10.46.00 -
KAJIAN,OPINI
No comments
Golput atau Tidak Golput ?
Golput istilah yang disematkan dalam cap bagi mereka
yang tidak memberi suara pada pemilu. Alasannya bermacam-macam dari terkait
agama, pribadi sendiri bahkan bisa jadi adalah kekecewaan atas rezim yang
sedang berlangsung.
Hmm… saya termasuk seseorang yang acuh terhadap PEMILU itu sendiri.
Namun itu dulu. Seperti yang sebab diatas, termasuk dalam kategori GOLPUT atas
pilihan sendiri. Alasan paling sederhana adalah saya tidak mengenal capres
tentang kebaikannya atau bahkan menurut saya pada waktu itu tidak ada yang
pantas.
Dalam keberjalanannya pemikiran itu menguatkan bahwa sistem demokrasi
adalah sistem yang hancur menurut Isla
m. Bahkan dulu demokrasi pada awalnya adalah suatu sosok sistem yang sangat ditentang (Silakan cari pendapat para filosof-filosof Yunani ketika itu.). Ah… bagiku demokrasi itu sangat tidak logis dan tidak sosialis dalam penerapan kaidah penetapan suatu hukum positif (Atau mungkin saya yang bodoh ya…). Entahlah namun bagiku demokrasi tetap sistem yang semu , tidak tegas. Tergantung siapa yang menjalankan.
m. Bahkan dulu demokrasi pada awalnya adalah suatu sosok sistem yang sangat ditentang (Silakan cari pendapat para filosof-filosof Yunani ketika itu.). Ah… bagiku demokrasi itu sangat tidak logis dan tidak sosialis dalam penerapan kaidah penetapan suatu hukum positif (Atau mungkin saya yang bodoh ya…). Entahlah namun bagiku demokrasi tetap sistem yang semu , tidak tegas. Tergantung siapa yang menjalankan.
Semakin berjalannya waktu, masih masalah keyakinan bahwa demokrasi
adalah sistem yang buruk, bahkan parpol “Islam” pun tidak luput dari apa yang
saya fikirkan (Mengapa mereka begitu?). dengan mengkaji lebih dalam, semakin
belajar bahwa saya meyakini apa yang menjadi suatu siyasah bagi mereka adalah
bukan suatu hal yang kufur -dengan kajian yang panjang- (walaupun menurut
pandangan pandangan lain termasuk dalam bejana air kekufuran.).
Lagi-lagi masalah perbedaan ya terkait ini. ingat ya perbedaannya,
perbedaan ulama’ terkait siyasah kebolehan atau tidaknya lho ya, bukan tentang
keyakinan sistem demokrasi yang benar. Eh… pengantarnya kebanyakan.
Oke, bismillaah. Pandangan saya tentang Golput atau Tidak Golput.
Menurut hemat saya, sebagai implikasi bahwa saya membenarkan tentang
siyasah melalui parlemen dengan meyakini hanya sistem Islam yang final adalah
memberi suara pada pemilu adalah suatu rentang dari anjuran hingga mendekati
wajib. Lalu bagaimana dengan pendapat para ‘ulama’ ? akan saya paparkan dibawah
ini.
Sebelumnya akan saya paparkan ulama-ulama yang tidak memperbolehkan
samasekali partisipasi dalam parlemen. Diantaranya, Syeikh Sa’ad As-Suhaimi,
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syeikh Abdul Malik Ramadhan Al-Jazairi,
Sayyid Quthb, Syeikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I, Syeikh Abu Muhammad Al-Maqdisi,
Syeikh Abu Bashir At Turthusi, dan yang sependapat dengan mereka
-rahimakumullaah-. Tentunya untuk pendapat mereka tidak akan kami bahas karena
sudah lazim diketahui bahwa memang didalamnya tidak ada toleransi.
Kemudian yang lain, ialah sebagian besar pendapat ulama yang merinci
permasalahan ini.
1. Syeikh Al Albani -rahimahullaah-
-
Aku tidak melihat ada sesuatu yang melarang
masyarakat muslim untuk memilih orang-orang pergerakan islam dan siapa pun yang
lebih dekat kepada manhaj ilmu yang shohih,
bila memang diantara para calon ada orang yang memerangi Islam, dan ada para
calon yang islami dari partai-partai yang manhajnya bermacam-macam. [Majalah
Assalafiyah, edisi 3, tahun 1418 H, hal: 29]
Pertanyaan: Apa hukum keluarnya
kaum wanita untuk mengikuti pemilu?
-
Jawaban:
Mereka boleh keluar (untuk itu) dengan syarat yang sudah ma’ruf untuk mereka,
yaitu: berjilbab dengan jilbab syar’i dan tidak bercampur-baur dengan kaum
lelaki… Kemudian, mereka memilih orang yang lebih dekat kepada manhaj ilmu yang
shohih, karena alasan menolak keburukan yang besar dengan keburukan yang kecil.
