06.54.00 -
SELINGAN
No comments
Menanti Hati
Hatinya saat ini bergemuruh. Pertemuan yang tidak pernah
diinginkan. Pertemuan yang ditolak oleh takdir skenario Tuhan. Tidak lama,
tidak sampai tiga menit mungkin. Akan tetapi tatapan mata itu tepat mengenai
dua bola matanya yang bening . Hari itu adalah hari dimana dia harus bahagia
atau susah. Semuanya sulit dibedakan. Suatu nikmat ataukah ujian. Iffa terus
mencari-cari benang-benang yang mungkin semrawut dalam hatinya. Mungkin juga
hari itu adalah puncak kegelisahannya, dibanding hari-hari sebelumnya.
Pertemuan yang singkat dan penuh arti.
“Ya Allah,
kenapa aku kepikiran dia terus. Aku tidak pernah mengharapkan pertemuan itu.
Padahal tidak lama, hanya sepintas dan tidak sengaja berpapasan saat kami
pindah kelas. Ya Allah lindungi aku atas perasaanku ini. Hanya kepada Engkau
Aku memohon. ” Katanya dalam hati ketika hendak tidur.
Lampu putih diatas kepalanya yang dilihat berangsur-angsur
menghilang dari tatapannya. Menyusul teman satu kamarnya, Zuli, yang telah
meninggalkan dirinya dan lampu putih yang terang itu.
***
Allaahu
akbar, Allaahu akbar,…Ashshalaatu khairum minannaum…
Adzan Shubuh berkumandang dengan suara yang mantap. Dia yang telah terjaga dari jam dua tadi untuk belajar dan merintih kepada Tuhannya, kini bersiap membangunkan teman-teman dan adik-adik satu kosnya. Beralih dari meja belajarnya ke tempat tidurnya, dia membangunkan teman satu kamarnya.
Adzan Shubuh berkumandang dengan suara yang mantap. Dia yang telah terjaga dari jam dua tadi untuk belajar dan merintih kepada Tuhannya, kini bersiap membangunkan teman-teman dan adik-adik satu kosnya. Beralih dari meja belajarnya ke tempat tidurnya, dia membangunkan teman satu kamarnya.
“Bangun ukhti, ayo sudah shubuh
lho. Calon wanita surga tidak boleh telat shalat. Ayo bangun.” Ucap Iffa kepada
Zuli yang menempati satu kamar bersamanya.
“Iya ukh, ini sudah bangun.”
Jawab Zuli dengan nada berat sambil mengucek matanya.
Dilanjutkannya
ke kamar-kamar lain. Ada lima kamar yang masing-masing dihuni oleh dua sosok
calon mujahidah-mujahidah perjuangan Islam.
Setelah dibangunkan semua, mereka berpencar untuk shalat. Ada yang
berjama’ah di mesjid ada yang berjamaah memilih di kos. Ya heterogen di kosnya
itu. Yang penting saling menghargai. Yang shalat berjamaah di kos ada satu
tempat yang digunakan yaitu kamar Iffa, lumayan luas untuk menampung mereka
yang shalat jamaah di kos. Usai shalat Iffa dan Zuli tetap dikamarnya.
“Ukh, akhir-akhir ini aku sulit
tidur. Kenapa yah ?” tanya Iffa kepada Zuli.
“hmm,,, kenapa yah, mungkin lagi
kasmaran kali.” Jawab sekena Zuli tapi serius.
“Kok kasmaran sih, ukh. Gak ada
yang lebih medis lagi yah.”
“Ukhti, saya mau ngomong ya,
ukhti itu sangat jelas. Sulit jika ukhti menutupi perihal ini. ketika ukhti
memperhatikan kelasnya dari kejauhan, setelah keluar eh ukhti senyum-senyum
sendiri. Ketika bertemu atau berpapassan ukhti adalah orang mencuri pandangan
lalu menjadi orang yang paling bisa menundukkan pandangan. Ukhti, aku ini
sahabatmu. Seberapa aku mengenal ukhti bisa dibilang seperti saudara sendiri,
luar dalam tahu. ” Zuli mencoba menjelaskan terkaannya tadi yang sebenarnya
untuk memancing apa yang dijadikan hipotesisnya itu.
Mendengarkan penjelasan itu,
hatinya bergetar. Ada perasaan malu tapi ada secercah bahagia karena sahabat
yang paling dikenalnya sebenarnya tepat menerka hatinya, atau lebih tepatnya
mengeri perasaannya. Lalu dengan bergetar badannya dan terbata-bata, ia
menjawab,”Ukh, se…seperti…nya aku menyukai dia.”
Zuli seketika memeluk Iffa sambil
berbisik ke telinga Iffa,”Ukh, sabar ya. Ukhti pasti kuat. Serahkan saja kepada
Allah. Dekati Allah.”. Kemudian melepas pelukannya, Zuli mengusap airmata yang
tumpah atas siksaan perasaan itu.
“Udah, udah. Bantu yang lain
bersih-bersih yuk. Nanti juga kan ada try out kita harus menyiapkan segalanya.
” Kata Iffa yang mencoba tegar.
***
Saat berangkat sekolah ikhwan
yang mampu mengguncahkan hatinya itu dari kejauhan kelihatan sayup-sayup jalan
kakinya dengan kepala menunduk. Kos Iffa memang selalu dilewati ketika
berangkat sekolah. Iffa yang tidak menginginkan pertemuan tersebut segera
mempercepat beres-beres untuk cepet ke sekolah, juga menghindari Ihsan, ikhwan
tersebut.
“Aku harus cepat-cepat biar
tidak berpas-pasan dengan dia. Ayo Iffa, jangan lambat, kunci pintu kos.”
Dukungnya dalam hati kepada dirinya sendiri.
