07.31.00 -
CURAHAN HATI,KAJIAN,OPINI
No comments
Menahan Diri dari Meminta
Kata Hakim bin Hizam, ketika itu ia meminta sedekah kepada Rasulullah, lalu beliau shallallaahu alaihi wa sallam memberinya. Kemudian Hakim meminta lagi kepada Rasulullah padahal waktu itu Rasulullah sudah memberinya. Rasulullah kembali memberinya. Hingga tiga kali hakim mengulangi perbuatannya itu. hingga yang ketiga kalinya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu lezat dan manis, maka barangsiapa menerimanya dengan hati yang bersih (tidak rakus atau serakah), dia akan mendapat berkah dengan harta itu. Tapi barangsiapa yang menerimanya dengan nafsu serakah, dia tidak akan mendapatkan berkah dengan harta itu, dia akan seperti orang makan yang tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang diatas lebih baik daripada tangan yang dibawah.”
Nasihat yang indah, segera
mendapat respon dari Hakim. Berkatalah ia dihadapan sang Rasul,”Wahai
Rasulullaah demi zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak akan pernah
meminta kepada seorang pun setelahmu hingga aku berpisah dari dunia ini.” Saat
itu diakui oleh Hakim sendiri bahwa memang ia meminta harta kepada Rasulullah
dengan agak mendesak beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Nasihat yang diberikan Rasulullah
diartikan tangan diatas sebagai pemberi dan tangan dibawah sebagai penerima.
Dalam hal ini memberi sedekah lebih diutamakan daripada menerimanya (yang
dimaksud menerima adalah meminta). Diartikan juga tangan diatas ialah yang
menjaga kehormatan dirinya dari meminta kepada orang lain.
Apa yang menjadi pelajaran kisah
Hakim bin Hizam adalah sebuah konsep yang lebih tinggi daripada sekedar
kegiatan muamalah memberi dan menerima, yang kedua kegiatan tersebut tidak bisa
dipisahkan. Dalam memberi dan menerima pun Rasulullah ingin memberi pelajaran
bahwa memang dalam meminta itu diperbolehkan namun bisa menjadi sesuatu yang
merendahkan dirinya sendiri ketika hal itu berlebihan, apalagi sampai
memberatkan yang akan “memberi”. Karena pada hakikatnya ketika sedekah itu
sudah cukup memenuhi kebutuhan pokok bagi yang minta, maka meminta lagi sudah
masuk dalam kategori merendahkan kehormatan diri dihadapan orang lain. Bahkan
meminta bisa menjadi sesuatu yang tercela (baca hadits tentang peminta-minta).
Selain itu teguran Rasulullah
sangat indah ketika kita membacanya. Begitu urut dan runtut. Bukan kritikan
yang pedas keluar dari mulut mulia, namun ada tahapan yang indah. Pertama,
Rasulullah memberi sedekah itu (perlu diketahui bahwa Rasulullah jika memberi
selalu sampai pada batas yang diperlukan) kepada sahabat Hakim bin Hizam. Dalam
tanda yang baik Rasulullah memberi dan membiarkan, juga berhuznudzan kepada
Hakim bahwa ia memang sedang butuh. Kemudian, permintaan kedua, bagi Rasul
masih diberi dan dibiarkan (dalam pembelajaran) dengan harapan akan mengerti
sendiri dan mengoreksi perbuatannya sendiri. Hingga permintaan yang ketiga,
nasihat Rasulullah keluar. Sekali lagi nasihat inni bukan nasihat yang pedas.
Nasihat yang halus, tidak menjatuhkan, dan membangun. Diberikannya bahwa harta
itu lezat dan manis tujuannya adalah supaya berhati-hati dengan harta itu,
namun tidak melarangnya. Kemudian rasul membangun nasihatnya dengan memuliakan
tangan diatas sebagai perbuatan yang lebih dimuliakan (bukan berarti tangan
yang dibawah itu hina hanya saja meminta itu dibolehkan dalam kondisi tertentu
atau sekedar muamalah yang keduanya tidak dianggap saling merugikan). Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan bahwa yang dilakukan Hakim
adalah penyebab sifat meminta-minta yang tidak dibenarkan dalam Islam. Nasihat
yang baik kepada manusia yang baik tentu akan sangat direspon dengan baik pula.
Mampu memahami apa yang dimaksudkan oleh Rasul, Hakim sejak itu tidak pernah
meminta sedekah pun kepada orang lain sampai ia meninggal.
