23.48.00 -
CURAHAN HATI,OPINI,PII
No comments
PII di Solo (Seharusnya) Potensi Poros Pelajar
Dalam benak saya kota ini memiliki
watak inklusif dan toleransi yang amat besar. Awalnya. Namun sungguh itu baru
silau pertama yang ada dibenak saya. harus segera kita masuk dalam ruang kota
Solo. Sepintas watak Solo sebagai kota inklusif dan toleransi yang besar saya
rasa belum semua sepakat. Ada hal-hal yang kita bisa lihat dari sisi lain.
Rupanya ketika saya melihat, bukan bentuk toleransi yang ada namun sikap diam
dan acuh kepada sesama.
Saya coba menyoroti sebagaimana
yang paling tidak menjadi bahasan sehari-hari saya yaitu tentang Muslim,
Cendekia, dan Pemimpin, terutama pada ke-Pelajaran sekarang dan masa yang akan
datang. Agak silau memang ketika mendapati kondisi yang mana banyak ditemukan
orang-orang memakai “pakaian muslim” dari yang bentuknya koko hingga jubbah,
dari yang bentuknya jilbab lebar hingga bercadar. Seharusnya peran kondisi ini
memang bisa mempengaruhi secara signifikan kan?
- Muslim
Berbicara
terkait komunitas muslim saja ditingkat pelajar bisa kita lihat heterogenisasi
komunitas-komunitas pelajar-pelajar muslim, kemudian sekolah-sekolah Islam,
pelajar-pelajar dari pendekatan nahdliyin hingga pendekatan celana no isbal.
Dari pelajar putri yang memakai gamisnya hingga sampai berniqab. Dari yang
paling lembut hingga paling bisa koar-koar dan reaktif. Ya,…Di Solo ibarat
kelompok Muslimnya yang heterogen yang kalau bahasa jawa “Tumplek Blek” yaitu
bertumpukan di satu tempat (Solo) berarti suasana yang dipancarkan adalah
suasana yang Islami. Iya kan?
Tapi ada sisi
lain rupanya heterogenitas tersebut tidak membuat Muslim saling melengkapi. Ada
bagian muslim yang belum disebutkan adalah bangsa kejawen dan kaum abangan (Oh
Solo kaya sejarah 2 jenis ini bro…). oke lah sementara kita beri stempel bahwa
Solo adalah tempat dimana semua pergerakan Islam bereksistensi disini.
Kembali ke
pertanyaannya harusnya bisa memenuhi standar untuk bisa mempengaruhi suasana
secara signifikan kan? Oh ternyata usut punya usut tampilan luar yang seakan
bagus ternyata punya borok juga. Kaum muslim di Solo masih dalam
kapling-kapling berpecah-belah. Bilang saja persatuan tapi gak ada aksi dalam
hal satu penyatuan. Hanya pas saja bisa kita lihat dalam aksi-aksi besar dan
itu pun masih dalam ibarat secara luar tampilan yang hampir sama sehingga
seakan membentuk suatu ikatan jamaah. Sulit dijelaskan hanya bisa dirasakan.
2.Cendekia
Beralih pada
cendekia, dalam KBBI berarti tajam pikiran, lekass mengerti, cerdas, pandai,
cepat mengerti situasi danpandai mencari jalankeluar. Saya rasa tidak diragukan
lagi dalam hal ini Solo selain sebagai kota yang banyak sejarah, kota yang
budaya, tentu punya banyak kualitas pelajar yang mumpuni atas kalau mau
diturunkan sedikit adalah punya potensi yang besar dalam hal ini. bahkan
sekolah favorit bukan hanya dimiliki pemerintahan lho, sekolah Islam, hingga
ma’had favorit pun menjamur di Solo. Yang diharapkan tentunya melahirkan
generasi-generasi cendekia. Harapannya....
3. Pemimpin
Pemimpin, yang
akan saya bawa ke kepemimpinan. Dimana dalam kondisi ini secara garis lurus
ditarik dari sifat pertama Muslim. banyak pelajar yang secara kapasitas
pengetahuan agamanya baik tapi mengapa dari segi kepemimpinan tidak bisa
mempengaruhi atau mendominasi? Jawab versi saya masih tetap sama karena umat
Islamnya masih kotak-mengkotakkan.
Oke lanjut
kepemimpinan yang dibangun dari sifat kedua yaitu cendekia. Masih terikat
dengan sifat yang pertama Muslim adalah mengapa bahkan dengan ciri Muslim dan
cendekia masih belum bisa memimpin kota Solo? Mengapa kota Solo basis semua
pergerakan Islam dalam hal ini pelajar sebagai pemimpin masa depan masih tetap
dipimpin oleh orang kafir?