Kemudian ia lari kecil menuju
gerbang kos. Lalu menguncinya, ia sering akhir dalam berangkat ke sekolah.
“Ihsan, semakin mendekat.” Gumamnya sambil mengunci gerbang. “Ayo gerbang, menurutlah
padaku seperti biasa, astagfirullah dia makin dekat.”
Berkutat hingga akhirnya
berhasil dikunci juga. Tapi masih belum lega, karena sempat dengan jarak yang
dekat mereka akhirnya tetap bertemu dengan sengatan listrik hati yang sulit
didefinisikan.
Ihsan
yang menatap dua lentik mata anggun dan wajah yang cantik babyface itu segera
membuang pandangan, kemudian beristigfar didalam hati. Iffa salah tingkah
dengan kejadian ini. segera ditepisnya.
Dia berjalan agak cepat untuk
menjauh dari Ihsan. Disisi lain Ihsan yang dibelakangnya Cuma sekitar tiga
ayunan kaki juga mempercepat langkahnya agar tidak berada dibelakang perempuan
yang sebenarnya juga dia anggap bidadari itu. Iffa yang jalannya cepat merasa
diikuti oleh Ihsan. Kemudian Iffa memperlambat agar Ihsan mendahuluinya.
Ternyata Ihsan pun demikian memperlambat supaya bidadari yang belum diinginkan
itu segera menjauhinya. Entah mengapa pikiran mereka sama. Kemudian Iffa
mempercepat, Ihsan pun demikian. Ya, selalu sama dengan tujuan saling menjauh.
Karena merasa diikuti , Iffa tidak tahan akan hal ini. sontak dia menoleh ke
Ihsan, dengan nada kesal,
“Akh Ihsan , mengapa antum
mengikuti saya terus. Antum ini bagaimana sih.”
Dengan bingung, karena tidak ada
maksud mengikuti sama sekali Ihsan menimpali,
“Maksudnya
ukh? ” dengan dahi yang dikernyitkan. Terus menambahkan, “Silahkan Ukhti masuk
dulu. Saya nanti saja.” Ketika itu sampai didepan gerbang sekolah. Iffa
menimpali perkataan ketus kepada Ihsan,”Manusia aneh.”
***
Matahari mulai memberi salam perpisahan kepada mereka yang lelah
dengan kegiatan siangnya. Masuklah malam dengan disertakan bintang jauh
diangkasa yang berkedip-kedip. Sekolah yang telah dilalui Iffa terasa abstrak,
tidak ada sama sekali yang masuk dalam otaknya. Otaknya sementara ini dipenuhi
kejadian pagi sepanjang perjalanan ke sekolah. Bukan senang, bukan rasa kesal
seperti tadi pagi, tapi nuraninya mengatakan bahwa yang dirasakan adalah
perasaan bersalah. Dia bingung bagaimana cara agar tahu bagaimana sebenarnya
yang dilakukan sosok pria itu. Apakah benar dia mengikutinya atau bagaimana,
dia butuh kejelasan. Dia berencana menghubungi Ihsan, tapi dia tidak punya
nomer ponselnya. Mulai bingung tiba-tiba terfikirkan kalau ada teman dekat
Ihsan yang satu kelas dengannya juga satu organisasi, Irsyad,Ikhwan juga. Dia
menghubungi Irsyad segera dan meminta nomer Ihsan. Akhirnya dapat nomer Ihsan
juga dengan perjuangan yang keras karena harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
dari Irsyad, yang katanya untuk menjaga privasi sahabatnya.
Sms ditulisnya dengan rasa yang agak berbunga seakan menaruh
sebuah harapan. Sambil belajar mendekap mejanya yang menemani selama hampir
tiga tahun ini menuju kelulusan.
“Assalaamu’alaikum akh, ‘afwan untuk yang tadi pagi. Ana
marah-marah tidak jelas sama antum. Seharusnya ana tanya baik-baik. ‘Afwan
jiddan ya akh. Iffa.” Sms dikirim ke nomor yang didapat dengan susah payah itu.
Kemudian selama beberapa menit, ponselnya berdering. Balasan yang
ditunggu akhirnya datang juga. Tertulis dengan nama XIIipa3 Ihsan, diambilnya
ponsel , ditekan tombol buka pesan dengan tangan yang bergetar.
“Iya ukh, saya juga minta maaf. Kita saling memaafkan saja. O iya,
sekalian saya mau mengklarifikasi tadi pagi saya tidak ada samasekali niat untuk mengikuti ukhti. ”
“kenapa dibelakang saya terus ? ‘Afwan cuma tanya.” Selidik Iffa.
“’Afwan ukh, ketika saya berjalan cepat, saya ingin mendahului
ukhti tapi ukhti malah berjalan cepat. Ketika saya berjalan lambat supaya ukhti
lebih dulu berjalan, eh malah ukhti juga berjalan lambat. Saya jadi bingung. Ya
sekali lagi saya minta maaf.” Penjelasan Ihsan.
“O gitu y akh, saya minta maaf sebesar-besarnya karena sudah
marah-marah kepada antum.”
“Iya ukh, sekali lagi saling memaafkan saja.”
Sms berhenti sampai situ saja tapi perasaan kagum kepada ikhwan
yang telah mengambil hatinya tidak bisa dielakkan. Setelah penjelasan itu,
semakin mekar bunga-bunga hati dalam hatinya.
“Masyaaallaah, Oh Allah, rupanya mulia sekali akhlaknya.” Pujian
yang agak berlebihan akan tetapi pas menurutnya untuk orang yang dicintai. Senyum-senyum
sendiri tatkala dia membaca sms hubungan keduanya. Dibacanya terus-menerus, tak
bosan. Langit-langit yang putih itu dihiasi wajah Ihsan, ketika hendak tidur.
