07.20.00 -
KAJIAN
No comments
Menggugat Diktum Bebas Nilai dalam Sains
nilai dan sains |
Pernyataan-pernyataan bahwa
sains telah menghadirkan kemajuan kehidupan sehingga tidak perlu direvisi,
sains tidak ada sangkut pautnya dengan keyakinan apalagi agama, bahwa sains
berlaku universal melampaui batas-batas keyakinan, budaya, agama dan bangsa
merupakan pernyataan-pernyataan yang kebenarannya prematur. Ungkapan-ungkapan
lain yang semakna hanya menunjukkan bahwa hasil cerapan terhadap perkembangan
sains itu sama sekali tanpa diikuti sikap kritis, nilai sikap yang menjadi
diktum utama dalam sains itu sendiri.
Dalam sebuah demokrasi yang
ideal, tentu saja fair bila diktum utama sains yaitu memandang segala sesuatu
dengan sikap skeptis (penuh keraguan) kemudian dipinjam untuk melakukan
otokritik terhadap sains itu sendiri: memandang sains dengan penuh keraguan dan
bahkan curiga. Sikap skeptis ini diwujudkan dalam tesis utama yang menjadi
bingkai seluruh naskah ini: sains adalah produk sosial. Tesis ini begitu
penting sebab ia memberikan aksentuasi yang kuat tidak hanya tentang proses
kelahiran dan perkembangan sains, namun juga dalam arah dan penggunaan sains.
Sebab, penyataan bahwa sains itu bebas nilai berimplikasi bahwa sains juga
memiliki sifat netral dan universal. Netral mengandung arti bahwa sains tidak
berpihak pada siapapun dan tidak terkait dengan kepentingan apapun, baik
politik, ekonomi maupun sistem keyakinan. Universal memiliki makna bahwa sains
bisa berlaku di mana saja dan kapan saja, tidak terikat pada batas-batas
geografi, sosial, budaya dan juga sistem keyakinan. Oleh karena itu, tesis ini,
sains adalah produk sosial, sekaligus menjadi pisau telisik dalam upaya demistifikasi
sains modern .
Selama ini, diktum bebas nilai
merupakan cara ampuh untuk membungkus sains sehingga ia nampak sebagai sebuah
konsep sakral yang tidak bisa dipertanyakan lagi kebenarannya kecuali dengan
jalan serupa yang dihalalkan oleh sains itu sendiri. Pada gilirannya, diktum
bebas nilai telah sukses memunculkan mitos-mitos mengenai sains sebagai model
ilmu yang paling andal, sepenuhnya rasional dan objektif. Karena itu upaya
demistifikasi merupakan ikhtiar untuk mengkritisi sains modern dan ia akan
menjadi kebutuhan utama dalam tahap awal wacana islamisasi sains.
Dari namanya saja, wacana
islamisasi sains sudah memberi kesan pasti ada yang salah dalam sains sehingga
perlu dilakukan proses islamisasi. Wacana islamisasi sains merupakan wacana
yang akan mendekonstruksi aspek-aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis
sains. Islamisasi sains tidak berarti menolak seluruh bangunan sains modern,
tapi ia akan berikhtiar membongkar dan membangun kembali konstruksi sains
modern agar selaras dengan keyakinan Islam.
Sains sebagai aktivitas sosial budaya
Pemahaman populer tentang sains biasanya berkisar di seputar kisah-kisah
hebat para jenius saintis dan hasil temuan-temuan mereka yang biasanya
dirangkum dalam formulasi bahasa matematis.
Dalam makna generiknya, sains harus dipahami sebagai upaya manusia untuk
mencari tahu tentang suatu fenomena. Jelas, upaya mencari tahu ini tidak
akan pernah lepas dari proses penafsiran manusia terhadap fenomena tersebut.
Dari sinilah muncul sistem pengetahuan yang terdiri dari objek pengetahuan,
metode dan model penafsirannya. Dalam proses mencari tahu itu, aktivitas utama
ialah aktivitas representasi yaitu saintis menafsirkan gejala-gejala alam yang
kemudian dimodelkan dalam bahasa sains (bahasa yang sekarang dianggap paling
komprehensif untuk ini adalah matematika).