[Majalah Assalafiyah, edisi 3, tahun 1418 H, hal: 29]
Jika di sana ada
Kaum Muslimin… yang mencalonkan dirinya untuk masuk parlemen, dengan dalih
mengurangi keburukan (yang ada)… baik untuk pemilihan dalam lingkup kecil,
maupun pemilihan dalam lingkup besar, maka kami akan memilihnya. Kenapa? Karena
di sana ada kaidah islam yang bisa kami jadikan dasar mengatakan ini, yaitu:
bila seorang muslim berada di antara dua keburukan, maka ia (harus)
memilih yang paling sedikit buruknya dari keduanya.
Tidak diragukan lagi, adanya seorang pemimpin
negeri yang muslim, tidak diragukan itu lebih sedikit buruknya… dari pada
adanya seorang pemimpin negeri yang kafir atau atheis…
Kami membedakan antara masalah memilih dengan
masalah mencalonkan diri. Kami tidak mencalonkan diri; agar dipilih karena kami
akan terbakar. Adapun orang yang tidak mau kecuali membakar dirinya -baik
sedikit maupun banyak-, dan mencalonkan diri di pemilihan ini ataupun itu, maka
-karena alasan menolak keburukan terbesar dengan keburukan terkecil-, kami akan
memilih orang muslim ini, bukan orang kafir atau orang atheis itu.
Penanya:
Wahai Syeikh kami, saya paham dari ucapan (Anda) ini, bahwa untuk parlemen atau
pemilihan pemimpin negeri, bila ada seorang muslim yang mencalonkan diri, maka
boleh memberikan suara untuknya?
-
Syeikh: Ya (benar), tapi itu karena alasan menolak
keburukan terbesar dengan keburukan terkecil, bukan karena hal itu baik.
[Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 660]
Penanya:
Telah sampai kepada kami perkataan Anda tentang pemilu, bahwa Anda mengatakan:
“Ikhwanul Muslimin” yang turun (dalam kancah politik), tidak seyogyanya mereka
turun, tapi ketika mereka telah turun, maka Kaum Muslimin harus mendukung
mereka?.
-
Syeikh: Pertama, kami tidak mengkhususkan penyebutan
“Ikhwanul Muslimin”… Kita akan melihat di lapangan; ada orang-orang pergerakan
islam yang mencalonkan dirinya… Ketika keadaan demikian, maka wajib bagi
kita untuk memilih yang paling baik dari mereka yang turun di kancah pemilu,
dan kita tidak boleh membuka kesempatan bagi masuknya kelompok sosialis, atau
ba’athis, atau munafikun, atau dahriyun, atau yang semisal mereka, inilah
pendapat kami.
Penanya:
Anda mengatakan kita wajib memilih yang terbaik dari mereka?
-
Syeikh: Ya, (benar). [Silsilah Huda wan Nur, kaset
no: 221, menit: 2:57]
Adapun golongan kedua, yakni orang-orang yang
memilih mereka (yang dicalonkan), maka kami mengatakan: mereka (para pemilih) harus
menerapkan kaidah syariat, yaitu: jika seorang muslim jatuh diantara dua
keburukan, maka dia wajib memilih yang paling sedikit keburukannya. Maka
saya sebagai salah satu dari individu umat ini memilih pendapat yang intinya:
Agar seorang muslim tidak mencalonkan dirinya,
karena dia akan rugi dengannya, baik rugi banyak maupun sedikit. Tapi, kita
harus mengobati kenyataan ini, betapapun buruknya keadaan ini.
Maka apabila kelompok pergerakan islam maju
dan mencalonkan diri mereka, sedang di depan mereka ada golongan manusia -yang
bisa jadi mereka itu muslim tapi tidak taat, atau tidak muslim sama sekali,
atau pernah muslim tapi murtad setelah itu-, ketika keadaannya demikian, maka
sesuai kaedah yang telah disebutkan tadi: kita harus memilih orang yang
bila dia masuk dalam parlemen… keburukannya lebih sedikit dari keburukan selain
dia. Karena hal ini, maka wajib bagi semua pemilih untuk memilih
kelompok pergerakan islam, apapun pemikiran mereka, partai mereka, …, …, …, dan
seterusnya…
Inilah pendapatku, jadi ini berkaitan dengan
dua golongan: golongan yang mencalonkan diri mereka; kami tidak menasehatkan
untuk (mengambil langkah itu). Adapun ketika mereka telah mencalonkan diri
mereka, maka kita harus memilih dari mereka; orang yang lebih dekat
kepada praktek agama islam. [Silsilah Huda wan Nur, kaset no: 287, menit:
30:12]
-
Jika di sana ada orang-orang dari pemuda muslim
yang mencalonkan dirinya sebagai wakil di parlemen, dia bersaing dengan
orang-orang lain dari partai-partai yang tidak islami, maka jika keadaannya
demikian, saya melihat bolehnya memilih jenis pertama, karena bila kita tidak
memilihnya; jenis pesaingnya akan berhasil, hal ini karena alasan mewujudkan
bahaya terkecil. Kami tidak menasehatkan seorang muslim untuk mencalonkan
dirinya, tapi bila ia menolak (hal itu), dan melihat adanya kebaikan dalam
langkahnya, maka kita wajib memilihnya. [Silsilah Huda wan Nur, kaset
no: 441, menit: 15:20]
2.