Tidak ada
kepemimpinan kah?
Selain dalam
kondisi yang saling mengkotak-kotakkan kepemimpinan kaum muslimin di Solo
secara basis memang tidak ada. Masing-masing massih dalam kepemimpinan
baju-baju mereka. Hendak pun boro-boro mengajukan pemimpin diantara mereka tentunya
yang diajukan adalah harus dari masing-massing kelompok mereka. Tidak ada
golongan dalam pengorganisasian secara terpadu untuk kaum muslimin di Solo.
Tidak heran maka yang menang selalu mereka yang mendapat dukungan awam,
kejawen, abangan , dan orang-orang kafir. Kaum muslimin tidak mau berorganisasi secara terpadu
sedangkan musuh-musuh berorganisasi secara terpadu. Kalau umat Islam mengusung
banyak ustadz sekalipun kalau tidak ahli dalam keorganisassian sebelumnya, main
asala comot ya hasilnya para ustadz yang diusung akan mati kaku dalam
pengolahan keorganisasian kota Solo. Intinya dalam kepemimpinan perlu latihan
dalam berorganisasi yang intensif , dibina sejak muda, bukan asal comot yang
penting kiai atau ustadz.
Sudah mengerti sekarang saya mengapa
banyaknya pergerakan di Solo tidak mampu menjalankan kepemimpinannya di kandang
sendiri. Berkotak-kotak, saling mencurigai sesama muslim, tidak mau berfikir
untuk oranglain diluar kelompoknya dalam membingkai ukhuwah, dan tidak pernah banyak nilai yang diambil
dalam kepemimpinan terpadu.
PII membentuk poros pelajar.
Dalam hal ini PII sebagai wadah perjuangan
umat yang menampung pelajar dalam menyiapkan kadernya sebagai Muslim, Cendekia,
dan Pemimpin seharusnya punya prospek besar untuk berdakwah dalam membingkai
persatuan dan kesatuan umat Islam di Solo terutama pada kalangan pelajar.
Bahkan dari tiap-tiap golongan pelajar seharusnya bisa dan memiliki sikap
bergabung dengan PII ini ya minimal karena fitrah rasa persatuan kaum muslimin,
saling rasa persaudaraan sejawat, teman bermain, atau bahkan karena sudah muak
dengan pengkotak-kotakkan antara pelajar muslim yang dalam lembaga dakwahnya
sangat tertutup sehingga ketika sama-sama masuk ke PII akan saling bisa
berkomunikasi dalam menjembatani kedua belah pihak. Atau mirip seperti dahulu
kala saat awal-awal PII dirikan suasananya mirip dengan Solo antara
pelajar-pelajar yang sekolah dibangku konvensional dengan sekolah bersistem
Islami atau ma’had atau pondok pesantren sekalipun. Meraka tentu ketika bersama
akan saling mempengaruhi dan saling memberikan bentuk dan cara masing-masing
dalam bersaudara karena di PII mereka wajib untuk hidup lama dan seatap
sehingga mau tidak mau mereka akan saling memberi pengertian terutama ketika
mereka sadar bahwa mereka adalah muslim yang bersaudara. Dan dari tujuan
terbentuknya lingkungan islami inilah yang diharapkan dari heterogennya
kelompok-kelompok muslim di PII.
Disamping itu pelajar juga akan dibina dalam pengembangan dalam kretivitas,
pengembangan bakat, olah pikir, dan intelektualitasnya. Dalam ber-PII, pelajar
yang terikat dalam barisan ini melakukan pembinaan dalam kursus, ta’lim
ruhiayah, mental, berargumen dengan referensi yang baik, adab sopan santun,
saling menghargai, budaya membaca, dan senantiassa budaya menganalisis. Terus
ditambah dengan keadaan PII yang tidak memiliki induk pergerakan diatasnya
membuat PII harus bekerja dengan kepemimpinan yang baik dan mandiri sehingga
dari proses inilah dapat membentuk calon-calon pemimpin yang musli, cendekia
sekalipus memiliki kapasitas kepemimpinan yang baik. Sehingga sebagai prinsip
pemersatu umat seharusnya PII di Solo ini ditengah heterogenitas
kelompok-kelompok pergerakan umat Islam di Solo mampu menjadi wadah pelopor
terbentuknya bibit-bibit manusia muslim, cendia, dan pemimpin yang diharapkan
menjadi kebermanfaatan secara nyata bagi kemajuan peradaban Solo. Bisa menjadi
wadah penempa calon-calon pemimpin sebagai kaum yang menggantikan. Semoga Allah
meridhoi cita-cita ini: terbentuknya poros pelajar Islam di Solo sebagai agen
perubahan menuju peradaban madani.