“Astagfirullaah. Ada apa aku ini. Ayo bangkit Iffa. Tidak boleh lemah. ”
mensupport diri sendiri. Karena merasa sulit menghilangkan bayangan wajah yang
dicintai, akhirnya dia mengambil wudhu. Mengambil sajadah yang selalu
disampirkan dipunggung meja belajarnya. Sejajar dengan ranjang pada sisi
lebarnya dia mulai menggelar sajadah itu dan melakukan dua rakaat.
Rintihnya kepada Tuhannya meneteskan airmata. Ada yang aneh, doa
yang jarang dilafadzkannya. Dia mencurahkan isi hatinya kepada Allah, tentang
Ihsan dia berdoa untuk dihilangkan perasaan rindu, perasaan yang menyiksa
dirinya itu. Tapi disisi lain dia menaruh harapan yang sangat besar bahwa kelak
sosok bidadari dari Ihsan adalah dirinya. Walaupun dia merasa sangat tidak
sebanding. Tapi hatinya seorang perempuan mengoyak tidak mau ada suatu
perpisahan walaupun masih sebatas angan-angan belaka. Airmata yang tidak bisa
dibendung menjadi tanda bukti bahwa cintanya sangat dalam kepada Ihsan. Sangat
menyiksa hatinya, perasaan cinta ini yang dia sendiri tidak tahu harus
bagaimana menyikapinya. Oh ternyata benar ungkapan yang disampaikan Ibnul
Qayyim Al Jauziyyah melalui syairnya,
Di Bumi tidak ada yang lebih sengsara dari
pecinta.
Selagi disana selalu hadir hawa nafsu, tentu
nikmat terasa.
Kau lihat dia mencucurkan airmata setiap
waktu,
Karena dia takut dirundung rindu.
Dia menangis
karena rindu saat berdekatan.
Dia juga menangis saat dekat dengan
perpisahan.
Matanya sembab ketika perpisahan benar-benar
tiba.
Matanya pun sembab saat perjumpaan dengannya.
Cinta akan menyiksa pelakunya,
Dan siksaan yang paling berat adalah siksaan
didalam hatinya.
(Ibnul
Qayyim Al Jauziyyah)
***
Didepan cermin Iffa sambil
menata jilbabnya yang lebar sebelum menuju sekolahnya untuk hari perpisahan
SMA-nya. Dia yang berencana kuliah di Solo, merasa akan ada perpisahan karena
sudah tidak bisa melihat sosok yang dikagumi dan diperhatikannya diam-diam.
Apalagi terdengar rumor tujuan kuliah Ihsan adalah kota Aceh karena dia mau
membuktikan kepada orangtuanya kalau dia mampu mandiri semandiri-mandirinya.
Oh.. menambah pundi-pundi kagum di hati Iffa.
“Hari ini adalah hari perpisahan, nanti kira-kira saya memberi
selamat kepada dia sebagai salam perpisahan, iya apa tidak ya ukh?” bincang
sekaligus curhatnya kepada sahabat terbainya itu, Zuli.
“Ukhti, saran saya tidak usah
ukhti. Lebih baik ukhti jaga baik-baik cinta yang dianugerahkan Allah untuk
digantikan syurga, didalam sini (sambil menunjuk letak hati Iffa). Ukhti jaga
hati, jaga hati, dan jaga hati. Semoga Allah memberi pasangan hati yang tepat.
Dan bahwasanya Allah tidak salah menepatkan hati untuk Ukhti, kan Ukhti baik
hati. (Zuli memeluk Iffa dan membisikkan nasihatnya)” Zuli memberi motivasi
berharga kepada Iffa.
Dengan menyunggingkan senyum
manisnya,“Udahan ah dandannya, jazakillaahu
khair ya ukh atas nasihatnya. Semoga Ukhti juga mendapat yang Allah
pilihkan. Ayuk segera berangkat tinggal sepuluh menit lagi acaranya dimulai
lho…”
“Aamiin. Wa jazakillaahu khair ukh. Sebentar ya, sebentar lagi…”
“Jangan cantik-cantik ah, nanti
si Irsyad salah tingkah lho…” seketika senyum dan pipi merah Zuli merekah atas
candaan Iffa.
“Ih apaan sih Ukh, yang galaukan
anti. Kalau mau galau jangan ngajak-ngajak dong. Udah, ayo berangkat sekarang
aja.” Jawabnya dengan candaan yang mematikan.
Cuma senyum yang diberikan Iffa
karena memang benar yang sering galau adalah dirinya.
Di sekolah pertemuan Ihsan dan
Iffa tidak bisa dihindarkan. Ihsan yang jarang senyum, hari itu dia
menunggingkan senyum kemudian menundukkan kepalanya. Tapi tidak ada balasan
dari Iffa, Zuli yang ada didekatnya selalu mengingatkan tanpa henti. Sesekali
malah Iffa yang mengingatkan Zuli, “Jagalah hati, jagalah cinta suci Ukh,” ketika
dirinya melihat Zuli mencuri pandang dengan Irsyad, sahabat Ihsan. Ya, mereka
dua saling mengingatkan.
Tiba saatnya pengumuman bagi
siswa dengan nilai kelulusan paling tinggi hingga kategori peringkat ketiga.
Panggilan pertama untuk peringkat ketiga. Tidak ada yang mengira sebelumnya
setelah dipanggil dengan dada dan tubuh yang bergetar hampir seluruh anak-anak
kelas dua belas yang “didemisioner”. Peringkat tiga didapat oleh anak Rohis
yang cukup terpandang yakni Irsyad.