Syeikh ‘Utsaimin -rahimahullaah-
Pertanyaan:
Wahai syeikh, apa hukum pemilu yang ada di Negara Kuwait, padahal diketahui;
mayoritas orang pergerakan islam dan para da’i yang masuk ke dalamnya, agamanya
menjadi rusak? Lalu apa hukum pemilihan ketua kabilah yang ada di sana?
Jawaban:
Saya melihat, (mengikuti) pemilu itu wajib, kita wajib menunjuk
orang yang kita lihat ada kebaikan padanya, karena bila orang-orang yang baik
pada mundur, siapa yang akan menempati tempat mereka? (tentu saja) orang-orang
yang buruk, atau orang-orang ‘pasif’ yang tidak memiliki kebaikan atau
keburukan, pembeo setiap orang yang berteriak (mengajaknya), maka kita wajib
memilih orang yang kita nilai saleh.
Jika ada yang mengatakan: Kita memilih satu
(orang saleh), padahal mayoritas anggota majlis bertentangan dengan keadaannya.
Kita katakan: Tidak masalah, satu orang ini,
jika Allah memberikan keberkahan padanya, dan menyampaikan ‘pesan kebenaran’
dalam majlis ini, itu akan mempunyai pengaruh, dan itu keniscayaan. Tapi
(masalahnya) kita kurang tulus terhadap Allah, kita menyandarkan diri pada
hal-hal yang bersifat materi dan kasat mata, tapi tidak melihat kepada kalimat
Allah azza wajall.
Lihatlah tindakan Nabi Musa -alaihissalam-
ketika Fir’aun meminta kepadanya ‘waktu janjian’ agar dia bisa mendatangkan
semua tukang sihir, Nabi Musa memberikan ‘waktu janjian’, yaitu: waktu dhuha
pada hari raya (mereka), di siang bolong, di tempat yang lapang. Maka seluruh
manusia pun berkumpul, lalu Nabi Musa -alaihissalam- mengatakan kepada
mereka: “Celakalah kalian, janganlah kalian berdusta atas nama Allah, sehingga
Dia membinasakan kalian dengan azab, dan pasti merugi orang yang berdusta (atas
namaNya)”. Satu kalimat yang bisa menjadi ‘bom’. Allah mengatakan setelah itu:
“Maka mereka pun saling berselisih dalam urusan mereka, tapi mereka
merahasiakan percakapan mereka”… Dari sejak Nabi Musa mengucapkan kalimat itu,
mereka saling berselisih dalam urusan mereka, dan bila orang-orang telah
berselisih, maka itu kelemahan, sebagaimana Allah ta’ala berfirman: “Janganlah
kalian saling berselisih, sehingga kalian menjadi lemah”… Dan hasilnya, para
tukang sihir yang datang untuk melawan Musa, malah menjadi bersamanya, mereka
menyungkur sujud kepada Allah, dan mengumumkan: “Kami telah beriman kepada Rabb
Harun dan Musa”, padahal Fir’aun di hadapan mereka. Pesan kebenaran telah
mempengaruhi mereka, dari satu orang, di hadapan umat manusia yang banyak, dan
pemimpinya orang yang paling angkuh.
Oleh karena itu, saya katakan; walaupun bila
di majlis parlemen hanya ada sedikit pengikut kebenaran, mereka akan memberikan
manfaat, tapi mereka harus tulus kepada Allah ta’ala.
Adapun perkataan bahwa parlemen itu tidak
dibolehkan, begitu pula bergabung dengan orang-orang fasik dan duduk bersama
mereka, (maka) apakah kita mengatakan boleh duduk dengan mereka untuk
menyetujui mereka?! Kita duduk bersama mereka untuk menjelaskan kebenaran
kepada mereka.
Sebagian saudara kita dari ulama mengatakan:
“Tidak boleh bergabung (dengan mereka di majlis), karena orang yang lurus
tersebut akan duduk bersama orang yang menyimpang”. (maka kita katakan), apakah
orang yang lurus tersebut duduk untuk menyimpang, atau untuk meluruskan yang
bengkok? Tentu untuk meluruskan yang bengkok dan mengubahnya. Jika dia tidak
berhasil pada kali pertama, tentu ia akan berhasil pada kali kedua.
Penanya:
… Wahai Syeikh, bagaimana dengan pemilihan ketua kabilah?
Syeikh:
Semuanya sama, calonkan siapa yang kamu anggap orang baik, dan bertawakkallah
kepada Allah!
Pertanyaan:
Syeikh yang terhormat, ada yang bertanya: Apakah Anda telah memfatwakan
bolehnya pemilu? Apa hukumnya?
Jawaban:
Ya, memang saya telah memfatwakan itu, dan ini sebuah keharusan, karena
bila suara Kaum Muslimin hilang, artinya; majlis akan murni menjadi milik
pelaku keburukan, (berbeda) bila Kaum Muslimin ikut serta dalam pemilu, mereka
akan memilih orang yang mereka lihat pantas dengan hal tersebut, sehingga akan
timbul kebaikan dan keberkahan. [Kitab As'ilah Qotoriyah, hal: 34]
Syeikh Ahmad bin Abdurrohman al-Qodli
mengatakan: Aku telah bertanya kepada Syeikh kami (yakni Syeikh Utsaimin) -rohimahulloh-
tentang Kaum Muslimin di Amerika, apakah mereka boleh mengikuti pemilu yang
berjalan di beberapa wilayah (Negara tersebut) untuk mendukung calon yang
mendukung kepentingan Kaum Muslimin?, maka beliau menjawabnya dengan
persetujuan, tanpa ada keraguan (sedikit pun). [Kitab Tsamarotut Tadwin,
masalah no: 593, tertanggal 29/6/1420 H]
3.
