21.09.00 -
KAJIAN,KISAH
No comments
Masa Pemboikotan
tersisolasi |
Akibatnya orang-orang musyrik kalang kabut dan
ditempa kebingungan ekstrim. Benar, jika mereka membunuh Rasulullah
–shallallaahu ‘alaihi wa sallam- maka mereka sadar akan terjadi pertumpahan
darah di Bumi Makkah. Sehingga makar pun berlanjut dengan cara yang lain.
***
Mereka berkumpul berunding untuk menyusun suatu kesepakatan guna mendepak kedua bani yang melindungi Rasulullah
–shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Akhirnya terjadi sebuah kesepakatan dalam
bentuk suatu Undang-Undang yang berisi : Larangan menikah, jual beli, bergaul,
mengasihi, memasuki rumah, berbicara dengan mereka, kecuali mereka menyerahkan
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam- secara suka rela untuk
dibunuh.Kemudian ditulislah oleh Baghidh bin Amir bin Hayim dan disepakati pula
Undang-Undang tersebut digantungkan ditembok Ka’bah bagian dalam.
***
Cadangan makanan mulai habis. Pemboikotan ini
benar-benar ketat. Orang-orang musyrik tidak membiarkan samasekali makanan
masuk ke tempat pengasingan Syi’ib Abu Thalib. Dikisahkan mereka (baca: bani
Muththalib dan Bani Hasyim) sangat kesusahan dalam makan, sehingga dedaunan,
rumput-rumput, bahkan kulit binatang yang sudah disamak mereka olah kembali dan
dimasak layaknya kulit binatang segar. Tak heran hingga kotoran yang keluar
menyerupai kotoran binatang.
Memang ada makanan yang dimasukkan secara diam-diam .
mereka pula bisa membeli makanan saat bulan-bulan yang disucikan dari kafilah
dagang diluar Makkah, tetapi jika sudah didahului oleh tangan-tangan penduduk
Makkah harganya melambung tinggi dan mereka tidak sanggup untuk membelinya.
Pernah Hakim bin Hizam (keponakan Khadijah –radhiyallaahu
anha-) mengirim gandum ke bibinya, dicegat oleh Abu Jahal untuk mencegahnya.
Hingga datang Abul Bakhtari yang melerai keduanya dan akhirnya gandum bisa
sampai ke Khadijah –radhiyallaahu anha-. Bersabarlah wahai kedua Bani pembela
Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-.
Dalam keadaan seperti ini pun dakwah Rasulullah
–shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan kaum muslimin tidak surut ketika musim
haji. Mengapa bisa ? ya, disaat musim haji(baca: bulan-bulan suci)
Undang-undang tidak berlaku karen tidak diperbolehkan pada bulan suci terjadi
pembunuhan dan perselisihan. Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
menemui orang-orang yang haji dan mendakwahkan Islam disamping itu selalu
diikuti oleh orang-orang kafir terkhusus Abu Jahal dan Abu Lahab sebagai konter
apa yang didakwahkan Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Hingga bulan
suci habis Undang-undang berlaku kembali.
***
Terasa menyedihkan kedua bani pembela Rasulullah
–shallallaahu ‘alaihi wa sallam- ini. Sudah genap tiga tahun hidup dalam
pemboikotan. Dalam sisi ini sebenarnya kaum Quraisy terbagi menjadi dua
golongan dalam pemboikotan yakni setuju dan tidak setuju. Sehingga berkumpullah
mereka yang tidak setuju terhadap pemboikotan ini. Hisyam bin Amr dari bani
Amir bin Lu’ay yang sering membawakan makanan dan saling berhubungan dengan
bani Hasyim pada malam hari, menemui Zuhair bin Abu Umayyah Al-Makhzumi (salah
satu cucu Abdul Muththalib).
“Wahai Zuhair,
engkau enak-enakan menikmati makanan dan minuman sementara engkau juga tahu
yang menimpa paman-pamanmu.” Sindiran yang dilontarkan Hisyam bin Amr.
“Celakah engkau.
Apa yang bisa kuperbuat sedang aku sendirian ? demi Allah , andai ada dukungan
undang-undang sudah tentu aku batalkan.” Dengan agak marah, Zuhair tidak
terima.
“Wahai Zuhair,
engkau sudah mendapatkannya.”
“Siapa?”
“Aku sendiri.”
“Kalau begitu
cari orang ketiga untuk bergabung bersama kita!”
Dengan cara yang sama Hisyam menemui Al-Muth’im bin
Adi.
“Celaka engkau wahai Hisyam. Apa yang bisa kuperbuat
sementara aku sendirian ?”. Sama dengan Zuhair, Al-Muth’im puntidak terima atas
ejekan Hisyam.
