Di dalam kereta dia hanya bisa membaca sms tersebut dengan agak jauh
karena kondisi saat itu sangat berdesakan. Dia hanya membuka dengan melirik ke
saku tempat hp-nya disimpan. Ada satu sms dan penunjuk waktu pukul 17.23.
Sudah sampai
mana Rasyid?
Sms itu dia biarkan saja, toh tinggal sedikit lagi sampai stasiun.
Memang sangat sesak sekali kereta commuter arah Bogor. Terasa lagi ada dering
getar dari hp-nya. Ada dua kali dering yang masuk. Akhirnya sampai juga
distasiun UI. Sudah tidak sabar dia akan bertemu sahabatnya ketika dulu
menjalin cita bersama saat masih kelas tiga SMA, cita untuk bersama masuk UI.
Namun, ternyata takdir berkata lain bahwa Rasyid tidak bisa membersamai di UI.
“Alhamdulillaah
sudah sampai. Huh… ramai banget keretanya. Ada sms siapa aja ini…” pekiknya
saat keluar dari commuter yang berjubel itu. Dia kemudian berpisah dengan dua
teman satu kereta yang sama-sama ke UI tapi berbeda kepentingan. Dilanjutkan
buka smsnya.
“Rasyid, Arin otw
ke stasiun UI ini.”
“Oh ya, nnti
tunggu di halte ya…”
Rasyid segera ke halte yang dimaksud. Halte tersebut menggabung dengan
stasiun bagian terasnya. Tengok-tengok tidak menemukan keberadaan Arin, dia
cari tempat duduk di halte tersebut. Lima menit, sepuluh menit tidak ada
tanda-tanda sesosok perempuan yang mencarinya. Akhirnya disms sahabatnya itu.
“Arin, saya sudah
sampai. Ini nunggu di halte deket stasiun.”
“Lima
menit lagi ya…”
Tidak dibalas lagi sms dari Arin. Rasyid menunggunya. Karena capek
duduk, dia berdiri sambil menggerakkan punggungnya ke kanan dan ke kiri untuk
melemaskan tulang punggungnya yang dimuati tas berat. Sebelah kanan dari orang
ketiga disampingnya dilihatnya adalah seorang sosok yang sangat dikenal.
Didekatinya. Satu dua langkah, belum sempat dia menyapa sosok itu menatap,
berdiri, tersenyum binar, dan menyapanya dengan riang.
“Rasyid…Assalaamu’alaikum.
Ih Rasyi…d bagaimana kabarnya? Kamu masih tetap sama seperti dulu.” Ucap Arin
bertubi-tubi melihat sahabat yang lama tidak sua.Terasa kegembiraan keduanya
membuat perhatian keramaian tertuju pada mereka yang seakan menambah sebuah
sepojok episode kisah persahabatannya, bahkan mungkin timbul rasa lebih dari
itu.
“Alhamdulillaah
baik. Arin bagaimana kabarnya juga?”, kegembiraan yang nampak dari keduanya
memang tidak bisa disembunyikan satu sama lain.
“Alhamdulillaah
sangat baik Rasyid. ”. Dari keduanya terasa prolog yang disampaikan ringan dan
cepat namun mengesankan bagi mereka. Belum sempat berbicara banyak, Arin yang
sedari tadi menunggu Rasyid mengajaknya makan.
“Rasyid, ayo
makan . Pasti kamu tadi belum makan deh… ”. Rasyid hanya menurut saja.
***
Jedyar…jedyar… Guntur bersahutan sebelum empat kaki anak manusia
melangkah, disusul pula hujan yang lebat secara tiba-tiba pertanda keagungan Allah
yang manusia tidak dapat memastikan dengan perkiraan, kecuali tanpa iman.
Lalu Arin dengan sigap mengeluarkan payungnya dari tas kuliahnya. Ada
yang salah, payungnya hanya ada satu. Arin memberi isyarat seakan dia menarik
tangan Rasyid untuk satu payung dengannya. Rasyid kemudian dengan rasa yang bercampur
mengiyakan maksud Arin.
Hujan yang lebat tersebut membuat mereka terpaksa satu payung.