Dengan demikian, eksistensi
sebuah objek pengetahuan sangat bergantung terhadap tafsiran dan wakilan
(representasi). Proses untuk menghadirkan eksistensi objek pengetahuan ini
tidaklah terjadi begitu saja secara objektif, seolah-olah saintis menemukan
sesuatu sedemikian rupa sehingga seakan-akan objek pengetahuan itu sudah ada
sebelumnya. Objek pengetahuan itu adalah hasil konstruksi tafsir saintis. Dan
aktivitas penafsiran merupakan aktivitas budaya yang selalu terpengaruh oleh
faktor kognitif dan faktor sosial. Dalam ungkapan ringkas Andre Linde (kosmolog
Rusia), “Ketika para saintis memulai pekerjaan mereka, mereka secara setengah
sadar terpengaruh oleh tradisi budaya mereka”. Dengan demikian,
nyatalah bahwa objek pengetahuan sebagai fakta dapat diciptakan oleh manusia
sehingga tidak menutup kemungkinan fakta dapat berada di tempat yang tidak
tepat. Ini berarti bahwa fakta dapat salah! Ini juga berimplikasi bahwa
eksistensi fakta-fakta (objek pengetahuan) itu sangat bergantung pada suatu
pandangan dunia yang dianut oleh saintis. Thomas Kuhn dalam The Structure
of Scientific Revolution (1962) menyebut pandangan ini sebagai paradigma. Sampai di sini, masihkah kita akan
menyebut sains itu bebas nilai?
Maka, dalam khazanah sains kita mengenal bahwa kaum Phythagorean telah
mereduksi segala sesuatu menjadi angka-angka dan Parmenides mereduksi segala
sesuatu menjadi ruang. Atau, kaum positivis yang telah mereduksi segala sesuatu
menjadi data-indra saja dan kaum materialis yang menyederhanakan segala sesuatu
menjadi sekedar materi belaka.
* * *
Objek pengetahuan (fakta) itu terasa nyata sebab ia berhubungan langsung
dengan sesuatu yang konkret dan melalui metode ilmiah perulangan realitas itu
bisa diproduksi kembali.
Proses untuk memproduksi kembali realitas-realitas itu dikenal sebagai uji
falsifikasi dalam tradisi sains. Proses uji ini kerap disebut juga sebagai
metode ilmiah ala Francis Bacon. Bacon merupakan orang pertama yang merumuskan
teori tentang prosedur induktif dengan sangat jelas. Prosedur ini memungkinkan
setiap orang untuk menarik kesimpulan dari setiap percobaan yang dilakukan
untuk diujkan dalam percobaan lain yang lebih lanjut. Apa yang disarankan Bacon ini sekaligus merupakan
serangan telak terhadap aliran-aliran filsafat tradisional. Pada gilirannya, semangat ini kemudian
merombak hakikat tujuan penelitian ilmiah. Sejak jaman kuno perjalanan ilmu
pengetahuan berujung pada pencarian kearifan lewat pemahaman terhadap tatanan
alam dan kehidupan yang harmonis dengan alam. Secara ringkas, dahulu ilmu
dicari demi keagungan Tuhan. Sejak Bacon, tujuan ilmu berubah menjadi
pengetahuan yang dapat digunakan untuk menguasai dan mengendalikan alam.
Sebagai seorang jaksa penuntut umum bagi Raja Charles I, Bacon dikelilingi
istilah-istilah yang penuh semangat tapi juga sangat kejam. Karena itu, dalam
metode peneltian empiris barunya itu, Bacon berpandangan bahwa alam harus
diburu dalam pengembaraannya, diikat dalam pelayanan dan dijadikan budak. Alam
harus dimasukkan ke dalam jeruji dan tujuan ilmuwan adalah mengambil rahasia
alam secara paksa. Dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, Bacon ternyata juga rajin
menggunakan metafora-metafora yang akrab di pengadilan. Pandangan Bacon yang
mengganggap alam layaknya wanita yang rahasianya harus diambil secara paksa
merupakan cermin sosio-budaya saat itu tentang praktik perlakuan terhadap
wanita dalam pengadilan-pengadilan tukang sihir. Inilah pengaruh sikap
patriarkhal (sebuah ‘nilai’ bukan?) yang telah menyusup ke dalam
metode ilmiah. Pandangan Bacon ini sekaligus juga melenyapkan konsep kuno
tentang bumi sebagai ibu yang menyusui.
Relasi sains modern-agama
Lacakan terhadap jejak-jejak kajian sains akan mengungkapkan fakta bahwa
gagasan tentang alam semesta, kelahirannya dan hukum-hukumnya pertama kali
muncul dari tradisi agama.
Indonesia, negeri yang kerap dilupakan dalam sejarah sains dunia, bisa
membuktikan lewat sisa-sisa monumen Candi Prambanan dan Candi Borobudur. Kedua
candi ini, meski berbeda agama, menunjukkan bahwa antara sains (dalam
pembicaraan ini mungkin bisa dipahami sebagai teknosains) dan agama keduanya
saling menganyam. Candi Prambanan merupakan pengejawantahan konsep-konsep
kosmologis Hindu dan Candi Borobudur merupakan manifestasi kosmologi Budha.