Dengan puas, Hisyam menimpali,“Engkau mendapatkan
orang kedua. ”
“Siapa?”
“Aku.”
“Kalau begitu ayo cari orang ketiga!”
“Aku sudah melakukannya.”
“Siapa?”
“Zuhair bin Abu Umayyah.”
“Belum cukup. Cari lagi orang keempat agar bergabung
dengan kita.”
Dengan cara yang sama pula Hisyam pergi menemui Abul
Bakhtari bin Hisyam.
“Adakah oranglain yang mendukung rencana ini?”. Tanya
Abul Bakhtari.
“Ya ada.”
“Siapa?”
“Zuhair bin Umayyah, Al-Muth’im bin Adi, aku, dan
engkau.”. penjelasan Hisyam.
“Cari orang kelima.”
Lalu dia menemui Zam’ah bin Al-Aswad bin
Al-Muththalib bin Asad, berbicara dengannya, menyebutkan kekerabatan dan
hak-hak mereka.
“Adakah seseorang yang mendukung rencanamu ini?”.
Telisik Zam’ah.
“Ada.”, Jawab Hisyam dengan mantap. Lalu dia
menyebutkan orang-orang yang telah diajaknya. Lalu disusunlah rencana untuk
membatalkan undang-undang itu bersama.
“Aku yang memulai dan aku pula yang akan pertama
berbicara.”, kata Zuhair.
***
Mereka pergi ketempat yang biasa digunakan pertemuan keesokan
harinya. Dengan menggunakan jubah, Zuhair melakukan thawaf tujuh kali
mengelilingi Ka’bah, lalu berdiri menghadap ke orang-orang seraya berkata,”Wahai
semua penduduk Makkah, kita bisa menikmati makanan dan mengenakan pakaian,
sementara Bani Hasyim binasa, tidak diperkenankan berjual beli. Demi Allah, aku
tidak akan duduk kecuali setelah Undang-undang yang zhalim dan kejam itu
dirobek.”
Abu Jahal yang berada dipojok masjid berkata,”Engkau
pendusta. Demi Allah, Undang-undang itu tidak boleh dirobek.”
“Engkau jauh lebih pendusta. Sebenarnya kami pun dulu
tidak rela Undang-undang itu ditulis.”, Zum’ah tiba-tiba menimpali.
“Benar apa yang dikatakan Zam’ah. Dulu kami pun tidak
menyetujuinya.”, Abul Bakhtari menambahkan.
“Kalian berdua benar,”kata Muth’im bin Adi,”dan siapa
yang berkata selain itu dusta. Kami menyatakan kepada Allah untuk membebaskan diri
dari Undang-undang itu dan apa yang dituliskan.”
“Pasti hal ini sudah diputuskan malam tadi dan kalian
berembug ditempat terpencil.” Kata Abu Jahal.
Saat itu Abu Thalib hanya duduk di pojok masjid. Dia
merasa perlu menemui mereka, karena Allah telah mengisyaratkan kepada Rasul-Nya
perihal undang-undang ini, yakni Allah mengutus rayap untuk memakan papan
undang-undang tersebut. Ya benar, beliau –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-
memberitahukan hal itu kepada pamannya. Lalu Abu Thalib hendak memberitahukan
kepada mereka apa yang dikabarkan keponakannya tersebut. Dia menyampaikan hal
tersebut bahkan berani menjaminnya, “Jika dia (Rasulullah) bohong maka kita
biarkan apa yang ada diantara kalian dan dia. Namun jika dia benar maka kalian
harus berhenti memboikot dan berbuat semena-mena terhadap kami.”.
“Engkau adil.”, kata mereka.
Apa yang dikatakan Abu Thalib didengar dan disetujui
oleh orang-orang dan Abu Jahal sendiri. Lalu Muth’im bangkit menghampiri Undang-undang itu dan
siap merobeknya. Tercengang, dia melihat rayap memakan papan tersebut kecuali
penggalan tulisan “Bismika Allaahumma” dan setiap bagian yang ada kata “Allah”,
juga tidak dimakan rayap.
***
Mu’jizat yang Allah kirimkan telah menyelamatkan
Rasul-Nya dan pengikutnya dari panjangnya pemboikotan. Mereka menyaksikan
tanda-tanda nubuwah dari Rasulullah, tetapi
mereka tetap ingkar seperti yang diberitahukan Allah.
2. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda
(mukjizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus
menerus". (Al-Qamar : 2)
***
Sumber: Sirah Nabawiyah karangan
SyaikhShafiyurrahman Al-Mubarakfuri
0 komentar:
Posting Komentar