Syeikh Binbaz -rahimahullaah-
Wajib
bagi Kaum Muslimin di Negara yang tidak berhukum dengan Syari’at Islam, untuk
mengerahkan usahanya dan apapun yang mereka mampui dalam berhukum dengan
Syariat Islam. Dan (wajib pula bagi mereka) untuk bersatu padu dalam
membantu partai yang dikenal akan berhukum dengan Syari’at Islam.
Adapun membantu orang yang mengajak untuk
tidak menerapkan Syari’at Islam, maka ini tidak boleh, bahkan bisa menyeret
pelakunya kepada kekufuran, sebagaimana Firman Allah ta’ala (yang artinya):
“Hendaklah Engkau memutuskan perkara di antara
mereka menurut hukum yang diturunkan Allah, janganlah Engkau mengikuti
keinginan mereka, dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka
memperdaya Engkau dalam sebagian hukum yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Lalu jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka
ketahuilah bahwa sesungguhnya Allh berkehendak menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah
orang-orang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan?! Tidak ada
hukum yang lebih baik dari hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini”
(al-Ma’idah 49-50)
Oleh karena itu, ketika Allah menjelaskan
kufurnya orang yang tidak berhukum dengan Syari’at Islam, Dia memperingatkan
agar tidak membantu mereka atau menjadikan mereka pemimpin, dan memerintahkan
Kaum Mukminin agar bertakwa bila mereka benar-benar beriman, Allah ta’ala
berfirman (yang artinya):
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kalian jadikan sebagai pemimpin; orang-orang yang diberi kitab sebelum kalian
dan orang-orang kafir yang menjadikan agama kalian sebagai bahan ejekan dan
permainan, dan bertakwalah kepada Allah bila kalian orang-orang yang beriman. (Al-Ma’idah:
57). [Fatwa Lajnah Da'imah, seri kedua, 1/373]
4.
Syeikh Assi’di -rahimahullaah-
Sungguh Allah ta’ala itu melindungi kaum
mukminin dengan jalan yang banyak, mereka kadang mengetahui sebagian jalan itu,
dan kadang mereka tidak mengetahuinya sama sekali. Kadang Allah membela mereka
melalui kabilah dan penduduk negeri mereka yang kafir, sebagaimana Allah
melindungi Nabi Syu’aib dari hukuman rajam kaumnya melalui keberadaan
kabilahnya. Dan sungguh hubungan-hubungan pertalian ini bila dengannya Agama
Islam dan Kaum Muslimin bisa terlindungi, maka tidak mengapa berusaha
mewujudkannya, bahkan bisa saja hal itu diharuskan, karena perbaikan itu
dituntut sesuai dengan kemampuan dan kesempatan.
Oleh karena itu, jika Kaum Muslimin yang
berada di bawah kekuasaan kaum kafirin berusaha dan bekerja untuk menjadikan
Negaranya bersistem Demokrasi, sehingga penduduk dan masyarakatnya bisa
mendapatkankan hak agama dan dunianya, tentunya ini lebih baik daripada mereka
tunduk kepada Negara yang merampas hak agama dan dunia mereka, berusaha
menindas mereka, dan menjadikan mereka sebagai pekerja dan budaknya.
Memang benar, bila dimungkinkan Negara itu
menjadi Negara Kaum Muslimin dan mereka menjadi penguasanya, tentunya itu yang diharuskan.
Tapi karena tingkatan itu tidak dimungkinkan, maka tingkatan yang di dalamnya
agama dan dunia mereka menjadi kuat dan terlindungi; tentunya (harus)
dikedepankan, wallohu a’lam. [Tafsir Assi’di, Surat Hud, ayat: 91]
5.
Syeikh Dr. Abdullah Al-Faqih -hafizhahullaah-
Beliau ditanya tentang
hukum mencalonkan diri dalam parlemen untuk maslahat kaum muslimin, dan hukum memilih
partai sekuler, Beliau menjawab:
Tidak boleh bekerjasama dengan
partai-partai sekuler dan komunis, karena dasar pemikiran mereka adalah anti
Tuhan. Penjelasan yang benar tentang sekulerisme adalah anti agama, dan yang
disepakati tentang sekulerisme adalah menghapuskan agama dari negara dan
kehidupan masyarakat. Sebagaimana makna komunisme yang merupakan pemikiran yang
didasari sikap pemujaan kepada materi, dan materialisme merupakan pondasi
semuanya, sama halnya dengan pemikiran yang ditegakkan oleh atheis, yang
menghilangkan sama sekali pengakuan atas adanya Tuhannya bumi dan langit.