Menyeberang jalan kampus depan stasiun UI yang sangat ramai mahasiswa dan
mahasiswi berlalu lalang cepat tidak mau kalah dengan rintik deras air hujan.
Kerepotan juga ketika harus menyeberang bareng berdua yang tidak biasa
berdekatan dalam satu payung. Namun, akhirnya kecanggungan mereka atasi.
Belok kiri, jam menunjukkan pukul 17.49 sebentar lagi adzan. Keduanya
suatu saat merenggangkan kedekatan raga mereka, disuatu saat yang lain kembali
berdekatan. UI yang banyak orang mengejar hujan bagi Rasyid terlihat lambat
ketika melihat mereka berdua, seorang gadis berjilbab lebar satu payung dengan
seorang laki-laki sebaya dengannya.
Dibawah satu payung banyak cerita yang terlontar. Bagaimana kuliah,
Bagaimana kegiatan-kegiatan yang dilakukan, bagaimana pandangan membingkai
cita-cita jauh kedepan, dan pengalaman-pengalaman yang lain.
Di bawah satu payung, kecanggungan tidak bisa dielakkan. Rasyid yang
sering menjauh dari raga Arin seolah tidak hendak tersentuh dan lebih dari itu
adalah prinsip kesucian yang dipegangnya. Arin sebagai pemilik payung kadang
mendekat kadang menjauh seolah ingin menyatakan payung ini untuk Rasyid karena
dia juga harus menjaga kesucian keduanya.
Dibawah satu payung hujan yang deras seolah mendukung keduanya untuk
tetap beratap dibawah satu payung. Hingga Rasyid kasihan jika harus Arin yang
memegang payung itu. Juga sepanjang jalan menuju masjid UI terasa sangat jauh.
Juga mata-mata yang selalu tertuju kepada keduanya dengan kalimat “cie cie dan
semisalnya”.
Dibawah satu payung, air hujan yang dingin membasahi keduanya meski
dibawah satu payung. Dibawah satu payung, air hujan yang telah membasahi
keduanya tidak terasa dingin, malah terassa hangat dibawah candaan dua hati
sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. Hingga untuk menjaga sebuah ketinggian
kesucian,dibawah satu payung Rasyid berkata,
”Payung itu buat
kamu saja Arin. Saya khawatir dengan ini kamu mendapat fitnah. Saya tidak
kuliah di UI, jadi seandainya saya berbuat maksiat apapun tidak ada yang
mengenal saya sedangkan kamu berbeda. Disini kamu adalah bisa jadi banyak
dikenal”.
“Tapi Rasyid, nanti
kamu kehujanan.”
“Tidak apa Arin,
biar saja saya kehujanan dan saya pikir itu lebih baik.”
Arin yang tahu bagaimana karakter sahabatnya itu tidak bisa berbuat
apa-apa kecuali mengiyakan. Pun pada hakikatnya Arin juga sadar harus menjaga
kesuciannya juga.
Percakapan mereka itu menyadarkan keduanya untuk
saling melepas dibawah satu payung. Rasyid menjauh dari payung tersebut. Bahkan
dengan kalimat itu empat mata yang saling beradu berbinar seakan ingin
menjatuhkan air hujan matanya.
Dibawah satu payung, akhirnya tinggal satu nama yang berdiri diatas
kesucian dan membiarkan Rasyid kehujanan atas derasnya, namun diatas kesucian
deras dan dinginnya air hujan tetap menghangatkan keduanya. Hingga Allah yang
Maha Kuasa menyuruh hujan untuk mereda.
Sepanjang jalan setapak dipinggir hutan kecil yang dilaluinya sudah
semakin mendekat dengan masjid UI. Masjid yang akan dimasuki oleh Rasyid
pertama kalinya. Belok kanan, jalan sekitar lima puluh meter kemudian belok
kiri, menyeberang.
“Nanti kita bertemu dikantin dekat masjid ya Rasyid.
Hati-hati.” Kata Arin dengan terbata-bata.
“Iya insyaaallaah.” Jawab Rasyid hingga berlalu masuk
ke dalam masjid.
***