demokrasi
dalam konsep Islam banyak memberi perhatian pada beberapa aspek khusus dari
tatanan social dan politik. Demokrasi Islam dianggap sebagai system yang
mengukuhkan konsep-konsep Islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian imperative yang
mandiri (ijtihad). Perlunya
musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Masalah
musyawarah ini dengan jelas disebutkan dalam Al Quran surat Asy Syura: 38,
Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan
shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.
Untuk
menyelesaikan segala urusan umat islam musyawarah, terutama yang menyangkut
persoalan politik. Dalam bidang politik umat Islam mendelegasikan kekuasan
mereka kepada penguasa dan pendapat mereka harus diperhatikan dalam menangani
urusan masalah Negara.
Sedangkan konsensus
atau ijma’ adalah kesepakatan yang merupakan konsep pengesahan resmi dalam Hukum
Islam. Konsensus memainnkan peranan penting yang menentukan dalam perkembangan Hukum
Islam dan memberikan sumbangan besar pada korpus hukum atau tafsir hukum.
Dalam
pemikiran muslim modern, potensi fleksibilitas yang terkandung dalam konsep konsensus
akhirnya mendapat saluran yang lebih besar untuk mengembangkan Hukum Islam dan
menyesuaikan dengan kondisi yang terus berubah (Hamidullah, 1970: 130). Dalam
pengertian yang lebih luas konsensus dan musyawarah sering dipandang sebagai
landasan yang efektif bagi demokrasi Islam.
Selain
syura dan ijma’ ada konsep yang sangat penting dalam proses demokrasi Islam,
yakni ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci
menuju penerapan perintah Allah di suatu tempat atau waktu.
Dalam
konteks modern, ijtihad dapat berbentuk seruan untuk melakukan pembaharuan
radikal. Tugas para cendekiawan muslim saat ini adalah melakukan ijtihad universal
di semua tingkatan. Prinsip-prinsip Islam ini bersifat dinamis, tidak seperti
pemikiran umat Islam yang sekarang bersifat statis, sehingga sudah selayaknya
saat inni perlu diadakan pemikiran ulang yang mendasar untuk membuka jalan bagi
munculnya eksplorasi, inovasi, dan kreatifitas.
Musyawarah,
konsensus, dan ijtihad merupakan konsep-konsep yang sangat penting bagi
artikulasi demokrasi dalam kerangka keesaan Tuhan dan kewajiban-kewajiban
manusia sebagai khalifah-Nya. Meskipun istilah-istilah ini banyak diperdebatkan
maknanya di dunia luar Islam, akan tetapi istilah-istilah inni memberi landasan
yang efektif untuk memahami hubungan antara Islam dan demokrasi di dunia
kontemporer.
0 komentar:
Posting Komentar