Ada pun masuk ke dalam majelis
perwakilan (parlemen) melalui jalan pemilu dan selainnya, maka pada dasarnya
melahirkan manfaat bagi kaum muslimin dengan cara apa saja yang tidak membawa
pada dosa, itu merupakan cara yang diperintahkan syariat secara umum. Maka,
siapa saja yang niat pencalonannya adalah untuk melayani kaum muslimin dan
mengambil hak-hak mereka, maka kami memandang hal itu tidak terlarang. Kami
telah jelaskan hal ini, dengan izin Allah, dalam fatwa No. 5141. (Fatawa
Asy-Syabakah Al-Islamiyah, 1/565)
Beliau juga
menyampaikan :
Dikarenakan masalah ini
dibangun atas dasar pemahaman maslahat dan mafsadat (kerusakan), dan setiap
ulama di masing-masing negara adalah pihak yang paling tahu tentang ukuran
hal-hal tersebut (maslahat dan mafsadat), dan mereka juga mengetahui keadaan
negerinya dan hal-hal seputarnya. (Ibid, 7/4)
6. Syeikh
Abdul Aziz Alusy Syeikh -hafizhohulloh- (Mufti Saudi sekarang).
Penanya:
Belum lama tadi Anda mengatakan, bahwa wajib bagi Ahlussunnah mengikuti
pemilu di Negara Irak?
Syeikh:
Sungguh, bila Ahlussunnah -pemilik kebaikan, yang berpikiran lurus, dan punya
niat tulus-, bila mereka mengeram (berdiam) di rumah-rumah mereka dan
membiarkan segala urusan dipermainkan oleh siapa saja yang menghendaki, tentu
mereka tidak akan mendapatkan keuntungan apa-apa.
Seseorang tidaklah masuk (pemilu) untuk
mewujudkan segala sesuatu atau dia harus menang, tapi dia masuk itu untuk
menyumbangkan usaha perbaikan, dan Allah merahmati orang yang memperjuangkan
Islam, meski hanya dengan sepatah kata. Satu muslim yang tulus terkadang mampu
berdiri di hadapan ribuan orang yang tidak tulus.
Masalahnya kembali kepada niat yang baik, jika
tujuannya memperbaiki (keadaan) dan Allah mengetahui hal itu padanya, bahwa ia
tidak masuk kecuali untuk memperbaiki dan meluruskan keadaan, maka taufiq Allah
akan menyertainya.
Adapun hal-hal selain itu, maka tidak
sepantasnya menjadi penghalang, lalu kita mengatakan: sudahlah mereka (Amerika
cs) masih ada, mereka (yang masuk) tidak bisa berbuat apa-apa! Tidak, kita
hendaknya ikut serta dan memberikan sumbangsih dalam kebaikan, serta berusaha
mewujudkan pemilu yang bersih.
Dan hendaklah orang-orang yang baik dan saleh,
yang memiliki niat tulus dan pikiran yang baik itu; diakui keberadannya,
sehingga mereka tidak membuka kesempatan bagi yang lain. Tapi bila mereka
meninggalkan lahan tersebut dan memberikan kesempatan bagi yang lain, mereka
tidak akan mampu mengatur keadaan, sebaliknya mereka akan hilang dan disingkirkan,
dan tidak akan ada ‘suara yang didengar’ sedikit pun dari mereka.
Penanya:
baiklah, wahai Syeikh ada sedikit keterangan, pemilu ini berjalan di bawah
naungan penjajah, dan Amerika masih ada (di lapangan)?
Syeikh:
Saya tidak mengatakan bahwa orang yang masuk (pemilu) akan membalik keadaan,
saya mengatakan: bahwa orang-orang yang baik dengan niat-niat mereka yang
tulus, bila mereka masuk, maka dengan taufiq Allah mereka akan mendapatkan
hasil dari usahanya. Masuklah, dan berilah sumbangsih dalam kebaikan, “Betapa
banyak kelompok kecil yang dapat mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah”.
Allah akan memberi seorang muslim -dengan niat
dan tekadnya-; pendukung dan kecintaan dalam hati (manusia), dia bisa
memperbaiki banyak kesalahan dan dapat memberikan sumbangsih dalam kebaikan.
Yang penting bukanlah memperbaiki segala
sesuatu, tetapi bagaimana aku memberikan sumbangsih dalam kebaikan. Maka,
apabila ada banyak usaha (perbaikan) dari sana sini, tentu Allah akan
mendatangkan banyak manfaat dengannya.
Penanya:
Wahai Syeikh, baiklah, mereka sudah empat tahun lamanya, tapi tidak bisa
mengubah apapun! Bukankah lebih baik mereka duduk saja di rumah-rumah mereka,
dan tidak meletakkan orang-orang syiah rofidhoh di leher-leher mereka?!
Syeikh:
Saya berharap kamu tidak usah melihat hal-hal ini, lihatlah niat-niat yang baik
dan masa depan yang gemilang, insyaAllah. Jadikanlah maksud dan tujuan itu;
bahwa orang ini masuk, mungkin saja suaranya diperhitungkan, Allah
menjadikannya bermanfaat dan dapat bersaing dengan yang lainnya…
Seorang muslim hendaklah berdoa kepada Allah
semampunya dan sesuai dengan usahanya, baik tujuannya tercapai ataupun tidak.