“Peringkat dua didapatkan oleh seseorang
yang sering mengisi kejuaraan-kejuaraan akan tetapi untuk kali ini sepertinya
kurang beruntung karena hanya menempati posisi dua. Siapa dia ?” nada yang
semangat digemborkan oleh MC acara perpisahan itu. Dilanjutkan lagi dengan
menaikkan suaranya,”Nu…rul La…tifaaah…”. Mendengar hal itu kaget seketika oleh
Iffa , namanya dipanggil sebagai peringkat kedua. Seketika ia memeluk Zuli yang
ada disampingnya. “Alhamdulillaah wa syukrillaah, Ukh saya dapat peringkat
dua.”menetes air matanya karena haru dan bahagia yang tiada terkira. Tidak
seperti yang disampaikan MC bahwa dia kurang beruntung, padahal dia sangat
beruntung sekali bisa dapat peringkat dua. Langkahnya anggun ketika dipanggil
ke podium dan semua mata terkesima itu pasti.
Berdiri di podium diperingkat 2
, sebelahnya ada Irsyad dengan jarak podium peringkat 1 yang masih kosong.
Tinggal siapa yang akan mengisi podium peringkat pertama itu. MC sudah
bersiap-siap menggelegarkan aula sekolah SMA itu dengan suaranya yang keras
ditambah lagi dengan microphone yang digunakan. “Peringkat 1 yang tidak bisa
ditebak sebelumnya oleh seluruh jajaran warga sekolah, bagai singa yang
akhirnya menunjukkan taringnya, siap menerkam. Siapa dia ?” kata-kata MC
membuat penasaran semua yang hadir. Dilanjutkannya,
“Adalah Muhammad Ih…san Zaqi…”. Seketika bergemuruh karena memang
tidak disangka-sangka.
Ihsan sujud syukur menjadikan yang melihat bertambah bangga. Sosok
yang dikenal sangat santun, sholih, rupanya telah menampakkan taringnya.
Kemudian berjalan menuju kedepan menuju podium. Disalami dan dipeluk Irsyad,
sahabatnya yang menempati podium peringkat 3. Kemudian bergetar hebat saat
memberi selamat kepada Iffa. Jelaslah, karena Iffa adalah sebenarnya sosok
dikaguminya. Hanya dia, Irsyad, dan Allah yang tahu.
“Selamat Ukhti, semoga membawa keberkahan ilmu yang anti
dapatkan.”
“Insyaaallaah Akh Ihsan. Antum juga.” Ucapnya terbata-bata dan
mendadak.
Dilanjutkan Ihsan naik dipodium peringkat 1, ditengah diantara
Irsyad dan Iffa. Semua yang melihat sangat senang dan terlena pada meriahnya
acara perpisahan itu tapi tidak untuk Ihsan dan Iffa yang sedang dilanda asmara
dan tidak bisa mengekspresikannya. Tersiksa.
Semua acara dalam perpisahan telah selesai. Tinggal waktu pulang.
Saat pulang, dengan memberanikan diri seorang Ihsan menemui Iffa. Dari belakang
Iffa, Ihsan yang ditemani Irsyad, memanggil Iffa dengan nada khas lembutnya.
“Ukhti Iffa, Assalaamu’alaikum.”
“Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaah Akh Ihsan. ‘Afwan ada apa ya
akh ?”
“’Afwan, saya cuma mau tanya. Tapi sebelumnya selamat atas
prestasi yang ukhti capai” Ucap seorang Ihsan yang jarang berhadapan dengan
sosok perempuan. Dia salah tingkah. Tepatnya keduanya salah tingkah.
“Iya tadi kan udah selamatnya.” Iffa keceplosan memotong bicara
Ihsan.
“Iya ukh. Eh… kita sambil jalan saja ya.”
Mereka berempat berjalan bersama saat pulang. Dua sahabat setia,
Irsyad untuk Ihsan dan Zuli untuk Iffa. Iffa yang sedari tadi malu karena tidak
pernah samasekali dekat dengan Ihsan. Sebegitu dekat bahkan jalan bersama
walaupun tidak berdua.
“Ukh, setelah ini ukhti mau kuliah dimana ?” tanyanya Ihsan kepada
Iffa.
“Insyaaallaah di Universitas Sebelas Maret Solo akh, biar deket
dan bisa sering pulang, tidak enak membuat orangtua terlalu khawatir kalau
kuliah jauh-jauh, apalagi perempuan satu-satunya. Saya ingin orangtua saya juga
tentram memikirkan saya.” Jawabnya Iffa yang agak mulai terbuka dengan situasi
seperti ini. Ditambahkannya lagi,”Kalau antum akh ?”
“Insyaaallaah saya mau ke Aceh, Universitas Syah Kuala. Saya ingin
jauh dengan orangtua saya.bukan karena tidak sayang kepada mereka tapi saya cuma
ingin mandiri, semandiri-mandirinya. Orangtua pun sudah menyetujui malah
mendukung saya sepenuhnya.”
“Jauh banget akh,” terkejut ketika mendengar itu. Agak lama diam,
Iffa menarik napas panjang lalu mengatakan,”Bagus.” Dengan nada yang agak
dipaksakan. Dua sahabat dari keduanya tersenyum saja mendengar percakapan
mereka. Dan terlalu nampak bahwa ada mimik muka sedih dimata dan wajah cantik
Iffa.
Berhenti didepan kos Iffa dan Zuli, mereka berdua berpamitan.
“Mari akh, kita pulang dulu. Assalaamu’alaikum.” Zuli berpamitan sekaligus
mewakili Iffa.
“Wa’alaikumussalaam warahmatullaah.” Jawab Ihsan dan Irsyad
serentak.