Pada dasarnya, memberi dan
meminta adalah muamalah yang diperbolehkan. Namun, menjadi tidak seimbang
diantara keduanya ketika sudah keluar dari apa yang diinginkan Islam menjadi
umat pertengahan. Dalam hal ini pada perbuatan meminta diperbolehkan jika
memang butuh atau dengan saudaranya jika dengan meminta bisa merekatkan
ukhuwah, menjadi turun derajatnya ketika meminta itu adalah karena rakus,
serakah, atau berlebihan dalam meminta, atau memaksa dalam meminta, atau
meminta kepada orang yang jika diminta akan memberatkan yang diminta. Sehingga
tidak heran jika dalam bab akhlak ada materi pembahasan tersendiri terkait
meminta-minta yaitu bab menjaga diri atau menahan diri dari meminta-minta.
Bahkan dalam meminta doa kepada yang kita anggap lebih alim atau lebih dekat
dengan Allah yang hal itu diperbolehkan jika itu dilakukan berlebihan maka akan
menurunkan kebaikan menjadi kurang baik.
Sering kita jumpai adalah peminta-minta
yang memaksa supaya diberi. Entah mau itu pengamen, pengemis, atau
peminta-minta yang bermodalkan bahasa tubuh yang sangat kekurangan, dalam
rangka huznudzan kita akan menghargai dan mendoakannya namun ketika hal itu
dilakukan dengan memaksa lalu bagaimana yang akan memberi. Tentu akan berfikir
hal lain terkait itu. sudah meminta-minta, maksa lagi. Atau kasus lain adalah
ketika meminta-minta dijadikan pekerjaan. Sehingga dari dua studi tadi tidak
heran MUI pernah mengeluarkan fatwa haram memberi kepada peminta-minta yang
syarat dan ketentuan berlaku yah (hehe jangan seperti media yang sengaja
memenggal berita sehingga MUI dipojokkan).
Lalu meminta yang agak bersahabat lagi ketika meminta
kepada teman kita sendiri. Mungkin disisi lain tidak masalah jika hal itu bisa
merekatkan ukhuwah namun syarat atau sesuatu yang harus diperhatikan ialah
mengetahui situasi dan kondisi antara kita dan yang diminta. Apakah ketika kita
minta akan menimbulkan prasangka baik atau tidak? Dimana ketika minta iya kalau
orang disekitar kita memandangnya karena yang diminta memang sedang berpeluang
besar untuk mengeluarkan hartanya untuk dinikmati bersama. Kalau tidak? Ini
yang menjadi masalah. Dan satu lagi adalah sikap yang tidak berlebih-lebihan.
Misal saja mau tidak orang lain menganggap kita sebagai seorang yang suka minta
kepada teman yang lain? (ya, walaupun disisi lain juga kita bisa mengimbangi dengan
sering memberi juga). Pernahkah kita minta kepada teman kita yang sedang
mendapat rejeki atau kita anggap punya rejeki lebih? Pernahkah kita minta
kepada teman yang pulang kampung atau sedang bertamasya? Biasanya kalau dalam
pertemanan seringnya adalah dalam bentuk makan-makan atau oleh-oleh. Silakan
tidak masalah namun bagi tiap diri hendaknya bisa mengukur dirinya sendiri
supaya tidak jatuh dalam meminta-minta, juga tidak berlebihan. Hendaklah juga
bisa saling mengerti situasi dan kondisi ketika pertemanan (karena memang
terkadang yang memiliki rejeki lebih hendaknya juga berbagi hehe, eh yang
bagian ini skip saja).
Lalu meminta yang agak relijius
(maaf tidak menemukan kata yang cocok), adalah meminta doa. Meminta doa adalah
sesuatu yang diperbolehkan. Hanya saja lagi-lagi ialah ketika hal itu
berlebihan. Bukankah Allah lebih menyukai ketika seseorang yang berihtiar itu
berdoa kepada Allah sendiri. Allah menyukai hambanya yang berdoa lho…
Ya, semoga dari semua itu kita benar-benar menjaga diri kita supaya tidak terjatuh dalam kategori tangan dibawah. Supaya tidak jatuh dalam keadaan perbuatan yang meminta-minta. Hendaknya kita menahan diri dari hal itu. salah satu tips yang paling aman supaya kita tidak jatuh dalam meminta-minta adalah dengan kita lebih suka memberi. Jika memang harus meminta pasanglah niat yang baik, sebagaimana kata Imam Al Ghazali ketika niat itu banyak dalam hati jika kecondongan niat itu lebih kepada Allah maka akan mendapatkan pahala, jika niat itu lebih condong kepada dunia maka tidak akan mendapatkan apa-apa.
Semoga Allah meneguhkan kita
dalam akhlak yang mulia, yaitu menahan diri dan berhati-hati dari
meminta-minta.
*kisah diatas terdapat dalam
hadit shahih Bukhari dan Muslim.
0 komentar:
Posting Komentar