Yang penting Allah mengetahui bahwa dia telah berusaha dalam kebaikan, telah
berusaha mewujudkan keinginannya. Bila niatnya baik, maka dengan niat dan
maksudnya, seorang muslim akan sampai pada kedudukan yang agung, dan Allah
tidak menyia-nyiakan pahala orang yang baik amalannya.
7. Syeikh
Abdul Muhsin al-Abbad -hafizhohulloh- (Ahli hadits paling senior di
Madinah sekarang)
Pertanyaan: Apa
pendapat Anda tentang menggunakan hak suara dalam pemilu, untuk diketahui bahwa
di sana ada partai nasrani yang mengikuti pemilu, dan bila partai itu menang,
dia akan memiliki pengaruh besar dan akan berbahaya bagi Kaum Muslimin?
Jawaban:
Jika masuknya Kaum Muslimin akan menguatkan ‘sisi baik’ bagi Kaum Muslimin,
maka mereka boleh masuk, tapi bila masuknya mereka tidak berpengaruh apa-apa,
maka mereka tidak boleh masuk.
Bila masuknya mereka dapat membantu menjauhkan
orang yang buruk, dan menempatkan orang yang keburukannya lebih sedikit atau
bahayanya lebih ringan, bahkan bila mereka dari orang-orang kafir sendiri,
sebagaimana terdapat di Negara-negara yang islamnya minoritas, dan pilihan
berada di antara dua orang kafir, yang satu sangat membenci Kaum Muslimin, dan
bila dia sampai ke tampuk kekuasaan, dia akan memusuhi mereka, dan menghalangi
mereka dari pelaksanaan amal ibadah mereka sebagaimana mestinya, sedang yang
kedua tidak demikian, dia toleran terhadap Kaum Muslimin, tidak memiliki permusuhan
yang besar dengan mereka… Jika perkarannya berada di antara dua pilihan ini,
dan masuknya Kaum Muslimin akan menguatkan posisi si kafir yang ‘lembut’ kepada
Kaum Muslimin itu, maka mereka boleh masuk.
Tapi bila masuknya mereka tidak berpengaruh apa-apa
maka hendaklah mereka meninggalkannya, karena masuknya mereka bukanlah untuk
memilih kholifah, karena mereka semua orang-orang kafir yang menguasai
mereka, tapi sebagian keburukan lebih ringan dari sebagian yang lain, dan
mengambil bahaya yang lebih ringan agar selamat dari bahaya yang lebih besar
itu merupakan tuntutan.
Telah maklum bahwa Allah menyebutkan dalam
Alquran; kegembiraan Kaum Muslimin dengan kemenangan Romawi atas Persia,
padahal dua-duanya kafir, tapi mengapa Kaum Muslimin bergembira dengan
menangnya Romawi atas Persia? Karena Persia adalah kaum majusi dan kekufuran
mereka itu parah dan dahsyat, dan sebagaimana sabda Rosul: “Kekufuran yang
paling dahsyat adalah kekufuran yang ada di (belahan bumi) bagian timur”, Raja
Persia merobek surat Rosulullah yang sampai kepadanya, adapun Raja Romawi, ia
menjaga surat (beliau yang sampai kepadanya).
Maka (jelas) berbeda antara orang kafir yang
sangat membenci Kaum Muslimin dan orang kafir yang ringan bahayanya terhadap
Kaum Muslimin.
Maka jika masuknya mereka dapat menempatkan
orang yang bahayanya lebih ringan, maka mereka boleh masuk, tapi jika masuknya
mereka tidak berpengaruh apa-apa, maka hendaknya mereka menjauhinya.
Pertanyaan:
Apakah ikut serta dalam pemilu termasuk dalam kategori merubah kemungkaran
dengan ‘tangan’, karena seseorang bisa memilih orang yang saleh agar menjadi
penguasa?
Jawaban:
Pemilu ini bukanlah cara yang sesuai syariat, tapi ia merupakan cara yang
menyusup kepada Kaum Muslimin dari musuh mereka, dan keputusan di dalamnya tergantung
pada mayoritas, walaupun mayoritasnya dari orang yang paling rusak, atau orang
yang memilihnya dari orang yang paling rusak, karena mereka memilih salah
seorang dari mereka dan keputusan milik suara terbanyak, dan ketika yang
terbanyak adalah orang-orang buruk, maka mereka akan memilih salah seorang yang
buruk dari mereka itu.
Dan masuk dalam pemilu, jika tidak
mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan, maka itu tidak pantas (dilakukan). Tapi
apabila (langkah masuk dalam pemilu itu) akan mendatangkan maslahat karena
perkaranya berada di antara dua orang, yang satu buruk, sedang yang kedua baik,
dan jika dia tidak ‘ikut serta’ dalam mendukung pihak orang yang baik itu, maka
posisi orang yang buruk itu akan kuat, maka tidak mengapa ‘ikut serta’ untuk meraih
maslahat itu dan menolak mudhorotnya.