Kedua candi ini dibangun bukanlah tanpa tujuan. Keduanya menyimpan
ajaran-ajaran agama, bagaimana manusia hidup dalam tata konstelasi manusia-alam-langit,
petunjuk sitem pemerintahan dan yang tak kalah pentingnya ialah keduanya
sebagai mercusuar peradaban pada jamannya. Pada saat itu, dunia Islam –yang
kelak tumbuh sebagai raksasa peradaban– sedang menggeliat di belahan bumi yang
lain. Saat itu juga adalah tiga ratus tahun sebelum di Eropa bermunculan
katedral-katedral yang megah, di saat Eropa masih nyenyak dalam kegelapan
peradaban.
Candi Prambanan dan Borobudur merupakan paduan majemuk yang eksotis antara
arsitektur, teknik sipil, kosmologi, ajaran kitab suci dan pandangan hidup
manusia saat itu. Bila ditarik ke akarnya sebagai sebuah produk peradaban,
semua orang bisa menerima bahwa kedua candi ini merupakan hasil dari sains yang
berkembang saat itu. Dan kini, kita menyebut sains itu merupakan sains yang
hilang.
Jauh sebelum kedua candi ini, manusia-manusia di Yunani dan Mesir kuno,
juga telah membangun peradabannya dengan cara masing-masing. Bangunan Piramida
yang mempesona ternyata dibangun berkaitan dengan konsep kematian yang diyakini
saat itu. Demikian pula peradaban di Aztec dan Maya. Piramida serupa juga
didirikan demi melihat datangnya sang dewa, yang ternyata adalah bintang
Cirius.
Sayangnya, artefak-artefak sains dari peradaban-peradaban yang telah
disebutkan di atas tidak bisa banyak berbicara tentang sains itu sendiri.
Karena itu, untuk melakukan analisis bahwa sains adalah produk sosial di setiap
peradaban tersebut besar kemungkinan akan menemuni jalan buntu di tengah
proses.
Ketika peradaban Islam sedang meraksasa (700-1200 M), jamak diketahui bahwa
semangat para sainstis muslim saat itu digerakkan oleh keyakinan terhadap agama
Islam. Namun seiring dengan lunturnya keketatan tradisi agama dalam diri para
ilmuwan muslim saat itu, maka redup pulalah sains yang telah dikembangkan. Tulisan
ini akan mencukupkan pembahasan sejarah sains Islam sampai di sini saja, sebab
dalam konstruksi berpikir ilmiah kita sekarang, pengaruh yang paling besar
berasal dari Barat. Padahal sangatlah aneh jika selama ini kita percaya bahwa
sains sekarang merupakan kelanjutan dari sains Yunani (sekitar 300 SM) dan
kemudian tiba-tiba meloncat ke sains Barat yang baru mulai berkembang sejak
1400 M. Lalu apa yang sebenarnya terjadi di dunia selama 14 abad itu? Apakah
mungkin jika perjalanan sains yang berhenti selama 1400 tahun kemudian
tiba-tiba melesat menghasilkan sains yang sekarang kita kenal? Jawaban-jawaban
yang berkembang terhadap pertanyaan ini kebanyakan berasal dari teori
konspirasi dan tulisan ini tidak berkepentingan terhadap teori-teori tersebut.
Senyatanya, dengan jujur harus diakui bahwa sains yang kita kenal sekarang
adalah sains yang berasal dari Barat. Peradaban-peradaban Yunani, Mesir, Jawa,
Islam klasik, Aztec dan Maya merupakan contoh peradaban yang senantiasa
diliputi seperangkat sistem keyakinan. Keyakinan-keyakinan ini berwujud
politeisme, animisme, monoteisme, Budha, atau Hindu. Ketika sains berkembang di
Barat, sains yang awal mulanya berangkat dari tradisi agama kemudian mengambil
jalan yang berbeda dengan agama. Sains dan agama kemudian berpisah, bahkan
berseberangan. Inilah peradaban yang harus bertanggung jawab terhadap
perceraian agama dan sains modern.
Awal mula perceraian agama dan sains dititikpancangi oleh perseteruan
Galileo dan gereja. Layak untuk dicermati, Galileo yang sudah lama percaya pada
kebenaran teori Copernicus ternyata menulis teori Copernicus dalam bahasa Itali
dan bukan dalam bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa akademis. Ini
sangatlah aneh. Memang sangat mungkin, orang bisa beralasan bahwa saat itu
Galileo mengajar di Universitas Padua Itali, sehingga wajar ketika ia menulis
dalam bahasa Itali. Namun demikian, terasa ada sebuah penghalang yang seolah
telah membelokkan orientasi Galileo sebagai seorang akademisi. Ternyata,
dikemudian hari, atas sebab tulisan itu, banyak guru besar yang beraliran
aristotelianisme bersatu melawan Galileo dan membujuk gereja Katolik agar
melarang teori Copernicus.