Dua bidadari itu membalikkan punggung, meninggalkan dua ikhwan
yang sempat menemani mereka berdua. Agak jauh tiba-tiba Ihsan memanggil Iffa,
“Ukh Iffa, tunggu sebentar.”
Iffa menoleh kearah Ihsan yang memanggilnya. Ikhwan itu
mendekatinya dengan berlari. Terasa panas dingin dihatinya, padahal jika
dilihat oleh orang luar sebenarnya itu hal yang biasa. Tapi mungkin inilah
cinta yang membuat segala yang biasa menjadi tak karuan. “Iya, ada apa akh?”
“Insyaaallaah saya minggu depan terbang ke Aceh. Semoga kelak
ukhti tidak lupa dengan saya. Tetaplah seperti ini ukh. Semoga Allah menjaga
ukhti.” Kata Ihsan.
Deg…deg…deg, berdesir hatinya, dan merasuk ke matanya hingga sudut
matanya hampir-hampir mengalir airmata antara sedih dan bangga. Senyum Ihsan
kala mengucapkan kalimat perpisahan adalah senyum terakhir baginya. Entahlah
itu yang dirasakan. “Insyaaallaah, hati-hati akh.” Jawabnya lirih. Sebenarnya
Iffa sendiri berharap perpisahan itu diaingin bertanya kepada Ihsan ‘apakah
akhi mencintaiku?’. Tapi hal itu tidak sampai dibibirnya, cukup mulut hatinya
yang mengatakan.
Ihsan dan Irsyad berlalu meninggalkan sepasang bidadari. Iffa dan
Zuli segera pula masuk kosnya. Didalam kos, Iffa tidak kuat menahan tangis,
seketika memeluk Zuli.
“Ukh saya ndak kuat menahan rasa cintaku ini ukh. Apa saya katakan
saja pada dia kalau saya cinta dan jika dia cinta kami akan saling berkomitmen
kedepannya. Apa seperti itu saja ukh ?”
“Ukhti, percaya tidak jika jodoh sudah ditetapkan Allah dan tidak
bergeser ? ukhti sudah siap untuk menikah segera ? kalau sudah siap saya pasti
sudah bantu untuk memberi tahukan kok lewat seseorang biar bisa tahu apakah
Ihsan mau melamar ukhti dalam waktu-waktu ini.” tanyanya lembut tapi ada
prinsip ketegasan didalamnya.
Hanya diam, tidak ada jawaban. Dilanjutkan lagi nasihatnya, “Jaga
hati ukh, maka engkau akan mendapatkan hati. Jaga cinta engkau akan mendapatkan
cinta. Allah mengetahui siapa yang membutuhkan pertolongan untuk hambanya.
Sekarang pertanyaannya, apakah kita benar-benar hamba-Nya. Jika iya Allah akan
menolong dengan skenarionya, entah sekarang atau kapan. Allah maha mengetahui
sedangkan kita tidak. Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Pun
sebaliknya.”
“Ibu belum ridha saya menikah. Beliau ingin saya belajar dulu dan
memperbaiki dan menata diri. Beliau bilang jika ingin segera menikah maka akan
dicarikan calon. Tapi saya bilang sudah punya calon. Lalu dia bertanya apakah
saya pacaran,saya jawab tidak. Apakah saya atau dia sudah menyatakan cinta dan
saling berkomitmen. Saya diam.” Jelasnya kepada Zuli.
“Berarti ukhti belum siap. Benarkan ?”
“Iya.”
“Jadi lupakan dan perbaiki diri. Allah akan menolong hamba-Nya
kok.”
***
Jum’at pagi Iffa, Zuli, dan kawan-kawan yang telah lulus
berpamitan kepada adik-adik kosnya. Hari itu perpisahan yang berlinangkan
airmata. Apalagi Zuli dan Iffa, yang dianggap teman-temannya sebagai saudara
kembar, walaupun tidak kembar. Iffa yang
minggu depan ke Solo, sedangkan Zuli akan ke Makasar kuliah sekaligus
menikah dengan jodoh yang diimpikannya walaupun dia tak pernah menjalin
hubungan apa-apa, Irsyad. Rupanya Irsyad datang ke keluarga Zuli seminggu
sebelum ujian nasional, untuk melamarnya. Secara dramatis orangtuanya mampu
diyakinkan oleh sahabat Ihsan itu. Semuanya sudah diceritakan tadi malam oleh
Zuli sendiri sebagai penguat Iffa menghadapi perasaannya.
“Ukh selamat yah, anti mendapat sosok yang dimata anti sendiri
adalah sosok yang hebat. Semoga dikaruniai berkah dari Allah. Barakallaah.”
Sambil senyum sindiran Zuli menjawab,”Iya , semoga anti juga
mendapatkan Ihsan yang didamba.”
“Ih… apaan sih.” Pipinya memerah.
“Aamiin dong ukh, didoakan kok malah gitu. Hehehe…”
“Aamiin…”
***
Di Aceh , selama setahun Ihsan kuliah, dia merasa sudah saatnya
mencari pendamping. Hal itu sudah bisa terbaca oleh ustadznya, Ustdaz Amir.
hingga pada suatu hari dia ditawari secara pribadi oleh ustadznya tersebut
untuk menikah dengan keponakannya yang ada di Jawa, tepatnya di Semarang. Dia
sempat menolak, tapi Ustadz Amir masih merekomendasikan. Akhirnya Ihsan mau
menerima, dia berfikir bahwa dia masih mencintai Iffa. Kabar terakhir dia
mendapat kabar dari Irsyad kalau Iffa dilamar seorang ikhwan dari Solo. Dari
situlah dia menerima tawaran ustadznya untuk penawar hati yang terluka
sekaligus memang seharusnya dia memenuhi kebutuhan menikahnya segera. Mungkin
berjodoh.. “Semoga ini adalah jodoh yang Allah berikan.” Do’anya.