Bahkan ketika perkaranya berada di antara dua
orang, yang satu buruk, sedang yang lain lebih ‘mending’ keburukannya,
sebagaima terjadi di sebagian Negara yang islamnya minoritas dan kekuasaan
ditangan orang-orang kafir. Bila perkaranya berada di antara dua orang kafir,
yang satu sangat membenci Kaum Muslimin, sangat memusuhi mereka, menindas
mereka, dan tidak mengijinkan mereka melaksanakan syiar-syiar agama mereka,
sedang yang kedua bersikap damai, simpati kepada Kaum Muslimin, dan dia tidak
punya kebencian yang besar kepada mereka, maka tidak diragukan lagi
menguatkan pihak orang yang ‘ringan’ (toleran) terhadap Kaum Muslimin, itu
lebih baik daripada urusan ini (sama sekali), sehingga menyebabkan orang kafir
yang sangat membenci Kaum Muslimin itu bisa menang (dalam pemilu).
Dan sebagaimana diketahui, telah disebutkan
dalam Alqur’an; bahwa Kaum Muslimin bergembira dengan kemenangan Romawi atas
Persia, padahal mereka semua kafir, tapi Romawi lebih ringan, karena mereka
masih berafiliasi kepada agama (samawi), adapun Persia mereka menyembah berhala
dan tidak berafiliase kepada agama, meskipun semuanya kafir, tapi sebagian
keburukan lebih ringan dari keburukan yang lainnya, dan termasuk dalam kaidah
syariat; “bahaya yang lebih ringan (harus) diambil sebagai jalan untuk
selamat dari bahaya yang lebih besar”, dan apabila bahaya yang lebih ringan
telah diambil agar selamat dari bahaya yang lebih besar, maka inilah yang
diinginkan…
Intinya; hukum masuk dalam pemilu tidak mutlak
adanya. Pada asalnya seseorang tidak boleh masuk di dalamnya, kecuali bila ada
maslahat dalam memasukinya, (misalnya) bila perkaranya berada di antara orang
yang buruk dengan orang yang baik, atau di antara dua orang yang sama-sama
buruk, namun yang satu lebih ‘mending’ dari yang lainnya, dan meninggalkan
keikutsertaan (dalam pemilu) akan memenangkan orang yang lebih buruk dan lebih
parah, maka dalam keadaan seperti ini, tidak mengapa mengambil langkah
mengikuti pemilu, karena alasan “mengambil bahaya yang lebih ringan sebagai
jalan agar selamat dari bahaya yang lebih besar”. [Syarah Sunan Abi Dawud,
kaset no: 488]
8.
Fatwa Majma’ Fikih Islami (Akademi Fikih
Islam)
Setelah mendengarkan bahts-bahts yang
diajukan, beserta perdebatan dan diskusi yang mengirinya, maka majlis (Majma’
Fiqh Islami) menetapkan keputusan berikut ini:
1. Keikut-sertaan seorang muslim dengan non
muslim dalam pemilu di Negara-negara non muslim; termasuk dalam siyasah
syar’iyyah, yang hukumnya diputuskan berdasarkan timbangan maslahat dan
mafsadat, dan fatwa tentang hal itu bisa berbeda karena perbedaan waktu,
tempat, dan keadaan.
2. Seorang muslim yang dapat menikmati hak
kewarga-negaraan di negara non muslim boleh mengikuti pemilihan parlemen atau
yang semisalnya, karena besarnya kemungkinan adanya maslahat kuat yang akan
dihasilkan dari keikutsertaannya itu, seperti menampakkan gambaran yang benar
tentang Islam, pembelaan terhadap masalah-masalah Kaum Muslimin di negaranya,
mengadakan lapangan kerja bagi kaum minoritas baik dari sisi agama maupun
dunia, menguatkan usaha mereka di posisi-posisi yang berpengaruh, dan
bekerjasama dengan orang-orang yang moderat dan obyektif untuk mewujudkan
kerjasama yang tegak di atas kebenaran dan keadilan. Dan hal itu ditetapkan
berdasarkan batasan-batasan berikut ini:
Pertama: Seorang muslim yang mengikuti pemilihan
tersebut, meniatkan keikut-sertaannya itu untuk memberikan sumbangsih dalam
mewujudkan maslahat-maslahat bagi Kaum Muslimin dan menolak mafsadat dan
bahaya-bahaya dari mereka.
Kedua: Dia melihat keikut-sertaannya itu memiliki
kemungkinan besar akan mendatangkan pengaruh-pengaruh yang baik bagi kaum
muslimin di Negara tersebut, seperti menguatkan posisi mereka, menyampaikan
tuntutan mereka kepada para pembuat keputusan dan para pembuat undang-undang,
dan menjaga kepentingan-kepentingan Kaum Muslimin baik dari sisi agama maupun
dunia.
Ketiga: Keikut-sertaan dalam pemilu tersebut tidak
menyebabkan kemerosotan dalam hal agama pada dirinya.
[Fatwa Majma’
Fikih Islami, yang dilangsungkan di Makkah, tertanggal 26 Syawwal 1422 H,
bertepatan dengan 8 Nopember 2007]
9.
Syeikh Dr. Ahmad bin Muhammad
Al-Khudhairi (Ulama Saudi, Anggota Hai’ah At Tadris di Universitas Islam
Imam Muhammad bin Su’ud, Riyadh)
Beliau ditanya
tentang kaum muslimin yang tinggal di Barat, bolehkah ikut pemilu di sana yang
nota bene calon-calonnya adalah kafir.