Peristiwa ini semakin nampak terang tatkala pada tahun 1616 gereja
menegaskan bahwa teori Copernicus merupakan ajaran palsu dan keliru. Akhir dari
keputusan gereja adalah tahanan rumah bagi Galileo dan ia dilarang untuk
menyebarkan ajaran Copernicus. Dampak ajaran Copernicus jika diijinkan untuk
disebarkan memang luar biasa untuk ukuran saat itu. Ajaran Copernicus bisa
mementahkan kembali sabda-sabda suci gereja. Kesakralan kalimat-kalimat
gereja bisa lenyap. Pandangan gereja yang sepakat dengan aristotelianisme,
yaitu bumi merupakan pusat alam semesta, dengan demikian sedang bertarung
dengan pandangan Copernicus. Karenanya, demi melanggengkan kekuasaan gereja,
maka sebuah keputusan harus diambil untuk menyelamatkan kepentingan gereja.
Keputusan ini merupakan keputusan politik; sikap gereja terhadap sains.
Penegasan gereja ini berujung pada konflik yang kemudian meluas rengkuhannya
sebagai konflik antara sains dan agama.
Relasi sains-praanggapan saintis
Saat ini, sains modern tidak lagi berpaku pada teori-teori spekulatif lagi
atau sekedar upaya coba dan salah (trial and error) tetapi sains yang
kita pegang sekarang merupakan paduan keduanya. Sains modern berpijak pada
metode deduktif sekaligus induktif pada saat yang lain. Acapkali, sains sering
bermula dari eksperimen dan pengamatan, namun seringkali pula sains berawal
dari ramalan teori. Dalam kedua hal tersebut, pranggapan-pranggapan para
saintis sangatlah penting sebagaimana termaktub dan tersebar dalam banyak
pustaka sains.
- Suatu ketika, Heisenberg menentang (tidak sependapat) gagasan bahwa benda-benda atomik dapat dipecah lagi secara tak tertentu dengan suatu alasan yang filosofis, karena itu dia mempertanyakan manfaat membangun mesin pemecah atom yang lebih kuat (Golshani, 2004).
- Ketika persamaan matematis Einstein, yang dirumuskan untuk melukiskan alam semesta, dinyatakan oleh Friedman bahwa ia memberikan gambaran kosmos yang mengembang, persamaan itu segera diubah oleh Einstein agar sesuai dengan konsep kosmologi pada waktu itu, yaitu kosmos yang statis. Sayang sekali, penyesuaian ini justru mendapat tamparan keras ketika observasi Hubble justru menyajikan bukti jagad raya ini berekspansi. Akhirnya Einstein mengalah dan kembali ke perumusannya semula (Baiquini, 1998).
- Einstein ternyata sangat terpengaruh oleh Spinoza dan filsafat determinsmenya. Karena itu ia tidak pernah dapat menerima mekanika kuantum yang lepas dari determinisme dan kausalitas. “Semakin sukses teori kuantum semakin tolol tampangnya.”(Surat kepada Zanggeria, 1912) “Mekanika kuantum memang patut untuk dipandang; namun suara hati kecilku mengatakan padaku bahwa ini bukanlah Yakub yang sejati. Teori ini terlalu banyak berteriak, namun perkataannya tidak banyak membawa kita lebih dekat pada rahasia-rahasia Sang Tunggal. Dalam banyak hal saya yakin bahwa Dia tidak bermain dadu.” (Surat kepada Born, 1926) (Jammer, 2004).
- Erwin Schrodinger ternyata tertarik pada doktrin-doktrin agama Timur, terutama pada hikmah Vedanta (Weda) seperti yang jelas diperlihatkan dalam esainya The Vedantic Vision dan The Doctrine of Identity: light and shadow. Bahkan ia mendapatkan gagasan paradoks kucingnya dari Sankhya, sebuah doktrin hinduisme yang tua dan pesimistik. (Jammer 2004)
Sampai pada tahap ini, apakah Anda masih yakin
bahwa sains yang sekarang kita geluti ini bebas nilai? Sejauh ini, paparan yang
sudah dilakukan di muka telah membuktikn bahwa saintis selalu menggunakan
komitmen metafisik (sebagai praanggapan). Ketika saintis berhadapan dengan
masalah-masalah mendasar sains, pengambilan keputusan sulit ditemukan dalam
sains itu sendiri. Disinilah peran pranggapan itu. Dan inilah bukti betapa
diktum sains itu bebas nilai hanyalah tipuan intelektual belaka.
Sumber:
Marzoeki, D., 2007, Menggugat
Diktum Bebas Nilai dalam Sains, UGM, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar