10.22.00 -
KISAH
No comments
Membuka Hidup Ayah
Di Pematang sawah, pedalaman
Sumatra, di gubuk yang agak lebar muat untuk tidur tiga orang dewasa. Ibu dan
anak menunggui padinya supaya tidak dimakan oleh burung-burung kecil. Ada lima
orang-orangan yang diberi pakaian adat jawa yang masing-masing penegaknya
terdapat kaleng bekas. Empat orang-orangan dipojok dan satu tepat ditengah
petak sawah. Jika ada burung yang mencoba hinggap ditariklah tali yang
menghubungkan lima orang-orangan sawah tersebut.
“Huwa.... huwa...” Teriak Junayd dengan
menarik tali simpul orang-orangan sawah, hingga terdengarlah kelontongan akibat
benturan kaleng-kaleng tersebut.
“Sudahlah Cah Bagus jangan
galak-galak sama burung-burung itu! Biar ia mengais sebagian rizki dari sawah
kita. Mereka juga punya keluarga yang harus dihidupi. Kalau dirasa sudah
terlalu banyak makan padi baru diusir.” Kalimat itu meluncur saja dari sosok
ibu Junayd, Maryam, yang dikenal kaya raya di kampungnya di Jawa. Sekarang ia
menetap di Sumatra mengikuti suaminya untuk mencari manfaat di tempat yang
lainnya.
“Tapi kan Bu, burung-burung itu
sudah dijamin rizkinya oleh Allah?” Junayd tak mau kalah. Dia selalu tak mau
kalah jika membicarakan hal-hal terkait bab agama lebih-lebih berkaitan tentang
aqidah, halal-haram, dan segala sesuatu yang dianggapnya penting.
“Tidak maukah kamu nak menjadi
perantara sebab rizki burung itu datang melalui tanganmu?” jawab ibunya dengan
lembut. Menurut Junayd pemikiran ibunya itu benar juga. Belum selesai ia
memikirkannya, ibunya melanjutkan,”Setiap manusia yang berfikir seharusnya
memiliki akhlak yang baik. Akhlak kepada Rabbnya, Rasul dan agamanya, sesama
manusia, dan sesama ciptaan Allah yang meliputi hewan, tumbuhan, dan lingkungan
kita.”
“Iya!”
“Ayahmu cah bagus! Ia adalah
seorang yang sangat memikirkan orang lain. Kecintaannya kepada Islam membuatnya
harus membawa ibu kesini. Aqidah cintanya itu membawa akhlak cinta kepada
dakwah dan umat ini. Ibu banyak belajar darinya.”
“Memang ayah dulu seperti apa
Bu?” tanya penasaran.
“Ia sebagaimana pahlawan yang
mudah berkorban, seorang yang mencintai ilmu pengetahuan, seorang da’i
filosofis, dan tentunya seorang laki-laki yang sangat mencintai ibumu ini.”,
tersipu merah pipinya. Ditambahkan, “Membuka hidup ayahmu adalah pelajaran
sejarah bagi ibu, nak.”
---bersambung---