23.33.00 -
SELINGAN
No comments
Perempuan dan Bakpau itu...
Tidak terlambat pagi itu, padahal
dia sering terlambat. Biasanya Sa’id jalan kaki sambil melihat alam kampusnya
dan reaksi sosial sekitar dia berjalan. Atau kadang setengah lari karena
mengejar waktu untuk memperkecil keterlambatannya.
Masuk gedung A, di jurusan
Matematika, banyak sapaan yang tertuju padanya. Dia sebenarnya merasa sendiri
atau lebih tepatnya tersindir.
“Eh Pak elo mau bersihin gedung,
tumben jam segini sudah berangkat” Ketika bertemu Ahmad di lbi Gedung lantai 2.
“Hehe biasa aja. Gue hari ini mau
tobat dari kata ‘terlamat’. Inget ya hari ini! Selanjutnya gak tau deh” jawab
Said sambil guyonan.
Bertemu dosen kalkulusnya, dia
menyapa,”Assalaamu’alaikum Pak!” sambil menyunggingkan senyum dengan pipi
lesung sebelah. “Wa’alaikumussalaam. Kok pagi betul?” jawab Dosennya.
“iya pak, sekali-kali.” Sambil
berlalu.
Duduk sebentar di tangga lantai
3, sambil minum.
***
Sampailah didepan ruang praktik
mata kuliah pemrograman dasar. Duduk melepas sepatunya. Disitu ada juga teman
perempuannya, Sasa namanya.
“(Ehmm... ekhmm...)
Assalaamu’alaikum Sas. Kok belum masuk?”
“Iya akh. Sarapan dulu. Bakpau
coklat.” Jawab Sasa, teman sekelas sekaligus di pembinaan keislaman
organisasinya.
“Oh... saya masuk dulu ya,
ngadem!”
“Bentar akh. Mmm, ... ini ana
masih punya satu lagi bakpau coklat kalau antum mau.” Tawarnya malu-malu.
“Boleh.” Diterimanya bakpau
coklat itu, lalu duduk disampingnya kembali. “Manis?” tanya Said, sambil
membolak-balikkan bakpau yang masih dalam plastik.
“Iya.” Jawab singkat. “Kemarin
gak dateng syura’? temen-temen menanyakan antum karena tiga kali berturut-turut
tidak datang syura’. Ada apa?”
Said menghela nafas panjang.
“Tidak apa-apa. Tidak ada perubahan dalam gerak kita. Saya jadi malas untuk
datang. Kemarin menghasilkan apa? ” sambil tetap memegangi bakpau coklat itu.
“Akh Darwis akhirnya dicalonkan
ke ketua BEM. Awalnya mas’ul mempertahankan antum untuk tetap dicalonkan. Tapi
kata Yadi antum tidak mau, sedangkan saat itu antum tidak bisa dihubungi. Mas
Feri ingin tetap mendengar langsung dari kesediaan antum tapi akh Hadi tidak
setuju dan bisa mempengaruhi forum. Akhwat kepecah jadi dua, dukungan ke antum
dan ke akh Darwis.”
“Sudah bisa dipastikan. Melulu
soal beginian. Padahal kader kita dibawah terlantar. Saya memang ndak mau sejak
awal. Juga sudah mengatakan ke akh Yadi. Setiap mau syura’ saya tanya ke dia,
kira-kira membahas apa syuranya. Masih seputar pemilu Bem. Lalu mau dikemanakan
kader-kader kita?”
“Ana paham maksud antum. Maaf
membuat antum marah” merasa bersalah telah memancing ketidaksenangan Sa’id.
Tiba-tiba saja dia menangis.
Sa’id yang mengetahui lalu
bingung melihat Sasa sesenggukan lalu menangis. Dia diam saja, bingung. Apa dia
salah ucap atau melukai perasaannya. Masih belum ada respon akhirnya dia
mencoba mengatakan sesuatu. “Bakpaunya saya makan pintu nanti. Kamu kenapa?”
tanya Said sambil berharap ada perubahan. Saat itu teman-temannya juga
menyaksikan karena melewati mereka berdua sebelum masuk ruang praktikum.
“Tidak tahu. Ana berfikir kalau
antum hanya mengurus bidang sendiri, terlalu egois.”
***
Selesai kuliah Said berjalan
pulang seperti biasa, jalan kaki. Mampir ke masjid untuk solat berjamaah
dzuhur. lalu berjalan lagi melanjutkan. Diujung pintu gerbang belakang dia
melihat Ratna melewatinya naik motor. Ratna juga melihat Said. Masih tanpa
senyum.
Ratna adalah teman akrabnya dulu
di SMA lalu sama-sama kuliah ditempat yang sama. Entah apa dan bagaimana awal
kejadiaanya, yang jelas hubungannya renggang semenjak dia berubah menjadi
“akhwat”.
Said menyapanya, “Na, assalaamu’alaikum.”
Sambil motor yang ditumpangi Ratna berlalu. Selang dari itu diabaikan, Said
masih berjalan. Tiba-tiba, motornya memutar dan menghampiri Said.
“Ada apa Id?” tanyanya penasaran.
“Eh... enggak kok. Aku tadi Cuma
menyapa. Maaf ya!”
“Oh. Ya.” Ada rona mimik yang
tidak menyenangkan dari Ratna.
Tiba-tiba Said menyodorkan bakpau
coklat yang belum sempat ia makan tadi. “Ini buat kamu. Bakpau coklat manis.”
Saat menyerahkan bakpau tersebut
ada dua motor yang dikenal oleh Said. Motornya Lian dan Sasa. Keduanya berhenti
juga menghampiri Said. Mereka berdua ada agenda mengajar anak-anak TPA.
“Ayo akh ikut aku saja. Ngajar
anak-anak TPA.” Tawar Lian. Ratna berterima kasih atas pemberian bakpau coklat
dan diincipi langsung didepan mereka semua. Lalu pamit.
“Boleh.” Jawab Said sedikit
menatap Sasa.
***
Sepeda motor diparkir didepan
masjid Al Abror. Anak-anak sebagian sudah datang. Lian segera menyambut
anak-anak. Sedang Sasa dan Said masih di tempat parkir.
“Itu bakpau coklat tadi pagi
akh?”
“Iya. Saya belum sempat
memakannya.”
“Belum sempat atau gak mau
memakannya?” tegas Sasa.
***