Esoknya hari Sabtu karena tidak ada kuliah dia meluncur ke Banda
Aceh dengan Kijangnya hasil dari bekerja keras di Aceh berbisnis percetakan dan
marchendise. Dia mengatakan kepada ustadznya dua hari kedepan akan minta
berta’aruf dengan pilihan ustadznya. Di rumah ukuran sekitar seratus meter
persegi dihuni oleh lima orang, Ustadz Amir, istrinya Ustadzah Maimunah, Syakir
anaknya yang paling kecil masih SMA, dan sepasang akhwat kembar, teman satu
kampusnya di Syah Kuala, Fatimah dan Hafshah.
Ustadzah Maimunah
membawakan dua cangkir teh, satu piring kurma, dan tiga toples makanan kecil.
Setelah mempersilahkan Ihsan, Ustadzah duduk di sebelah Ustadz Amir. Kemudian
pembicaraan serius mulai disampaikan oleh Ihsan.
“Ustadz, bismillaah saya berniat segera berta’aruf dengan pilihan
Ustadz.” Katanya dengan sangat serius.
“Alhamdulillaah Ihsan, semoga saya tidak salah memilihkan calon
untukmu. Kamu adalah anak yang saya cintai. Semoga keponakan saya sepadan
dengan antum. Kalau pun Fatimah atau Hafshaf tidak dilamar dilamar lebih dahulu
oleh temanmu kampus juga , pasti saya kasih ke antum.” Jawabnya dengan harapan
penuh kepada Ihsan.
Mendengar jawaban ustadz dia tersenyum kecil atas ucapan ‘Kalau
pun Fatimah atau Hafshaf tidak dilamar dilamar lebih dahulu oleh temanmu kampus
juga , pasti saya kasih ke antum’. Dia menimpali, “Kalau boleh tahu siapa yang
melamar Fatimah dan Hafshaf, ustadz ?”
“Itu rahasia Ihsan. Tunggu saja undangan walimatul ursynya.
O…ya… antum siap terbang ke Semarang
Jum’at minggu depan ? ya… nanti biaya saya tutup, itung-itung shadaqah dari
saya karena saya yang menawarkan. Bagaimana ?”
“oh … insyaaallaah saya siap ustadz. Untuk transportnya saya
terima kasih ustadz. Semoga Ustadz dan keluarga dilimpahkan berkah dan diganti
dengan riski yang lebih baik.”
“Aamiin. Namanya Nur. Ini alamatnya, nanti bilang saja dari Aceh,
orangtuanya sudah mengerti.”
“iya ustadz, saya mengerti. Jazakumullaahu khair.”
“ wa jazakallaahu khair. Semoga berhasil.”
“Aamiin , kalau begitu saya pamit dulu Ustadz.”
“Iya silakan.”
“Assalaamu’alaikum warahmatullaah”
“Wa ‘alaikumussalaam warahmatullaahi wabarakaatuh.” Jawaban salam
dari Ustadz Amir dan istrinya serentak.
***
Sampai di Semarang, Bandara Ahmad Yani dia melihat sobekan kertas
dari Ustadz Amir berisi alamat yang dituju. Tertulis ‘Jalan Dorang No. 83
Semarang’. Pesan taksi meluncur ke alamat yang dituju. Sebelumnya dia mampir ke
Masjid Agung Jawa Tengah untuk menunaikan shalat Jumat bersama supir taksi yang
dikenalnya sebagai supir shalih ketika selama diperjalanan hanya ada
diskusi-diskusi pemikiran Islam. Dalam hatinya ‘wow itu Sopir Keren’. Namanya
Pak Khalis. Usai shalat Jumat perjalanan dilanjutkan.
Akhirnya sampai juga ke alamat yang diimpikan. Dadanya bergetar
sebelum dia keluar dari taksi. Dia keluar, sambil melihat keadaan sekitar.
Rumah sederhana yang sangat bersih dan dari sisi warna adalah rumah yang mudah
untuk dikenali.
“Maaf Pak Khalis bayar nanti sekalian ya Pak. Saya pesan taksi bapak
lagi untuk pulang. Nanti saya tambah. Sekalian Bapak, temani saya ya Pak sambil
didoakan saya mau melamar salah satu anggota rumah ini.” terangnya ke Pak
Khalis.
“(dengan senyuman yang menenangkan) iya nak.”
Keduanya menuju pintu yang tertutup dan ada stiker bertuliskan
salam dan doa masuk rumah. Pintu diketuk,”Tuk,tuk,tuk… Assalaamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalaam warahmatullaah. Eh bapak, kok sudah pulang
bawa tamu lagi.” Seorang ibu berjilbab lebar bukan menatap tamu yang memberi
salam tapi malah menatap Pak Khalis dengan tatapan yang seperti sudah tidak
asing lagi.
“Bapak ? Tamu?” suara lirihnya
atas pernyataan bingungnya.
“Ayo nak, kebetulan ini rumah
bapak.” Kata pria yang baru dikenalnya dengan ramah mempersilahkan masuk.
“Jadi bapak ini tuan rumahnya.
Kenapa tidak bilang dari tadi. Wah saya jadi malu sendiri pak.”
“Tidak usah malu nak. Bapak kan
diluar sebagai sopir dan didalam sini sebagai tuan rumah. Itu sama saja nak
Ihsan tidak usah berlebihan.”
Dengan senyum yang tulus, Ihsan
mencoba masuk ke hal yang serius. Pak Khalis pun faham apa yang diinginkan
tamunya itu. Istri Pak Khalis datang membawakan dua gelas besar es susu putih
dan suguhan makanan-makanan.