-
Kaum muslimin yang tinggal di negeri non-muslim,
menurut pendapat yg benar adalah boleh berpartisipasi dalam pemilihan presiden
di berbagai negara, atau memilih anggota majelis perwakilan jika hal itu dapat
menghasilkan maslahat bagi kaum muslimin atau mencegah kerusakan bagi mereka.
Dan, hujjah dalam hal ini adalah adanya berbagai kaidah syariat umum yang
memang mendatangkan berbagai maslahat dan mencegah berbagai kerusakan, dan
memilih yang lebih ringan di antara dua keburukan, dan mestilah bagi kaum
muslimin di sana mengatur diri mereka, menyatukan kalimat mereka, agar mereka
memperoleh pengaruh yang jelas. Kehadiran mereka bisa memberikan kontribusi
atas berbagai keputusan-keputusan penting khususnya bagi kaum muslimin di
negeri itu dan lainnya. (Fatawa Istisyarat Al-Islam Al-Yaum, 4/506)
10. Syeikh
Abdul Muhsin Al-Ubaikan Hafizhahullah
Beliau ditanya tentu ikut memberikan suara
dalam pemilu sebagai berikut:
Pertanyaan:
Assalamu ‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh. Apa kabar Syeikh, Ya
Syeikh saya da pertanyaan terkait pemilu, apakah kita mesti ikut pemilu? Saya
harap Anda menjelaskan kepadaku dengan dalil-dalil, semoga Allah Ta’ala
memberikan pahala, dan aku harap Anda menjawabnya secepatnya. Was Salamu
‘Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Berpartisipasi dalam
pemilu adalah suatu hal yang dituntut untuk dilakukan supaya orang yang jahat
tidak bisa menjadi anggota dewan untuk menyebarluaskan kejahatan mereka. Inilah
yang difatwakan oleh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin”. (Sumber:http://al-obeikan.com/show_fatwa/619.html)
Hmm… begitu banyak yang merinci masalah ini
sehingga sebenarnya dibutuhkan sikap yang tegas sebagaimana diatas bagi negeri
kita untuk menyatukan pendapat. Sehingga MUI pun sudah memfatwakan pada tahun
2009 yang berisi:
Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan Umum
1. Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih
pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya
cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
2. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah
dan imarah
dalam kehidupan bersama.
3. Imamah
dan Imarah
dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agar
terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
4. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq),
terpercaya (amanah),
aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya kemampuan (fathonah),
dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
5. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana
disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada
calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.
Rekomendasi
a. Umat Islam dianjurkan untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya
yang mengemban tugas amar makruf nahi munkar.
b. Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu meningkatkan
sosialisasi penyelenggaraan pemilu agar partisipasi masyarakat dapat meningkat,
sehingga hak masyarakat terpenuhi.
Fatwa ini ditetapkan di Padangpanjang, Sumatra Barat, pada 26
Januari 2009. Sedangkan pimpinan MUI yang menandatangani adalah pimpinan Komisi
Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin, Wakil Ketua MUI Dr H M Masyhuri Na'im, dan Sekretaris
Sholahudin Al Aiyub, M.Si
Sehingga adanya fatwa MUI tersebut hendaknya kita mentaati
walaupun saya sendiri secara pribadi meyakini bahwa sulit bagi yang memang
sudah meyakini sesuatu untuk mau mengubahnya. Namun, hal ini bukanlah hal yang
kesia-siaan , inilah ilmu yang berkembang. Saya kembalikan kepada perkataan
Rasulullaah bahwa ‘Ummatku tidak akan bersepakat diatas keburukan’.
Maka
marilah untuk kita tanggalkan sikap fanatisme golongan yang melekat dibadan
kita. Bukan sekedar dengan PKS, PPP, PBB atau partai-partai Islam lainnya. Dimana
engkau dapati akhlak yang paling mulia. Kita pilih kemudian serahkan kepada
Sang Maha Raja. Bijaksana sekali apa yang disampaikan Syaikh
As-Sadlaan:
“Harus
benar-benar dipastikan apakah permasalahannya adalah termasuk perkara agama
yang wajib diketahui secara pasti. Karena terkadang keyakinan terhadap perkara
yang rajih (kuat) dalam diri seseorang membuatnya sangat ‘militan’ dalam
mempertahankannya hingga berlebihan dalam memposisikannya. Contohnya adalah
ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di
parlemen. Terkadang mereka bersikap ekstrim dan
memasukkan masalah ini sebagai perkara pokok agama yang wajib diketahui dengan
pasti, lalu dengan serta-merta dia memusuhi orang yang menyelisihinya, dan
terkadang juga dia menerjemahkan berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai
suatu bentuk loyalitas terhadap non-muslim. Padahal sebenarnya permasalahan ini
sangat lapang, tidak sesempit ijtihad seperti ini (yang tidak membuka ruang
perbedaan pendapat” [Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf : Asasuhu wa Dlawabithuhu
oleh Shaalih bin Ghaanim As-Sadlaan hal. 83; Daar Balansiyyah, Cet. Thn. 1417
H, Riyaadl].
Wallaahu a’lam bish shawwab.
Fatwa-fatwa diambil dari berbagai sumber.
0 komentar:
Posting Komentar