“Ehmm… Maksud kedatangan saya
kemari karena saya dari Aceh pak.” Ujarnya sesuai sandi yang diterima dari
ustadz Amir.
“O… iya saya faham. Kang Aris,
ustadz nak Ihsan, kakak saya itu sudah mengabari. Saya faham dan sangat percaya
dengan beliau. Saya ridho jika Beliau sendiri yang memilihkan jodoh anak saya.
sekarang yang menjadi persoalan kira-kira anak saya mau menerima lamaran nak
Ihsan atau tidak. Karena anak saya sudah menolak tiga lamaran dalam setahun
ini. Pertama dari teman satu harokinya di kampus. Kedua ustadz muda dari
Surabaya. Terakhir rekomendasi anak pengasuh pondok pesantren daerah ini.”
jelas Pak Khalis.
Ihsan mendengarkan lekat-lekat.
Tubuhnya menjalar perasaan pesimis akibat dari ‘menolak tiga lamaran’.
Sebenarnya apa yang diinginkan perempuan ini. begitu tinggikah dia hingga
menolak orang-orang yang tidak biasa itu. Ah… segera ditepis saja perasaan itu
jauh-jauh. Jodoh ditangan Allah.
Walaupun sudah ditepisnya, dada
yang berdegup kencang sekali masih belum mau normal kembali. Mungkin inilah
sensasi ‘melamar’ anak orang.
“Begini nak, nanti sore
insyaaallaah anak saya pulang dari Solo. Antum bisa istirahat dulu disini,
pasti capek.” Tawaran dari Pak Khalis.
“Anak bapak belum tahu masalah
ini ?” tanya Ihsan.
“Sudah. Tapi dia kan kuliah di
Solo. Hari ini masih masuk kuliah.”
“kuliah dimana pak?”
“UNS.”
Mendengar UNS Ihsan menerawang
jauh masalalunya, bukankah Iffa juga di UNS ? tapi sekarang bukanlah saatnya
memikirkan gadis yang dikaguminya yang sekarang pasti bahagia dengan yang lain.
“Saya ke masjid saja pak. Saya
mau merasakan suasana masjid disini.” Kata Ihsan kepada Pak Khalis.
“O gitu nak. Tidak apa-apa.
Nanti nak Ihsan keluar rumah, belok kiri ada gang kedua masuk aja sampai ketemu
mesjid dikiri jalan.”
“Iya pak, terima kasih. Saya
pamit ke mesjid dulu. Assalaamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalaam warahmatullaah.”
***
Pulang bersama dari masjid usai
shalat Ashar terasa sekali Pak Khalis dan Ihsan sudah klop. Sampai dirumah
Ihsan kembali duduk diruang tamu. Kini Istri Pak Khalis telah menyiapkan makan
besar untuk makan bersama. Percakapannya diakhiri dengan makan siang mendekati
sore. Semua anggota makan bersama di satu meja. Pak Khalis, istrinya, Amri
putra kedua Pak Khalis, dan Ihsan. Sebenarnya kurang satu lagi tapi belum
hadir, tentunya dialah yang kehadirannya paling ditunggu.
Makan baru saja dimulai
tiba-tiba dipintu ada suara yang pernah didengarnya.
“Assalaamu’alaikum.” Suara Nur
putri Pak Khalis yang akan dilamar Ihsan.
“Wa’alaikumussalaam
warahmatullaahi wabarakaatuh.” Jawab serentak dari mereka yang berhenti sejenak
dari lahapnya makan.
Dalam hati Ihsan merasa pernah
mendengar suara itu. Dia ingat, itu sangat mirip dengan suara Iffa. Gumamnya
dalam hati “Itu adalah Iffa. Tapi rumahnya kan di Kudus. Toh dia kan sudah
menikah. Sedangkan Nur rumahnya di Semarang dan menolak tiga lamaran lagi. Nur
kan bercadar, sedang Iffa tidak. Ya bedalah. ” sambil senyum tipis karena
membandingkan Iffa dengan Nur. Kepercayaannya semakin bangkit.
“Itu Nur , nak. Yang kita
tunggu-tunggu.” Kata Pak Khalis kepada Ihsan. “Bu, Nur setelah Shalat terus
suruh kesini sekalian.” Ujar pak Khalis kepada istrinya. Segera istrinya
mengiyakan. Dilanjutkannya memberesi makan yang sudah selesai, dibantu Amri.
Setelah diberesi, Nur pun sudah
selesai shalat. Nur menuju ke ruang tamu bersama ibunya. Dia kaget bukan
kepalang karena mengetahui siapa yang datang. Yaitu pujaan hatinya ketika SMA.
Dadanya bergetar sama ketika asmara tumbuh pertama kali bahkan bisa dibilang
yang sekarang ini lebih hebat lagi tapi dia mampu menguasai dirinya.
Disisi lain, Ihsan yang sejak
tadi salah tingkah ,duduk sambil menundukkan pandangannya ketika Nur datang.
Nur duduk disebelah Ibunya. Meja yang dikelilingi enam kursi, dua pang pada
sisi panjang meja dan sisanya di sisi lebar meja. Nur dan ibunya duduk dikursi
bagian sisi panjang meja sedangkan Pak Khalis dan Ihsan berada di kursi bagian
sisi lebar meja. Nur duduk diantara ibu dan bapaknya sedangkan Ihsan duduk
dekat ibu Nur.
“silakan nak, sampaikan apa yang
perlu disampaikan.” Bicara Pak Khalis kepada Ihsan dengan serius dalam suasana
yang tegang.
“Bapak Khalis yang saya hormati,
saya tegaskan lagi mengapa saya datang jauh dari Aceh, tidak lain satu tujuan
yakni saya dari Aceh.”
“Lalu mengapa nak Ihsan pilih
Nur anak saya ?”
“Saya tidak tahu pak, semoga
inilah yang dinyatakan Allah dalam ihtiar saya. dan semoga Ustadz Amir tetaplah
menjadi ustadz yang memilihkan kepada saya bukan dengan perhitungan.”
“Nur, hari ini seorang pemuda
datang dari Aceh untuk mencoba mengambil amanah bapak terhadap kamu Nur.
Bagaimana tanggapanmu Nur ? ” tanya pak Khalis kepada Nur.
“Kita sesuaikan sunnahnya bapak.
Saya ingin berta’aruf dulu sebelum saya mengatakan ya atau tidak. Saya ingin
mengajukan beberapa pertanyaan.”
“Silakan ukhti.” Jawab segera
dari lisan Ihsan.
“Apakah sebelumnya antum pernah
mengkhitbah yang lain ? Jika saya rasa ridho dengan jawaban-jawaban antum maka
saya akan membuka cadar dan antum berhak menentukan pilihan terhadap saya.
Tetapi jika saya tidak membuka cadar maka itu penolakan saya.” selidiknya
apakah Ihsan yang dulu tetap konsisten terhadap sandi yang dibuatnya sendiri
‘Tetaplah seperti ini ukh. Semoga Allah menjaga ukhti.’.
“Belum sama sekali.” Jawab Ihsan
dengan mantap.
“Mengapa ? ya ini kan ta’aruf
jadi memang harus benar-benar terbuka.”
“Baik.” Sejenak menghela nafas.
Orangtua Nur hanya seperti
patung melihat mereka berdua bicara serius. Ihsan yang mengambil nafas panjang
melanjutkan kalimatnya,”Dulu ketika SMA saya pernah mengagumi seorang akhwat
yang bagi saya dia amat shalihah. Saya mengharapkan kelak akan menjadi pelipur
kehidupan di dunia maupun akhirat. Sepertinya dia pun punya perasaan yang sama
dengan saya, tapi kami tidak pernah tahu benar atau tidaknya. Saya pernah
memberi suatu kode bahwa saya berharap dia akan menunggu saya kelak. Tapi saya
mendapat kabar bahwa dia telah dilamar teman satu organisasinya. Mungkin sekarang sudah menikmati kehidupannya.
Sudahlah itu masa lalu. Dan sekarang saya berkomitmen dengan pilihan saya yang
sekarang. Saya percaya terhadap takdir yang ditulis di Lauh Mahfudz.” Jelasnya,
yang hampir-hampir bendungan di mata Ihsan jebol.
“Siapa namanya ? saya cuma ingin
tahu saja.”
“Nurul Latifah.”
Semuanya kaget mendengar nama
itu terlebih lagi keluarga Nur.
Sambil membuka cadarnya, Nur
atau Iffa berlinang air matanya. “Ini Iffa akh. Iffa belum pernah menerima
laki-laki seorang pun, akh.” Suaranya terbata-bata karena airmata yang begitu
derasnya. Sontak Ihsan yang mendengar dan melihat Nur yang membuka cadarnya
menjadi sosok Iffa terkejut, hanya bisa memuji syukur dan meneteskan
airmatanya. Begitu derasnya dua orang yang saling mengasihi itu menumpahkan bah
airmatanya.
Ucap syukur dari Ihsan tiada
henti. Pak Khalis dan istrinya begitu takjub dengan skenario Allah. Mereka pun
tiada henti-hentinya mengucap syukur. Sekarang giliran Pak Khalis menyakan
kepastian Ihsan.
“Sekarang giliran nak Ihsan. Nur
sudah membuka cadarnya, sekarang giliran kamu nak .” katanya kepada Ihsan.
“Saya minta semuanya harus
berlapang dada dengan keputusan saya.”
Suasana kembali menjadi tegang.
Yang awalnya adalah pertemuan dua kekasih dalam hati sekarang mencekam atas
kalimat Ihsan itu. “ Saya tidak tahu menahu tentang Nur.”
Seketika airmata dan isak tangis
Nur bertambah deras. Kekasih yang ditunggunya rupanya tidak mau menerimanya.
Suasana hening sebentar hanya tangisan Nur. Lalu dengan hal yang tidak terduga,
Ihsan menambahkan bicaranya yang memang disengaja diputus tadi. “Saya tidak
tahu menahu tentang Nur. Saya hanya tahu Iffa dalam hati saya. saya akan
menikahi Iffa. Seorang akhwat yang pernah saya temui di SMA. ”
Nur yang mendengar itu juga
semakin bertambah tangisnya sambil memuji syukur kepada Allah,”Allaahu akbar,
Subhanallaah wal hamdulillaah.” Dia memeluk ibunya dengan erat.
Ihsan melanjutkan
lagi,”Bagaimana saya menolak , sedangkan saya menunggu. Kalau bapak tidak
keberatan besok saya akan menikahi Iffa.” Tegasnya kepada Pak Khalis yang tidak
mau kehilangan kedua kalinya.
“Bagaimana Nur pendapat kamu ?”
tanya bapaknya.
“Saya tidak bisa menolak
terkabulnya doa yang selalu terpanjat , bapak.”
“Wah saya harus segera
menghubungi pihak KUA ini.” kata Pak Khalis.
Suasan yang semula penuh
bermacam-macam perasaan yang tertuang kini hanya bahagia dan menunggu bahagia
yang selanjutnya. Barakallaah lakuma wa baraka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma
fii khair.
Terlabuhkan sudah…lelah ini
Tersandarkan
sudah…rindu hati
Terima
kasih Yaa Rabbi…atas pernikahan ini
Belahan
jiwa lelah ku nanti…telah ku jumpai…
(Seismic : Terlabuhkan)
0 komentar:
Posting Komentar